banner-detik
PARENTING & KIDS

All About That Bass: Bukan Sekadar Lagu Enak

author

vanshe15 Dec 2014

All About That Bass: Bukan Sekadar Lagu Enak

"Because you know I'm all about that bass

'Bout that bass, no treble

I'm all about that bass, 

'Bout that bass, no treble

I'm all about that bass, 

'Bout that bass"

Lagu ini sedang ngehits banget, yah, Mommies?

Setiap saya menyetel radio, saya mendengar lagu ini diputar paling tidak dua sampai tiga kali dalam sehari. Lagu yang dibawakan Meghan Trainor ini memang sangat catchy, mudah disukai dan juga dinyanyikan. Apakah ada Mommies yang juga suka lagu ini? Hihi, sepertinya bukan cuma orang dewasa yang suka, tapi juga anak-anak dan remaja, ya.

allaboutthatbass*Gambar dari sini

Tapi, selain ikut bernyanyi kalau lagu ini sedang diputar, apakah Mommies pernah memperhatikan lirik lagunya juga?

Saya sendiri baru tahu, kalau ternyata lagu ini mengajak para perempuan yang "ain't no size two" untuk nggak terobsesi menguruskan badan agar langsing seperti "stick figure silicone Barbie doll." Lagu ini juga ingin kita menyadari kalau kecantikan yang dilihat di halaman-halaman majalah wanita kebanyakan tidak nyata. Because you know, Photoshop and all. Another strong message from this song is that "every inch of you is perfect / from the bottom to the top." 

Pesan yang sangat positif, bukan? Tapi, ketika saya sedang iseng browsing di sebuah forum ibu-ibu yang berbasis di Amerika Serikat, saya menemukan sebuah thread yang membahas lagu ini namun dengan nada yang tidak begitu positif. Ada beberapa ibu yang beranggapan kalau lagu ini memuat bait lirik yang 'berbahaya.' Spesifiknya, yang ini:

"Yeah, my mama she told me don't worry about your size

She says boys like a little more booty to hold at night"

Kalimat yang belakangan itu membuat beberapa ibu merasa tidak sreg, karena patokan kecantikan perempuan dianggap diserahkan ke tangan laki-laki. It's like you need boys' approval to feel pretty. Karena lagu ini banyak disukai oleh anak-anak usia ABG, banyak ibu khawatir ini dapat mempengaruhi body image mereka dengan mengarahkan bahwa menjadi cantik berarti berwujud seperti yang disukai oleh laki-laki.

Intriguing, huh? 

Saya jadi berpikir, iya juga, ya. Saya ingat ada fase di mana lagu-lagu Britney Spears sedang ngehits dan banyak anak perempuan (di luar negeri, sih) yang ikut-ikutan memakai cropped tank top seperti idolanya. Meski kalau dipikirkan secara praktis, sometimes all you think about a pop song is just that it's nice to singalong to. 

Terlepas dari apakah lagu ini mengandung pesan yang kontroversial, atau bisa mengindoktrinasi anak-anak perempuan, saya jadi ingin menyoroti hal utama yang dibahas oleh lagu ini sekaligus menjadi bahan perdebatan ibu-ibu tadi. It's body image. 

Body image atau citra diri akan tubuh adalah bagaimana kita berpikir tentang diri sendiri, baik itu saat kita sedang mematut diri di depan cermin, atau saat kita membayangkan sosok diri di pikiran.

Saya kutip dari situs ini, citra diri mencakup antara lain:

  • Apa yang kita yakini tentang penampilan kita, termasuk ingatan, asumsi, dan generalisasi.
  • Bagaimana perasaan kita tentang diri sendiri, termasuk tinggi, bentuk, dan berat badan.
  • Bagaimana kita merasakan dan mengendalikan badan kita saat kita bergerak.
  • Selanjutnya: Mudahkah memiliki citra diri yang positif?

    Baru-baru ini, saya mendapatkan me-time lewat kencan dengan sahabat. Obrolan kami tak tentu arah, berpencar ke mana-mana mengikuti isi hati dan situasi, lalu kami sampai pada episode masa remaja. Dalam kenangan saya, masa itu tidak hanya diisi oleh keseruan masa-masa sekolah, tapi juga growing pains.

    Seperti saya curhatkan di artikel ini, terjadi fase puber yang menyebabkan begitu banyak perubahan, secara emosi dan tentunya fisik. Saya ingat jelas kalau waktu itu, saya sering stres memikirkan jerawat yang memenuhi muka. Saya juga sebal dengan rambut saya yang keriting (dan kerap diledek "sarang tawon!" oleh anak-anak lelaki, huh), kulit saya yang gelap, bahkan pada tinggi badan saya yang menjulang dibandingkan anak-anak seusia di sekolah. I hated my body and I wanted God to change me. 

    Acne*Gambar dari sini

    Kenapa saya tidak bisa seputih teman saya yang itu sih? Kenapa muka saya tidak semulus model-model di majalah remaja itu? Kenapa saya bongsor banget??

    Ternyata, sahabat saya bilang kalau diapun menghadapi isu yang sama. Masalah kami memang tidak serupa, tapi dia juga merasakan bagaimana body image yang buruk dapat mengikis kepercayaan diri.

    Jadi, bisa dibilang kalau masa ABG adalah masa-masa kritis bagi body image. Kita berhadapan tidak hanya dengan growing pains efek pubertas, tapi juga perjuagan membentuk konsep body image yang positif.

    Meskipun begitu, kalau saya pikir ulang, body image melekat sepanjang hidup, dan setiap fase dalam hidup bisa menjadi masa kritis jika kita masih belum memiliki body image yang positif. Saya banyak melihat perempuan seusia saya terobsesi menjadi lebih kurus, lebih langsing, lebih tirus. Itu baru soal berat badan, masih ada begitu banyak hal yang bisa menjadi faktor insekuritas perempuan, mulai dari warna kulit, model rambut, kondisi wajah, sampai keinginan mengikuti gaya berbusana mengikuti tren terbaru.

    It's like we cannot help not to compare ourselves, not only with our peers, but also from what we see on TV, magazines, and the internet.  

    Sebenarnya sih, menurut saya pribadi, tidak ada salahnya ingin terus meng-improve diri. Tapi, pasti ada batasan perilaku antara citra tubuh yang sehat dengan yang tidak, bukan?

    Masih dari situs yang sama, saya jadi tahu kalau perbedaan antara dua hal itu sebagai berikut:

    - Body image yang negatif:

  • Punya persepsi yang menyimpang tentang bentuk tubuh -- melihat bagian-bagian dari tubuh tidak sesuai kondisi nyatanya
  • Meyakini bahwa hanya orang lain yang menarik, sementara ukuran dan bentuk tubuh sendiri adalah wujud kegagalan
  • Merasa malu, self-conscious, dan cemas tentang tubuh sendiri
  • Merasa tidak nyaman dan canggung dalam tubuh sendiri
  • Sementara itu,

    - Body image yang positif berarti:

  • Punya persepsi yang jelas dan sejati tentang bentuk tubuh -- melihat bagian-bagian tubuh sebagaimana adanya
  • Menghargai bentuk alami tubuh dan memahami bahwa penampilan fisik hanya mengungkapkan sedikit sekali tentang karakter dan nilai-nilai seseorang
  • Merasa bangga dan menerima keunikan tubuh, serta tidak mengkhawatirkan makanan, berat badan, dan kalori
  • Merasa nyaman dan percaya diri dalam tubuh sendiri
  • Dijelaskan di webmd.com bahwa anak perempuan maupun laki-laki sama-sama dapat terpengaruh oleh konsep citra tubuh negatif. Anak perempuan mungkin ingin memiliki wajah cantik dan tubuh sempurna bak model, sementara anak laki-laki bisa terobsesi mendapatkan tubuh berotot seperti atlet dan bintang film.

    Padahal, orang-orang dengan citra tubuh negatif lebih cenderung mengidap eating disorder dan menderita depresi, perasaan terisolasi, kepercayaan diri yang rendah, serta obsesi untuk menurunkan berat badan. Tentunya kita tidak mau anak-anak kita mengalaminya, bukan? Lalu bagaimana caranya agar anak-anak kita memiliki citra tubuh positif?

    Lihat di halaman selanjutnya!

    Express Yourself*Gambar dari sini

    Bagi orangtua, penting untuk memerhatikan hal-hal berikut:

    1. Jadilah role model yang baik. 

    Tanpa disadari, anak-anak mengobservasi dari dekat gaya hidup kita, kebiasaan makan, dan sikap kita terhadap penampilan dan berat badan. Berhati-hatilah memberikan contoh perilaku, karena anak akan meniru sikap kita terkait tubuh. Jika kita terus-menerus mengeluhkan ukuran pinggul atau rambut yang nggak oke, anak-anak akan belajar berfokus pada kekurangan dirinya.

    Satu lagi, lakukan perubahan jika kita tidak menyukai kondisi tubuh kita, alih-alih hanya mengeluh.

    2. Be positive.

    Jangan pernah melontarkan komentar negatif tentang tubuh anak, karena itu hanya akan membuat mereka merasa lebih down, dan juga tidak menyelesaikan masalah.

    Justru kita perlu memuji anak atas kemampuan fisiknya -- "Wah, kamu kuat banget bisa membantu mama membawa belanjaan," atau "Cekatan banget yah, kamu!" karena ini akan membangun citra tubuh positif.

    Kita juga bisa mendukung anak mengoptimalkan kualitas yang ada pada dirinya, misalnya dengan mengajaknya menjaga personal hygiene, menegakkan postur tubuh, serta menerapkan kebiasaan makan sehat dan tidur teratur.

    3. Ajarkan tentang media dan industri kecantikan kepada anak.

    Jangan biarkan anak perempuan kita menjadi fashion victim atau anak lelaki kita terobsesi menjadi berotot dengan cara instan yang tidak sehat. Bantu mereka menumbuhkan sikap skeptis yang sehat terhadap gambar-gambar di majalah, TV, dan internet. Pastikan mereka tahu bahwa ada teknologi manipulasi foto, pengarah gaya, personal trainers, operasi kosmetik, dan banyak trik lain di balik itu semua.

    4. Menekankan pentingnya kualitas diri selain penampilan.

    Dukung anak kita untuk mengembangkan bakat dan kemampuan yang tidak ada hubungannya dengan penampilan, seperti musik, olahraga, seni, dan kegiatan sukarela. Berikan juga apresiasi terhadap hal-hal yang kita suka dari diri anak, misalnya bagaimana mereka bisa membuat kita tertawa, atau keseriusannya mengerjakan tugas sekolah, atau kepeduliannya terhadap orang lain.

    5. Jadikan kesehatan sebagai concern keluarga.

    Seluruh anggota keluarga dapat menjadi sehat dengan menghindari junk food, menyediakan masakan bergizi, dan juga berolahraga. Melakukan kebiasaan ini bersama-sama sebagai keluarga dapat membantu anak kita menerapkannya.

    Saya jadi ingat artikel tentang positive parenting ini; kita memang tidak dapat melindungi anak-anak kita dari ancaman pengaruh buruk. Apapun, baik itu TV, majalah, internet, sampai ke lagu pop, bisa berpotensi 'merusak' kepolosan anak-anak kita. Karenanya, penting bagi orangtua untuk membekali mereka dengan nilai-nilai dan contoh perilaku.

    Hmm… baiklah, kalau begitu saya mau beranjak dari depan layar laptop dan menggelar karpet yoga dulu, ya, Mommies. Sementara itu, boleh juga, lho, dibagi komentar dan pengalamannya seputar citra tubuh. :)

    PAGES:

    Share Article

    author

    vanshe

    Ibu satu anak. Was an SAHM for 2,5 years but decided that working outside home is one of many factors that keeps her sane. Grew up deciding not to be like her mother, but actually feels relieved she turns out to be more and more like her each day. She's on Twitter & IG at @rsktania.


    COMMENTS


    SISTER SITES SPOTLIGHT

    synergy-error

    Terjadi Kesalahan

    Halaman tidak dapat ditampilkan

    synergy-error

    Terjadi Kesalahan

    Halaman tidak dapat ditampilkan