Sorry, we couldn't find any article matching ''
Memahami ABG Lewat Diary
Ingat nggak, sih, seperti apa rasanya saat kita masih ABG? Tunggu sebentar, is there any other people out there still use the term "ABG" like i just did? Hihihi…
Saya sendiri, sih, ingat dengan jelas bagaimana rasanya. Tidak hanya berbekal ingatan, tapi saya juga bisa mengenangnya lewat buku harian alias "diary." Saya masih menyimpan semua diary saya, mulai dari yang pertama, dated way back to 1993! Ternyata ada untungnya juga doyan curhat, saya bisa tinggal membuka buku-buku itu kalau ingin mengenang suatu kejadian.
Nah, beberapa hari yang lalu, tiba-tiba ada dorongan untuk membuka buku harian pertama saya, yang ditulis saat kelas 4 SD sampai 2 SMP. Hmm, meskipun bukan tanpa alasan juga, sih, saya ingat buku itu, pastinya ada faktor editorial letter Lita bulan ini yang bertema "Teenage Dream," hehehe.
Buku harian pertama saya modelnya 'klasik' banget - untuk tidak menyebutnya norak. Covernya diisi gambar bernuansa romantis a la majalah remaja yang ngetren di tahun 90an. Buku harian pertama saya terinspirasi dari buku cerita berjudul "Dear Diary" yang waktu itu dikirimkan oleh tante yang tinggal di luar kota. Melalui buku yang dikarang oleh Carrie Randall itu, Lizzie, tokoh utamanya yang seorang ABG juga seperti saya, memperkenalkan saya pada konsep "curhat." Lizzie menceritakan hidupnya sehari-hari dengan segala drama, keresahan, dan masalah yang sedang dihadapi.
Saat membuka kembali buku harian itu, saya sangat penasaran dan excited seperti akan membuka mesin waktu! Sekitar satu jam berikutnya, saya disuguhkan kembali keseharian saya semasa SD; wajah teman-teman (meski hanya lewat deskripsi); lagu-lagu kesukaan, daaan lainnya. Napak tilas mental ini, selain membanjiri dengan kenangan, ternyata juga menyuguhkan hal-hal yang bisa menjadi rambu-rambu pengasuhan bagi saya saat ini. Apa sajakah itu?
- Ternyata, memperhatikan perasaan si kakak saat punya adik baru itu penting.
Curhat banget, ya? Jadi, waktu saya masih kelas 5 SD, adik saya yang ke-dua (laki-laki) lahir. sementara, saya sudah punya adik perempuan yang 'hobi'nya berantem terus dengan saya. Nah, waktu itu, saya merasa setiap kali kami berantem, saya yang terus-menerus kena semprot, sementara si adik dibela.
Sepertinya, sih, bukan cuma karena saya mulai puber hingga sering galau sendiri, tapi mungkin juga karena mengalami yang disebut Manda sebagai "Kakak Blues." Jadi bawaannya sensi dan carper menyambut kelahiran adik baru.
Maunya, sih, ketika nanti Bumy punya adik (entah kapan hihihi), saya sudah tahu cara menyiapkannya menjadi kakak baru, seperti di artikel ini.
- Bullying!
Akhir-akhir ini, berita tentang bullying (sedihnya) sudah kerap kita dengar, ya, Mommies. Sebenarnya, sih, sejak dulupun bullying sudah banyak terjadi. Mommies sendiri mungkin familiar dengan perploncoan yang seolah menjadi ritual di banyak sekolah, bukan? Tapi, ketika masih duduk di kelas 6 SD, bullying menjadi bagian dari hidup saya bukan karena menjadi korban, melainkan pelaku!
Yaa, ini memang bisa dibilang aib. Mungkin karena merasa punya banyak teman, saya jadi suka mengolok-olok teman yang terlihat 'berbeda.' Entah itu karena kekurangan maupun kelebihannya. Kalau dipikirkan sekarang, apa mungkin waktu itu saya kurang perhatian, ya, karena Kakak Blues tadi? Hehe... tidak tahu juga, sih. Tapi, menurut saya, kontrol dari sekolah yang minim juga bisa menjadi penyebab terjadinya bullying; baik karena murid yang jumlahnya banyak, perhatian guru yang kurang, maupun tidak adanya sistem untuk menangani bullying.
Tapi, waktu jadi murid SMA, seperti Kiki, saya merasakan di-bully. Biasalah, oleh kakak-kakak kelas yang sama-sama perempuan. Hal itu menyadarkan saya, bahwa meskipun tidak melibatkan kekerasan fisik, perasaan diteror dan juga diolok-olok TERNYATA didn't hurt any less. :( Mungkin itu yang membuat saya jadi tidak mau mengulang tindakan bully ketika sudah jadi kakak kelas.
Kini, sebagai orangtua, tentunya saya tidak mau anak mengalami bullying. Menurut saya, anak perlu sering-sering diajak berempati agar memedulikan perasaan orang lain. Tapi, seperti Kirana, saya juga mengajarkan anak agar dapat membela dirinya jika di-bully.
Selanjutnya: Naksir-naksiran. Uhm!
*Gambar dari sini
- Yang satu ini ciri khas ABG banget, yaitu sudah mulai memerhatikan lawan jenis dan, pastinya, ingin diperhatikan.
Kalau menilik pengertian masa puber, ini berarti saat-saat di mana seorang anak mengalami perubahan fisik, psikis, dan pematangan fungsi seksual. Biasanya dimulai di usia 8 hingga 10 tahun dan berakhir lebih kurang di usia 15 hingga 16 tahun. (Wikipedia)
Nah, jadinya wajar 'kan kalau saya sudah mulai melirik lawan jenis saat kelas 5 SD? Hahaha... Dari yang saya baca di diary, sih, penyebab rasa suka itu karena si teman lucu atau seru diajak ngobrol, atau yah, semata-mata 'cakep' di mata saya waktu itu. xD
Pastinya bisa ditebak kalau urusan ini saya rahasiakan. Nggak kebayang saya bisa ngobrolin ini dengan orangtua saya. Tapi, saya maunya, sih, anak saya nanti mau bercerita pada saya (atau papanya, deh) jika dia sudah mulai naksir cewek, hehe. Sekadar suka would be harmless, I think. Justru kalau orangtua tahu, bisa menjadi jalan pembuka untuk diskusi soal seks dan seksualitas.
Tapi, sepertinya saya sudah mulai menyiapkan diri dari sekarang untuk diskusi ini, nih, Mommies. Karena seperti yang pernah dibahas di artikel ini, 10 is the new 16. Yup, anak-anak kita akan jauh lebih cepat 'dewasa' daripada kita dulu!
- Tentang memilih ekskul atau les di luar sekolah.
Nah, berhubung saya banyak bercerita soal kegiatan saya sehari-hari di buku harian, saya jadi teringat apa saja ekskul dan les saya waktu itu. Ternyata, saya dulu sebal banget kalau disuruh les menari oleh ibu. Sekarang saja, membayangkan saya yang kikuk dan pemalu ini menari membuat geli sendiri. Dulu, ibu saya mengikutkan saya les menari karena melihat adik perempuan saya luwes banget ketika menari dan sepertinya sih ingin saya lebih luwes dan percaya diri seperti dia. But to me, having to follow the dance course was excruciating.
Lalu saya juga dipanggilkan guru privat ke rumah untuk les matematika. Saya baca kalau saya sebal banget harus les ini dan cemberut sepanjang les pada guru saya. Poor teacher!
Tapi sebaliknya, waktu itu saya senang banget melakukan kegiatan yang aktif dan outdoorsy seperti bersepeda, berenang, main kasti, main galasin/gobak sodor (sampai membentuk tim galasin "all stars" ketika SD! Hahaha), dan... jadi pramuka. Oh ya, i was a dedicated girl scout sampai beberapa kali ikut kemping.
Nah, membaca soal ini dari buku harian, saya jadi diingatkan untuk nggak memilihkan aktivitas untuk anak ketika dia sudah bisa membangun preference-nya sendiri. Kebetulan, beberapa hari lalu saya mendengar siaran radio pagi yang membahas soal karakteristik Generasi Y (1978-1994). Gara-gara dibesarkan dalam kondisi ekonomi yang stabil bahkan cenderung menanjak, anak-anak generasi ini jadinya tahu gampang aja. Apa-apa sudah disediakan dan dipilihkan. Misalnya saja pilihan sekolah dan les.
Gen Y sudah dipilihkan perlu ikut les apa saja yang bisa menunjang kemampuannya oleh orangtuanya; difasilitasi kalau menginginkan barang x, mempelajari skill y, dan lain-lain. Otomatis, 'ciri khas' generasi ini adalah maunya serba-instan dan kurang berjuang. Er... kalau berkaca pada diri sendiri, yaa memang (banyak) benarnya, siih, hahaha.
Saya simpulkan dari siaran itu, sebagai orangtua, kita tak perlu sedikit-sedikit menyodorkan sesuatu pada anak, atau hanya memberi instruksi pada mereka. Selalu tanyakan pendapat mereka, dan libatkan mereka dalam proses. Kiat lengkap membantu memilihkan ekskul anak bisa disimak di artikel ini, ya, Mommies.
- Growing pains are inevitable.
Saya saksikan itu lagi lewat buku harian. Saya bergerak dari zona nyaman selama 6 tahun di SD ke SMP yang 'asing' dan berisi norma-norma baru. Teman-teman berubah; yang tadinya nyambung bisa tiba-tiba sombong. Mood swings membuat saya jadi sering 'berantem' dengan orangtua. Apalagi soal penampilan fisik… ugh, badan seolah membengkak, jerawat bermunculan; semua perubahan akibat pubertas yang kerap bikin rikuh. Above all that, I was also somewhat trying hard to "fit in" - ingin punya gaya berpakaian yang 'benar,' ingin tahu hal-hal yang keren, juga ingin bersikap 'politically correct' untuk standar pergaulan anak SMP, hehehe. Kalau dikenang sekarang mungkin terkesan sepele, tapi saat itu, it was the life I lived in. It didn't feel comfortable.
Kalau saya ingat-ingat, sih, sepertinya orangtua saya berusaha sebaik yang mereka bisa untuk mendampingi saya melewati masa-masa itu; mereka memang tidak mendampingi secara emosional (understandable, mengingat ciri khas kepribadian generasi mereka), tapi mereka melakukan hal lain yang kalau saya nilai sekarang memang diperlukan: Mereka 'mendoktrin' saya dengan nilai-nilai, memberi batasan tanpa mengekang, juga memberikan konsekuensi jika perlu.
I think that’s something I’m going to imitate.
Karena jika dinilai sekarang, sepertinya saya bisa melalui turbulensi masa puber dengan baik-baik saja. Maksudnya, saya bisa melanjutkan pendidikan, tidak memiliki masalah dengan kejahatan, narkoba dan sejenisnya, dan bisa dibilang... pada akhirnya bersahabat dengan kedua orangtua. So I guess they raised me just fine.
Selanjutnya: Buku diary bukan sekedar curhat!
*Gambar dari sini
Menggali masa ABG melalui buku harian juga memberikan insight tentang betapa bermanfaatnya menularkan kebiasaan curhat ini pada anak-anak kita. Sebuah artikel di Huffington Post tahun 2013 menyebutkan bahwa 83 persen anak perempuan berusia 16 sampai 19 tahun masih mendokumentasikan hidup mereka di buku harian meskipun blog dan social media semakin populer. Dengan paper and pen, buku harian memenuhi kebutuhan untuk mengobservasi hidup dan mencurahkan emosi. It's a tradition that keeps going strong. Tidak mengherankan, karena menulis buku harian atau jurnal memberikan banyak manfaat, di antaranya:
- Menuturkan perasaan dan pemikiran membuat kita melihatnya dengan lebih jelas.
- Membuat kita lebih mengenal diri sendiri. Dengan menulis secara rutin, kita bisa mengetahui apa yang membuat kita merasa senang dan percaya diri. Kita juga bisa lebih memahami situasi sulit atau orang-orang yang 'toxic' untuk kita, dan ini penting bagi kesejahteraan mental kita.
- Mengurangi stres. Menuliskan kesedihan, kemarahan, dan emosi negatif lain membantu mengurangi intensitas perasaan itu.
- Menjadi cara pemecahan masalah yang lebih efektif. Umumnya, kita memecahkan masalah dengan perspektif otak kiri yang lebih analitis. Tapi terkadang, jawaban dapat ditemukan dengan mengolah kreativitas dan intuisi yang khas otak kanan. Menulis membuka jalan untuk kemampuan ini.
Bagi remaja sendiri, manfaat emosional dari menulis jurnal dirangkum oleh para periset sebagai berikut:
Kita bisa mendorong anak untuk membuat jurnalnya. But, sometimes the best way to support is to step back. Biarkan anak mengenali kebutuhan emosinya sendiri, berikan mereka waktu untuk mengisi jurnal, dan biarkan mereka menuangkan ekspresi maupun selera artistiknya lewat jurnal tersebut.
Namun jika anak belum berminat memiliki jurnal atau buku harian, kita dapat mencoba menumbuhkan minatnya dengan memberikan ide-ide untuk menjadi bahan tulisan mereka melalui beberapa pertanyaan, seperti
Apa Mommies juga punya kenangan yang berkesan seputar buku harian? Atau apakah anak-anak Mommies sudah ada yang suka curhat di buku hariannya sendiri? It must be very interesting. :)
Referensi:
http://www.homeschooling-ideas.com/
http://www.huffingtonpost.com/
PAGES:
Share Article
POPULAR ARTICLE
COMMENTS