Saat metode pendidikan sudah bejibun, salah satu yang banyak dilirik adalah motode homeschooling. Tapi ternyata tidak sedikit masyarakat yang terjebak dengan mitos metode pembelajaran yang dilakukan di rumah ini. Mitos apa saja, ya?
Tahun ini, anak saya, Bumi, resmi jadi anak SD. Senang, haru, deg-degan, menanti hari pertama mengantarnya untuk ke sekolah barunya. Saya juga jadi ingat, beberapa tahun lalu sempat bingung menentukan metode sekolah yang tepat untuk Bumi, termasuk sudah mencari tahu biaya masuk SD tahun 2016 dan tentu saja survei ke beberapa SD incaran di bilangan Tangerang Selatan.
Ngomongin masalah metode pendidikan, salah satu yang banyak dilirik adakah metode homeschooling. Di mana Metode belajar homeschooling dimaksudkan untuk mengembalikan hak anak dalam belajar, sesuai dengan gaya belajar masing-masing anak-anak.
Saya sendiri cukup tertarik dengan motode ini. Tapi karena sadar nggak punya banyak waktu di rumah, saya dan suami sepakat kalau belum bisa menerapkannya pada Bumi. Seperti yang diceritakan Mira Julia, yang menjalankan program homeschooling untuk ketiga anaknya, bahwa untuk menjalankan homeschooling butuh komitmen yang tinggi.
Selain itu, ternyata sampai sekarang tidak sedikit masyarakat yang punya pemahaman yang keliru mengenai homeschooling. Setelah membaca berbagai berita, blog, dan mendengar cerita beberapa teman yang memiih metode homeschooling, ternyata ada beberapa mitos mitos populer tentang homeschooling yang perlu diketahui.
Homeschooling itu mahal
Menurut saya, mitos ini lahir lantaran sampai sekarang yang memilih metode pembelajalan homeschoolong adalah masyarakat dari kalangan menengah ke atas. Kenyataannya nggak begitu, kok. saat ini sudah ada beberapa lembaga pendidikan yang menawarkan biaya yang terjangkau. Bahkan menurut kenalan saya yang memilih motode ini, biaya pendidikan homeschoolong justri drasa sangat fleksibel, apalagi kalau mengingat banyak materi yang bisa diunduh gratis dari internet. Lagi pula, bukankan mahal atau murah sangat relatif?
Membatasi anak untuk bersosialisasi
Nah, ini adaah mitos yang sangat familiar mengenai homeschooling. Lantaran anak hanya belajar di rumah, dan kesempatan untuk bertemu puluhan orang layaknya di sekolah formal, metode ini dianggap membatasi anak untuk bersosialisasi. Padahal nggak begitu, kok. Banyak riset yang sudah membuktikan siswa homeschooling dapat berinteraksi dengan baik, bahkan lebih baik dari siswa sekolah formal. Meskipun pusat pembelajaran dilakukan di rumah, ada kalanya anak-anak melakukan studi lapangan. Selain itu, menurut pandangan saya, terlepas anak-anak homeschooling atang nggak, belajar bersosialisai bisa dilakukan di mana sana dan kapan pun juga. Selama kita sebagai orangtua nggak membatasinya untuk berinteraksi dengan anggota keluarga, tetangga, teman dan orang di komunitasnya. Iya kan?
Nggak bisa lanjut ke jenjang kuliah
Nggak perlu khawatir soal yang satu ini. Anak-anak yang homeschooling, bisa kok melanjutkan pendidikan hingga kuliah. Lah wong pemerintah Indonesia juga sudah memberikan dukungan dengan sitem pendidikan ini. Jadi, kurikulum yang diberlakukan sebenarnya sudah setara dengan kurikulum pendidian formal. Kalau ingin melanjutkan kuliah, salah satu alternatif yang bisa ditempuh dengan mengikuti ujian kesetaraan yang diselenggarakan oleh pemerintah, atau bisa juga mengikuti ujian Cambridge.
Saya cukup paham kalau menjalani homeschooling memang nggak mudah, makanya saya sangat kagum dengan orangtua yang punya komitmen besar untuk menjalankan metode homeschooling ini untuk anak-anaknya. Contohnya seperti cerita Ibu Profesional yang bisa menunjukan kalau anak yang sekolah di rumah juga bisa sukses.