Belakangan sering melintas di timeline media sosial saya status-status remaja yang begitu ringan menghujat orang, bahkan ibu kandungnya sendiri. Dari yang menyolot tentang wanita hamil di KRL, menghina kota Yogyakarta, sampai yang terakhir memaki-maki ibu kandung karena laptop tersiram air. Terlepas dari kasusnya riil atau hoax (beberapa riil, sih) dan pelakunya sudah lewat usia remaja walau masih masuk 20an, saya lebih miris membaca komen orang-orang di post atau status yang share kasus tersebut.
Somehow, gender stereotyping memang masih belum bisa lepas dari masyarakat kita, ya. Di mana perempuan, apalagi ibu-ibu, dituntut lebih sopan, lebih santun, lebih beradab berbahasa terutama di ruang publik ketimbang anak-anak atau para bapak. Nggak adil sepertinya, ya? Tapi bagaimana lagi, dibanding ayahnya, si Ibu pasti yang lebih dahulu dipertanyakan kalau tutur kata anaknya kurang baik,"Ibunya mengajarinya gimana, sih?".
Kalau menuruti emosi, mungkin saya juga ikut memaki-maki di media sosial. Masalahnya makian saya akan terbaca oleh kontak atau follower saya, yang bisa jadi itu adalah anak saya, guru sekolah anak, teman anak, sesama wali murid, orang tua atau guru saya sendiri atau bahkan nenek kakek saya. Apakah sekiranya kita akan berteriak memaki-maki seperti itu jika berada di depan muka mereka?
Nanti dianggap pencitraan di media sosial karena bermanis tulisan atau sok sopan? Baiklah, orang memang bisa menilai apa saja. Tapi saya teringat betapa saat saya kecil Ibu dan Eyang saya susah payah mengajarkan saya berbicara yang baik, bahkan diajari kromo inggil (bahasa Jawa paling halus yang hanya ditujukan kepada orang-orang yang dihormati seperti orang yang lebih tua atau orang terhormat seperti pejabat atau raja).
Mulut saya bisa ditepuk Ibu atau Eyang kalau saya sampai berani berkata kotor di depan mereka. Lalu sekarang saya begitu saja memaki-maki walau 'hanya' di Internet? Bukankah saya mengajarkan dan berharap anak saya juga berkata yang baik dan sopan? Lalu anak saya harus mencontoh siapa kalau mulut (baca: jemari) saya juga tidak bisa saya jaga? Jangankan Orangtua nggak kasih contoh baik, sudah diberi contoh baik, pun, anak dapat saja contoh jelek dari luar rumah dan terbawa.
Ah, anak kita 'kan masih kecil jadi belum punya media sosial dan membaca status atau posting saya tersebut. Apakah anak selamanya kecil? Apakah anak selamanya nggak punya media sosial atau mengakses Internet? Kalau sekarang saja ada aplikasi TimeHop yang bisa menarik ulang status kita bertahun-tahun yang lalu, tidakkah kelak ada aplikasi yang bahkan lebih canggih? Lalu apa alasan kita nanti saat anak bertanya kenapa Ibu banyak marah-marah di media sosial? Kenapa Ibu boleh memaki-maki sedangkan saya tidak?
Justru mumpung anak masih kecil, sebisa mungkin kita tidak memberi mereka excuse,"Ah mama kan juga gitu!", saat nantikita menegur mereka. I've been there, untuk masalah yang lain. Dan itu membuat teguran kita jadi nggak dianggap sama anak. Mereka tidak akan paham bahwa bagaimanapun buruknya pembawaan Orangtuanya, kita tetap ingin anak-anak lebih baik dari kita. Yang mereka paham adalah,"Kalau Orangtua boleh begitu, berarti saya juga".
Yuk, ah, kerjakan PR lagi. Jadi Orangtua memang perlu banyak belajar. Nggak bisa seenaknya sendiri seperti dulu zaman belum punya anak kalau nggak mau anak juga seenaknya sendiri. Apalagi sebagai Ibu, kita adalah contoh yang paling dekat.