Sorry, we couldn't find any article matching ''
Post Partum Psychosis, Benarkah Penyebab Seorang Ibu Memutilasi Anaknya?
Didorong oleh 'bisikan-bisikan', seorang ibu di kawasan Cengkareng, Jakarta Barat mampu memutilasi anaknya. Mungkinkah hal ini dikarenakan sang ibu mengalami Post Partum Psychosis (PPP)?
Seorang ibu diduga memutilasi anaknya yang masih berusia 1 tahun. Peristiwa tragis ini belum lama terjadi di kawasan Cengkareng, Jakarta Barat. Sebagai ibu, membaca berita-berita semacam ini membuat saya merinding. Ngilu, sedih, dan marah, bercampur jadi satu.
Kok, bisa-bisanya seorang ibu tega membunuh darah dagingnya sendiri? Begitu pikir saya. Bawaannya sudah mau nyolot dan marah terhadap si ibu.
Tapi, sebelum saya ikut-ikutan menghakimi si ibu, saya bersyukur karena kemudian saya mendapat penjelasan dari pakar psikologi mbak Anna Surti Ariani alias mbak Nina Teguh. Penjelasan yang saya dapat berhasil mengerem mulut saya dan jari saya untuk tidak menuliskan kalimat-kalimat keji di ranah social media.
Memang, menghilangkan nyawa seseorang merupakan kesalahan besar yang menurut saya tidak bisa dimaafkan. Apapun alasannya. Tapi, sebelum menghakimi dengan menuduh yang macam-macam, tidak ada salahnya kita melihat dari kaca mata yang berbeda.
Saya sempat membaca beberapa berita yang menuliskan bahwa jauh sebelum peristiwa ini terjadi si ibu dikenal sebagai perempuan yang ramah, dan cukup terbuka dengan tetangganya. Kondisi mentalnya juga sehat. Namun, seperti yang dituturkan orangtua si ibu, kalau anaknya bisa melakukan tindak mutilasi diduga karena anaknya depresi karena persoalan keluarga.
Persoalan hidup yang tengah dihadapi inilah yang diduga membuat banyak perubahan sikap, yang bisa dilihat dari penampilan. Sebelum melakukan aksinya, konon si ibu juga mendengarkan ‘bisikan-bisikan’ yang mendorongnya untuk melakukan tindakan mutilasi. Apa, iya, bisikan yang ini karena si ibu mendalami ilmu’, seperti yang sudah banyak diberitakan? Bagaimana kalau ‘bisikan’ tersebut datang karena kondisi psikisnya yang tidak sehat? Sampai saya menulis artikel ini, si ibu memang masih melwati beragam pemeriksaan, termasuk pemeriksaan bersama psikologi.
Anna Surti Ariani, sebagai psikolog anak dan keluarga melihat kalau ada seorang ibu mampu membunuh anaknya, apalagi ada anaknya yang masih batita, ada baiknya untuk melakukan periksaan lebih dulu. Pastikan apakah ibu itu mengalami Post Partum Psychosis (PPP) atau psikosis pasca melahirkan atau tidak.
Psikolog yang sering saya sapa dengan sebutan Mbak Nina ini menjelaskan, kalau PPP merupakan gangguan pasca melahirkan yang berbeda dan jauh lebih berat dibandingkan Baby Blues bahkan Post Partum Depression (PPD). Hal ini dikarenakan seorang ibu dapat mengalami PPP secara bersamaan dengan Baby Blues atau PPD. Namun seringnya PPP ini akan dialami dalam waktu lebih panjang.
Menurut para peneliti, hampir 80% ibu mengalami Baby Blues sekitar 3-5 hari setelah melahirkan. Ia merasa kelelahan, kadang malas mengurus bayi, mood swing alias suasana hati yang berubah-ubah. Tidak mengherankan jika ada seorang ibu yang bisa saja tiba-tiba menangis sedih, dan mudah tersinggung, padahal sebelumnya tampak bahagia. Namun, kondisi ini biasanya akan menghilang dalam dua minggu setelah mengalaminya.
Sedangkan PPP berbeda. Kondisi yang bisa muncul bersamaan dengan Baby Blues, ataupun setelahnya dan dapat berlangsung jauh lebih lama. Biasanya ibu tak hanya mengalami gejala-gejala di atas, namun juga mengalami perubahan pola makan dan mengalami gangguan pola tidur
Menurut Mbak Nina, seorang ibu yang merasakan PPP akan sulit menyayangi bayinya, bahkan mengutuk diri sebagai ibu yang buruk. Apabila terjadi lebih berat atau lebih parah, ibu bahkan berusaha MENYAKITI DIRINYA SENDIRI bahkan mencoba bunuh diri.
Senada dengan Mbak Nina, Susan Hatters Friedman, pakar psikologi dari University of Auckland in New Zealand mengatakan perempuan yang mengalami PPP memang sudah kehilangan kesadaran dengan realitas hidupnya, artinya apa yang dilakukan bisa berbahaya bagi dirinya sendiri dan bayinya. Seperti yang saya kutip dari laman The Truth About Postpartum Psychosis, dalam beberapa kasus perempuan dengan PPP nggak punya kemampuan untuk melakukan bonding dengan bayinya.
Memprihatinkan, ya? Ketika kita bisa tertawa bahagia melihat segala perkembangan bayi meskipun merasa lelah, tapi seorang ibu yang mengalami PPP tidak mampu merasakannya.
Dan ternyata seorang ibu yang mengalami PPP, akan mengalami kesadaran yang seakan ‘terpisah’ dari kenyataan. Mbak Nina mencontohkan, seorang ibu yang mengalami PPP merasa mendengar suara yang tak bisa didengar orang lain atau melihat sesuatu yang tak dilihat orang lain. Singkatnya, si ibu akan memiliki halusinasi. Halusinasi inilah yang menyuruhnya untuk membunuh bayinya demi menyelamatkan bayi tersebut.
“Artinya ibu tersebut membunuh bayinya BUKAN KARENA TEGA, namun karena kasih sayangnya yang luar biasa, tapi tidak sedang dalam fase sadar."
Pemaparan yang dijelaskan Mbak Nina ini, sangat mirip dengan kasus ibu yang memutilasi anaknya bukan?
Jadi, apa saja gejala gejala psikosis postpartum?
Friedman mengatakan kalau ia sering melihat wanita yang mengalami PPP memiliki keyakinan atau pandangan yang tidak rasional tentang apapun, termasuk bagaimana mereka melihat anak-anaknya.
Ternyata kebanyakan perempuan yang mengalami PPP memiki gejala yang mirip dengan bipolar disorder. Di dalam artikel The Truth About Postpartum Psychosis yang saya baca, Margaret Spinelli, MD, Director of The Maternal Mental Health Program di Columbia University. Perempuan dengan PPP dapat merasa energik dan kuat sekaligus cepat merasa depresi dan cemas. Biasanya kondisi ini akan dialami beberapa kali sehari.
Meskipun dinilai gelaja ini kurang ‘umum’, namun beberapa perempuan dengan pengalaman PPP akan merasakan kehilangan minat dalam kegiatan normal, mengalami kesulitan tidur, atau merasa lelah dan sering kali merasa cemas. Tapi gejala PPP berbeda dari depresi postpartum karena kecemasan yang dirasakannya menjadi tidak rasional dan terputus dari realitas sehingga ia memiliki delusi atau berhalusinasi.
Salah satu gelaja yang perlu diwaspadai adalah perempuan dengan PPP bisa mengalami kebingungan untuk melakukan segala aktivitasnya secara normal. Misalnya, bagaimana caranya menghangatkan susu dan menggunakan botol untuk bayinya.
Setidaknya, kurang lebih dari 10% kasus soal perempuan yang mengalami PPP memiliki pikiran ingin menyakiti bayi mereka. Bahkan, sekira 4% wanita dengan PPP membunuh bayi mereka sedangkan sekitar 0,2% melakukan tindakan bunuh diri.
Menurut Mbak Nina, seorang ibu yang mengalami PPP biasanya dikarenakan telah mengalami kondisi hidup yang begitu luar biasa sulit, namun ia tetap berusaha untuk bertahan. Oleh karena itu, Mbak Nina menyayangkan apabila masyarakat terlalu menghakimi ibu yang mengalami PPP. “Ibu ini justru sangat perlu ditolong untuk dapat kembali berfungsi normal sebagai seorang ibu yang mencintai keluarganya. Semoga ibu yang sedang dihakimi oleh banyak orang itu bisa mendapatkan pertolongan yang tepat,” ungkapnya.
Mbak Nina menambahkan, meskipun kehadiran PPP ini bisa datang kapan saja, namun tetap bisa dicegah. "Seandainya pihak keluarga dan lingkungan terdekat mengetahuinya, at least peristiwa yang tidak diinginkan dapat dicegah, jangan sampai sang ibu mencelakakan dirinya sendiri dan anak-anaknya."
Setidaknya buat saya pribadi, peristiwa ini semakin menegaskan kalau menjadi ibu memang tidak mudah. Kondisi kesahat psikis harusnya dijaga. Lah wong, saya saja yang bisa dibilang sehat jasmani dan rohani masih perlu belajar meregulasi emosi, supaya tidak mudah gampang marah. Peran suami pun juga sangat besar dalam membesarkan dan mendidik anak. Jangan sampai tugas ini hanya dibebani pada istri saja. Namanya juga parenting, bukan mothering.
Dalam lubuk hati yang paling dalam, saya berharap agar ibu pelaku tindakan mutilasi ini bisa disembuhkan. Dan semoga saja, di luar sana tidak ada lagi ibu yang mengalami Post Partum Psychosis (PPP).
Share Article
COMMENTS