Sorry, we couldn't find any article matching ''
Anak Balita Masturbasi, Wajarkah?
Pernah melihat si kecil ‘memainkan’ penisnya? Atau malah si kecil senang mengesek-gesekannya di atas badan Mommies? Sebenarnya, apakah kondisi seperti ini bisa dibilang masturbasi?
Bisa dibilang, saya dan suami termasuk orangtua yang percaya kalau pendidikan seks untuk anak harus diajarkan sejak dini. Urusan yang satu ini memang memerlukan peran orangtua karena pada dasarnya pendidikan seks bukanlah suatu hal yang tabu. Kami sadar, ada banyak dampak menyeramkan yang bisa ditimbulkan apabila anak tidak dibekali pendidikan seks. Salah satunya masalah yang masih sering terjadi di tengah masyarakat adalah pelecehan seksual. Masih ingat dong, sudah berapa banyak berita yang menuliskan kasus seperti ini? Mengingatnya saja bikin saya bergidik.
Mengajarkan pendidikan seks pada anak memang susah-susah gampang. Tidak sedikit orangtua yang merasa bingung bagaimana memulai bicara, termasuk ketika anak mulai bertanya segala hal yang berkaitan dengan pendidikan seks. Butuh waktu untuk mencerna dan mencari jawaban yang tepat untuk seusia anak. Kalau bingung, biasanya sih saya akan meminta bantuan suami atau menunda untuk menjawabnya. Percayalah, sebanyak apapun informasi yang sudah saya 'telan' dari berbagai sumber, begitu praktik, masih saja suka merasa gelagapan. Bingung harus bertindak seperti apa.
Belakangan ini, saya sedang dibikin pusing karena beberapa kali memergoki anak saya memegang penisnya. Memang, sih, saat ini anak saya sedang berada fase seksual yang disebut dengan fase falik. Di mana fase ini akan dialami anak lekaki ataupun perempuan pada usia 3 sampai 6 tahun. Walapun begitu tetap saja saya parno, takut ke depannya akan berdampak buruk. Dari sini, saya pun lantas berpikir, apakah kondisi seperti ini masuk dalam kategori masturbasi?
Seperti yang dijelaskan dr. Oka Negara, masturbasi merupakan aktivitas menggosok-gosokkan kelamin sendiri untuk mendapatkan kepuasan seksual. Dan ternyata, masturbasi sudah sangat umum dilakukan oleh anak muda. Baik pada laki-laki maupun perempuan. “Sesungguhnya, laki-laki hampir keseluruhan pernah melakukannya, sedangkan pada perempuan masih dalam jumlah lebih sedikit dibanding laki-laki, misalnya dengan meraba kelamin, menggesek-gesekkan kelamin dengan benda tertentu atau memasukkan benda tertentu ke dalam vagina misalnya.”
Meskipun dr. Oka mengatakan kalau sebenarnya aktivitas masturbasi ini secara medis tidak ada akibat buruk yang ditimbulkannya, sebagai Ibu yang punya anak lelaki, tetap saja saya was-was. Oh, ya, masturbasi ini memang tidak akan berakibat buruk selama tidak menggunakan alat bantu yang kotor dan dilakukan terlalu sering.
Lebih lanjut, pengajar bagian Andrologi dan Seksologi Universitas Udayana ini menjelaskan kalau kondisi anak lelaki yang sering menggesek-gesakan penisnya di guling ataupun memegang penisnya sudah bisa dikatakan masturbasi. Namun memang belum disadari oleh anak. Kondisi ini dianggap wajar karena anak mulai merasakan sensasi seksual di kelaminnya pertama kali.
“Waktu usia 3 sampai 6 tahun, sensasi seksualnya di kelamin, yang disebut fase falik tadi, seringkali tanpa disadari dan dipahami dengan baik. Lalu 6-11 tahun adalah fase laten di mana si anak tidak fokus dengan sensasi seksual tetapi lebih banyak di tumbuh kembang fisik dan kognitif (masa sekolah). Dan usia 12 tahun ke atas sudah masuk fase genital, memasuki perkenalan dan tahapan kehidupan seksual sesungguhnya yang ditandai dengan adanya tanda-tanda pubertas, dan sensasi seksual sudah dinikmati di organ-organ seksnya secara sadar. Jadi, kalau pada saat fase falik banyak orangtua yang sering menemukan anak lelakinya memegang dan meraba kelaminnya, termasuk menggesek-gesekkan kelamin dengan guling, boneka atau sejenisnya. Ini memang perkembangan seksual dan sangat alamiah,” paparnya.
Di laman selanjutnya dr. Oka Negara memberikan beberapa kiat yang perlu kita ketahui. Langsung klik, ya!
Bagaimana memberikan pengertian pada anak untuk tidak meneruskan kegiatan tersebut?
Jika kemudian orangtua, menemukan anaknya sedang memegang-megang kelaminnya dan terlihat menikmatinya, respon yang sebaiknya dilakukan adalah dialihkan pelan-pelan dengan aktifitas fisik atau mainan lain, tanpa harus panik dan bereaksi berlebihan. Jangan dimarahi, karena nantinya terekam dalam memori si anak sebagai sebuah kejadian yang baginya memegang kelamin atau beraktivitas seksual itu adalah sebuah hal terlarang, ini akan berpotensi akan persepsi buruk seksual di masa depannya.
Apakah kondisi tersebut akan berhenti? Adakah dampak negatif yang bisa diterima anak ketika ia tumbuh dewasa?
Kebiasaan ini nantinya akan hilang seiring waktu. Nantinya anak akan beralih ke fase laten. Jadi akan berhenti sekitar usia 5 atau 6 tahun biasanya. Selama anak tidak melakukannya dengan menggunakan benda yang kotor atau berbahaya, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Perlu penangangan khusus nggak, sih, dok? karena tidak sedikit orang tua yang khawatir dengan hal ini...
Sebenarnya tidak perlu penanganan khusus. Ada kalanya malah bukan hanya menggesek-gesekkan kelaminnya di kamar, tetapi ada kasus si anak sering telanjang dan memegang-megang kelaminnya di depan orang lain. Misalnya di hadapan tamu saat ada yang berkunjung ke rumah atau saat ibunya arisan bareng teman-teman ibunya, kejadian ini kadang membuat malu atau si ibu menjadi tidak nyaman. Kalau kejadiannya seperti ini tinggal ajak ke dalam kamar dan alihkan perhatian, dan jangan dimarahi. Tetapi jika ini terlalu sering dan mengganggu, dialihkan saja ke hal lain, misalnya dengan mengajak bermain yang lain atau diberikan permainan yang lebih menarik dan disukainya.
Setelah mendapatkan penjelasan dari androlog yang bermukim di Bali ini, saya jadi makin yakin kalau pendidikan seks pada anak sangat penting. Kita sebagai orangtua nggak bisa menunda-nunda untuk mengajarkannya. Seperti yang dr. Oka Negara bilang, suka atau tidak suka, orangtua perlu belajar banyak tentang bagaimana berkomunikasi seksual kepada anaknya.
Oh, ya, dr. Oka juga kembali mengingatkan kalau penting bagi kita untuk menciptakan suasana bahwa kebersamaan yang nyaman, dan mulai membangun kepercayaan pada anak kalau orangtua merupakan sumber informasi seksual pertama yang bisa dipercaya. Misalnya mulai dengan memberitahukan tentang nama dan fungsi kelaminnya sambil mengajarkan mandi sendiri saat dimandikan di kamar mandi. Ini akan baik buat si anak dan melekat memorinya akan hal baik dan berguna seputar keadaan seksualitasnya.
PAGES:
Share Article
POPULAR ARTICLE
COMMENTS