Mandiri dan pekerja keras. Rasanya 2 hal tersebut yang menonjol dari karakter anak-anak di Jepang. Apabila dirunut ke belakang, karakter tersebut tidak dibentuk secara instan melainkan diupayakan semenjak si anak kecil dan melibatkan kerjasama banyak pihak.
Lebih dari setahun kami tinggal di Jepang, ada banyak perubahan yang keluarga kami alami di sini. Ya, tak cuma saya tapi juga anak-anak dan suami, tentunya. Masalah kemandirian anak-anak saya, jelas sangat berbeda.
Kemudian, saya melihat dari cara guru pembimbing anak-anak saya di daycare. Saya share beberapa poin di bawah ini ya, siapa tahu ada beberapa yang bisa diterapkan di rumah.
*Gambar dari sini
Karena di sini maid dan suster bukanlah hal umum, anak-anak diharapkan bisa melakukan hal-hal yang sifatnya natural seperti makan dan mandi sedini mungkin.
Secara teknis, ibu-ibu di Jepang bisanya menyiapkan makanan yang memang membantu anak menjadi independent eater, misalnya nasi yang dibentuk bola-bola kecil sehingga anak mudah mengambilnya menggunakan sendok, sumpit atau bahkan tangan, sayuran dan lauk yang diiris kecil-kecil supaya mulut mungil si anak mudah memakannya.
Tak ketinggalan alat-alat makan kecil nan lucu yang dipercaya mampu merangsang ketertarikan anak untuk makan sendiri.
Usia 3 tahum anak-anak Jepang biasanya mulai masuk TK (Yochien). Namun karena jam sekolahnya yang berakhir pukul 14.30, maka bagi ibu bekerja pilihannya adalah memasukkan anak ke daycare (hoikuen).
Di houikuen anak bisa dititipkan sejak pukul 7 pagi hingga 19 malam. Di sana, segala aktivitas harian dilakukan bersama-sama, dari mulai makan, tidur dan mandi di musim panas. Tentu saja acara mandi dipisah per jenis kelamin.
Usai makan siang, anak-anak diharapkan merapikan sendiri alat-alat makannya. Kemudian bersiap-siap untuk tidur bersama di aula. Di aula anak-anak akan menggelar sendiri alas tidurnya lalu tidur siang, tanpa harus digendong atau dibujuk-bujuk.
Sekitar jam 3 sore satu per satu akan bangun dan merapikan lagi alas tidur masing-masing. Setelah itu mereka siap-siap untuk makan snack sore.
Kesannya sepele, ya? Tapi bagi saya, kebiasaan baru bagi anak-anak saya ini sungguh membantu ketika makan malam di rumah.
Tidak ada maid pun tidak terlalu berat karena anak-anak tidak perlu disuapi ketika makan.Usai makan pun mereka dengan kesadaran tinggi meletakkan piring bekasnya di bak cucian piring. Kelak ketika SD, mereka sudah mulai bisa mencuci piring sendiri.
Pun dengan urusan mandi. Karena musim panas di sini bisa mencapai suhu 40 derajat, maka sebelum tidur siang di daycare anak-anak akan mandi terlebih dahulu. Guru pembimbing hanya mencontohkan satu atau dua kali, setelahnya anak-anak akan mandi sendiri. Karena hal inilah, sejak musim panas tahun ini datang, anak sulung saya yang berusia 3 tahun tidak mau lagi dimandikan mamanya, karena kata Ibu Guru anak perempuan tidak boleh mandi bersama dengan anak laki-laki :D
Setelah mandi pun dia akan menolak apabila dipakaikan baju, semua-muanya mau dilakukan sendiri, seperti di sekolah, katanya!
Di Jepang, lokasi sekolah dasar ditentukan oleh kantor kelurahan, dicarikan yang lokasinya dekat dengan rumah. Hal ini karena setiap sekolah negeri memiliki kualitas yang sama, sehingga orangtua tidak perlu pilih-pilih sekolah favorit :)
Peraturan di sini juga, dari awal kelas 1 SD, anak-anak tidak boleh diantar jemput menggunakan mobil. Jadi nggak ada tuh anak-anak yang merasakan nikmatnya kena hembusan AC mobil saat musim panas. Yang ada, mereka harus berjalan kaki saat pulang dan pergi sekolah. Anak-anak ini akan berjalan kaki dengan kelompoknya, yang ditentukan oleh pihak sekolah.
Memangnya aman? Ada beberapa perlengkapan yang melengkapi keseharian mereka ini. Antara lain peluit apabila terjadi bahaya, pelapis tas dengan warna mencolok sehingga terlihat oleh pengendara kendaraan, dan telepon genggam yang hanya bisa digunakan untuk menelepon orangtua atau guru.
Lagipula, di pagi atau sore hari selepas jam sekolah, banyak volunteer yang menjaga area yang dirasa berbahaya untuk anak-anak, misalnya pertigaan yang tidak ada lampu lalu lintas, sehingga orangtua bisa tenang melepas anaknya ke sekolah.
Di musim hujanpun, anak-anak ini tetap harus berjalan kaki. Mereka menggunakan payung dan sepatu boots. Kendati hujan, yang saya lihat sih, anak-anak tetap riang gembira bersenda gurau dengan teman-temannya. Bahkan ketika salju turun dan suhu drop ke kisaran minus, anak-anak tetap harus berjalan kaki, lho!
Dari hal-hal di atas, saya mengambil kesimpulan, mungkin karena terbiasa susah semenjak kecil, saat dewasa orang-orang di Jepang menjelma menjadi pribadi tangguh yang jarang mengeluh.
Apakah semua hal di Jepang positif? Ya, pasti ada nilai positif dan negatif dalam pola parentingnya, kan. Tapi bagi saya, tidak ada salahnya kita mengambil nilai yang positif, deh!