*Gambar dari sini
Masih ingatkah artikel yang ditulis Sazqueen setahun yang lalu tentang Kontes Eksploitasi Anak? Artikel tersebut mengingatkan saya bahwa kontes semacam beauty pageant saat ini telah menjamur di seluruh dunia termasuk Indonesia. Saya juga suka mengikuti kisah keluarga Honey Boo Boo salah satu pemeran Toddlers and Tiaras yang memperoleh kepopuleran melalui reality show mengenai anak-anak peserta beauty contest.
Bahkan sejarah sejarah penyelenggaraan kontes kecantikan anak-anak sebenarnya sudah dimulai di tahun 1880-an. Kontes bayi tercantik (terganteng), tersehat dan terlucu di Amerika Serikat mulai menjadi ajang yang populer di tahun 1920. Meskipun banyak yang menyukai, namun banyak yang menolak jenis American-Style Beauty Contest ini (pada bulan September 2013, Senat Parlemen Perancis telah menyetujui larangan penyelenggaraan kontes kecantikan untuk anak-anak di bawah usia 16 tahun).
Bagaimana di Indonesia? Selain kontes-kontes yang disebutkan Sazqueen dalam artikelnya, saya mengamati sebenarnya kontes serupa pun sudah sering diselenggarakan oleh produsen makanan, minuman maupun produk bayi dan anak-anak yang ternama maupun media massa keluarga. Sebenarnya masyarakat Indonesia pun tidak asing dengan penyelenggaraan baik yang on air maupun off air yang mungkin diselenggarakan di pusat perbelanjaan.
Kenapa kontes-kontes untuk anak-anak ini bisa menjamur?
Saya teringat artikel Child Beauty Pageants May Be more About Parents. Dalam paper yang ditulis oleh Martina M. Cartwright, Ph.D., disebutkan bahwa high-glitz child pageants often have little to do with the children and much more to do with satisfying the needs of their parents. Jadi mungkin semakin banyak orangtua yang antusias mengikutsertakan anak-anak ke dalam berbagai kontes, maka saya rasa kontes-kontes ini akan semakin menjamur. Bahkan saya memperhatikan suatu pencarian bibit sampul majalah pun pesertanya setiap lokasi acara audisi bisa mencapai 75-100 peserta. Jika ada minimal 10 lokasi berarti sudah mencapai minimal 500 peserta ya. Lumayan banyak ya peminatnya.
Fenomena yang akhir-akhir ini patut diperhatikan adalah penyelenggaraan kontes-kontes di platform social media. Dalam platform Instagram, jika dicoba mencari dengan keyword "contest", saya menemukan bermacam jenis kontes baik yang dinamai dengan merek kotak makanan ternama sampai yang khusus diperuntukkan untuk bayi dan balita. Kebetulan saya belum mencari di platform Facebook.
Beberapa kontes tersebut menyediakan hadiah berupa piala, piagam dan barang sampai uang tunai dan perhiasan emas. Namun kontes dimaksud pun mempunyai persyaratan BP alias Biaya Pendaftaran (yang dikenakan bisa sebelum mendaftar maupun ada yang menyebutkan BP dimintakan di akhir kontes). Setiap kontes mempunyai tema seperti tema tangisan bayi, keluarga bahagia, kegiatan outdoor, dan beberapa sudah berlangsung dengan sampai penyelenggaraan kali ke-27. Account Instagram dimaksud telah mempunyai 4000 followers!. Berarti cukup sering dan banyak peminat ya.
Bila diperhatikan dengan seksama, meski beberapa penyelenggara kontes di social media mengusung suatu brand ternama, namun mereka tidak memberikan informasi kontak yang jelas dan legal mengenai brand dimaksud. Hampir sebagian besar hanya memberikan nomor kontak mobile phone yang bisa dihubungi melalui aplikasi LINE, Whatsapp dan/atau SMS. Meskipun terdapat pembatasan jumlah peserta setiap sesi (kalau saya melihat sebagai taktik marketing, semakin dibatasi semakin penasaran) namun ada biaya BP dari Rp25.000,- sampai Rp150.000,-).
Jujur saja ketika saya melihat salah satu kontes menyediakan hadiahnya berupa piala, piagam dan produk kotak makan, maka saya pun berhitung. Piala tinggi 50cm di online shop dijual Rp60.000,-, produk kotak makannya setelah saya browsing di website resmi brand-nya hanya sekitar Rp150.000,-. Padahal dari hitungan kasar saya apabila 30 peserta sudah membayar rata-rata Rp50.000,- per peserta, sudah dapat mengumpulkan Rp1.500.000,- sekali acara.
Selanjutnya: Apa yang harus dijadikan concern bagi kita sebagai orangtua?
*Gambar dari sini
Apalagi kalau bukan cybercrime. Berdasarkan 2012 Norton Cybercrime Report, 4 per 10 pengguna jaringan sosial media telah menjadi korban cybercrime di platform jejaring sosial. Dari laporan tersebut ada hal yang menurut saya cukup mengejutkan: 1 per 6 responden tidak mengetahui apakah akun social medianya telah di-setting public atau private dan hanya setengah dari seluruh jumlah responden yang menggunakan privacy settings untuk mengatur informasi apa saja yang bisa diketahui oleh teman social media-nya.
Setiap tahun terdapat 556 juta korban cybercrime atau 18 korban setiap detiknya. Kerugian secara financial mencapai USD110 Miliar! Mencengangkan bukan?
Hal lain yang saya takutkan adalah membagi foto anak-anak saya ke orang asing. Dunia maya ini sangat mudah sekali diakses, dari orang baik-baik sampai child sex abuser.
Kontes maupun cybercrime berkedok kontes akan selalu tumbuh, apabila peminatnya tetap ada, toh kan teori ekonominya apabila ada demand maka ada supply kan? Apalagi targetnya adalah orang tuayang suka mengikuti ajang lomba dan kontes.
Ada beberapa kiat yang mungkin akan berguna untuk orangtua sebelum mengikutsertakan anak-anak dalam ajang kontes baik yang sifatnya online maupun tidak, lebih baik kita waspada dan mengarahkan kepada kontes-kontes yang sifatnya resmi dan terpercaya. Bagi saya langkah-langkah waspada ini bisa diterapkan di setiap kesempatan undian, sayembara maupun perlombaan manapun:
Untuk memastikan hak-hak Mommies dan anak-anak dilindungi, selalu cari referensi atas lomba yang akan diikuti, dan pastikan semua hak dan kewajiban dibuat secara jelas dan tertulis untuk melindungi mommies dan terutama anak-anak secara hukum.
Dan yang paling utama dalam kehidupan bermedia sosial: don't share too much information.