Saat akhir pekan, seperti biasa, saya 'main' ke rumah orangtua. Inilah kesempatan saya catching up kabar sekaligus saling curhat dengan ibu. Percakapan kami entah bagaimana sampai ke soal perbedaan karakter saya dan adik perempuan saya - yang berbeda usia 5 tahun.
Di tengah percakapan itu, ada komentar ibu yang membekas, tepatnya begini, "Ah, dia (adik saya-red) sih, orangnya cuek. Nggak pernah mikirin apa kata orang, tapi juga jadi nggak mau repot-repot mikirin orang. Kayak pas mama minta dia cariin teman cowok untuk dijodohin sama tetangga kita, langsung aja dia bilang, 'Ah, nggak ada yang available, ma!' Kalo kamu 'kan seenggaknya mikir dulu sebelum jawab."
Ibu saya menuturkan hal ini dengan datar saja, seolah nggak ada lagi tabiat anak-anaknya yang belum dia tahu dan bisa membuatnya terheran-heran. Kata-kata itu juga tak menyelipkan penilaian mana yang lebih baik atau lebih buruk.
Tak cuma membuat saya geli sendiri - karena ibu saya mau repot-repot ngurusin jodoh tetangga, kata-katanya juga mengingatkan saya, betapa seorang ibu paham benar tentang anak-anaknya. A mother knows her children like the back of her hand. Mungkin butuh belasan tahun untuk sampai di tahap itu, ya. Karena saya sendiri masih suka merasa sotoy tiap kali perlu menjelaskan bagaimana kepribadian anak saya.
Sampai beberapa waktu lalu, I came across a really interesting book. Buku tersebut berjudul "The Real You" karangan Dr. Kevin Leman, psikolog sekaligus penulis, radio & TV personality, dan pembicara dari Amerika Serikat. Dalam buku ini, ia memaparkan bahwa kelemahan atau permasalahan apapun yang kita hadapi 'akibat' kepribadian kita, semuanya dapat diubah dan diperbaiki. Asalkan kita mau memahami terlebih dahulu diri kita secara menyeluruh. Bagaimanakah caranya?
Menurutnya, untuk mengenali apa kekuatan, kekurangan, dan kecenderungan di diri, kita perlu paham tentang hal-hal yang mempengaruhi kepribadian kita. Atau dengan kata lain, mempunyai peta yang menggambarkan kepribadian kita secara menyeluruh. Apa saja yang perlu diketahui untuk membentuk peta utuh kepribadian itu? Ini dia:
Tentunya, yang mau saya soroti adalah faktor yang kedua, yaitu urutan lahir. Tidak hanya karena perbincangan soal perbedaan kepribadian antara saya dengan adik saya tadi, tapi juga seiring dengan bertambah besarnya anak saya, Bhumy, dan belum kunjungnya ia diberikan adik, sehingga saya banyak mendapat 'wejangan' seputar stereotype kepribadian anak tunggal.
Memang sih, seperti yang pernah saya tuliskan di sini, menurut pendapat banyak ahli, yang memengaruhi karakter anak or how he would turn out to be when he grows up bukanlah jumlah saudara kandungnya, melainkan pola asuh yang diterapkan. Tetapi, melalui buku ini, saya mendapatkan tambahan informasi yang bisa berguna sebagai rambu-rambu dalam pengasuhan. Kalau ibu saya dulu menjajaki saja tahun demi tahun untuk mengenali dan memahami (lalu mungkin akhirnya menerima, ya, hehehe) tabiat dan kepribadian anak-anaknya, sementara saya, tentunya nggak menyia-nyiakan kesempatan untuk setidaknya mendapat gambaran seperti apa sih, potensi kepribadian anak saya.
Berhubung sejauh ini kami belum berniat menambah anak, ya, jadi saya menganggap anak saya akan jadi anak tunggal saja. Bagaimana karakternya? Lihat di halaman berikutnya, ya.
*Gambar dari sini
Dipaparkan dalam buku ini, bahwa karakteristik khas anak tunggal sebagai berikut:
Oops, maaf ya, jika Mommies yang membaca ini anak tunggal. sekali lagi, ini menurut Dr. Kevin Leman, lho. hehehe.
Yang menurut saya sangat membantu, melalui pemaparan ini, saya juga mendapatkan 'rambu' yang saya cari itu. Dijelaskan bahwa pola asuh dapat membentuk spektrum jenis anak tunggal, yang sangat berbeda pada kedua kutub ekstrem. Jika anak dibesarkan dengan kondisi yang sangat terstruktur dan disiplin, serta diharapkan untuk menjadi dan bersikap dewasa sejak masih balita, anak dapat tumbuh dengan sikap yang tenang dan kalem di luar, tapi sesungguhnya ia membenci kenyataan harus menjadi "anak kecil yang dewasa."
Situasi lainnya adalah menjadikan anak pusat alam semesta orangtua. Anak menerima curahan cinta, energi, dan daya finansial orangtuanya. Ironisnya, dalam kondisi seperti ini, anak tunggal dapat mengadopsi kepribadian anak terakhir atau bontot.
Lalu bagaimana dengan saya si anak sulung dan adik saya si anak tengah alias bontot-nggak-jadi yang menurut ibu saya cuek banget itu?
Saya kutip dari buku, jika temperamen seperti koleris, pragmatis, sentimental atau phlegmatis, dapat menggambarkan siapa kita, maka urutan lahir dapat menjelaskan KENAPA kita menjadi seperti itu. Ia mengandaikan 2 perempuan yang diklon dari DNA yang sama persis, ditempatkan bersama 3 orang saudara laki-laki, namun dalam posisi yang berbeda: satu sebagai anak sulung, lainnya sebagai anak bontot. Karakter kedua perempuan tadi mungkin akan sama, tapi pengaruh dari urutan lahir akan terbentuk.
Yang menjadi anak sulung, kemungkinan akan menjadi pengasuh (nurturer) yang baik untuk laki-laki. Sementara yang menjadi anak bontot akan menjadi teman yang baik bagi laki-laki.
Bagaimana tipikal anak pertama? Simak di halaman berikutnya ya!
*Gambar dari sini
Tipikal kepribadian anak pertama menurut Dr. Leman sebagai berikut:
Hmm, apakah paparan ini cocok dengan kepribadian saya? I have to say it rings so true, sih. :D Dan karena Dr. Leman menulis "the apple usually doesn't fall from the tree applies to first born," mungkin karena itulah kepribadian saya dan ibu saya mirip banget (dan suka berantem juga karenanya??).
Sementara itu, anak tengah biasanya:
Saya rasa ini bisa menjelaskan kenapa adik saya berada di 'kutub' kepribadian yang bertolak-belakang dengan saya. Kalau saya neat-freak dan suka ngatur, dia sebaliknya: santaaai kayak di pantai setiap saat. Bahkan menjelang pernikahannya pun, saya yang kerepotan. Eh, dengan sukarela direpotkan, sih, lebih tepatnya. Adik saya juga kerap kali jadi penengah kalau saya dan ibu saya sedang sama-sama 'kumat' suka ngaturnya.
Dari semua poin di atas, rasanya semua benar, deh! Berhubung saya masih punya satu adik lagi, si anak bontot, saya jadi ingin tahu juga apa kata buku ini. Lihat di halaman selanjutnya!
Kalau anak bontot, biasanya:
Sepertinya sih, untuk yang satu ini nggak bisa dibilang tepat. Adik saya, yang kebetulan cowok, sangat jauh dari deskripsi anak bontot versi buku ini. Ternyata, dijelaskan bahwa ada banyak variabel yang bisa mengubah aturan urutan lahir, antara lain:
Sekarang saya jadi tahu kenapa kepribadian adik bontot laki-laki saya itu justru 'balik' lagi ke awal, menjadi seperti anak sulung. Rentang usia kami memang cukup jauh, sih, sekitar 11 tahun.
Apa yang saya pelajari dari ini? Sesuai dengan tujuan Dr. Leman menulis buku ini, saya memang jadi lebih paham why I do things the way I do. Juga jadi lebih maklum sama 'keanehan' diri sendiri. Termasuk dalam urusan parenting. Gaya pengasuhan saya pastinya berbeda dengan gaya adik saya - tapi kemungkinan akan mirip dengan gaya ibu saya. *tepok jidat*
Namun yang patut diingat, bukan berarti lantas kita terjebak di dalam stereotype. Justru dengan mengetahui dan memahami diri sendiri, kita bisa mencari cara yang paling pas dalam menghadapi kesulitan atau kekurangan kita. Setidaknya, itu premis yang ditawarkan dalam buku ini. Mungkin Mommies tertarik membacanya sendiri? I strongly recommend this book if you think parenting is a journey of self-discovery.