Sorry, we couldn't find any article matching ''
Berbicara Agar Remaja Mau Mendengar, dan...
What??!! Seri berbicara dan mendengar ini sudah ada 'sekuel'nya? Yang pertama aja kemarin masih belum saya kuasai, sekarang sudah terbit yang untuk remajanya.
Oke oke, masih ingat kan buku (salah satu) andalan saya untuk mastering komunikasi dengan anak, Berbicara agar anak mau mendengar, dan mendengar agar anak mau berbicara, dari penerbit Buah Hati. Dari buku itu, saya mendapat sebuah 'kunci', seni baru untuk berkomunikasi dengan anak. Yang paling mengena, memahami dan memastikan anak tahu kalau kita paham bagaimana perasaannya. Caranya? Nah di buku itu, buanyak banget contoh-contoh percakapan sehari-hari, sehingga kita jadi mudah mengerti.
Daan...seperti judul di atas, ternyata Adele Faber & Elaine Mazlish, si pengarang buku ini juga membuat seri kedua, Berbicara Agar Remaja Mau Mendengar dan Mendengar Agar Remaja Mau Berbicara. Whuuuu....remaja gitu loh! Saya kadang suka agak denial, how time flies so fast. Rasanya baru aja lho saya menjadi remaja, dan masih ingat persis gimana groove dan enjoy-nya waktu menikmati masa-masa itu. Sekarang harus menghadapi seorang 'remaja'? Eh belom sih, anak saya masih 10 tahun, masih menjelang usia remaja (teteep aja).
Anyway, jadi sebenarnya si penulis membuat buku ini juga karena banyaknya respon dari pembaca buku sebelumnya, ketika anak-anak mereka sudah menginjak masa remaja. Mereka menghadapi serangkaian 'masalah' baru (parents...you don't know what you're about to dealing with ;p).
Menariknya, buku ini disusun berdasarkan serangkaian diskusi grup, yang melibatkan orangtua yang mempunyai anak remaja. Karena, ternyata masa remaja itu memang saat-saat yang paling diingat, sehingga sebagian besar orang -kita sebagai orangtua- masih ingat betul apa yang kita lalui, apa yang kita rasakan, saat jadi remaja. Jadi, inilah kunci pertama, put yourself in their shoes.
Misalnya, ada salah satu orang yang ingat kenangannya bersama ibunya. "Hm, saya sebenarnya membutuhkan ibu saya, tetapi yang saya dapat darinya hanyalah cerita lama yang sama: "Ketika ibu seusiamu..." atau, "Dulu ibu gini lho.." dsb. Familiar? Ternyata remaja males lah ya kalau lagi-lagi mendengar kalimat seperti itu. Dan saya merasakan banget, suami saya (mungkin tidak sadar) sering bercerita, atau 'menasihati' dengan gaya seperti ini ke Akhtar. Dalam hati, saya bertekad, "Oke, we should talk about this, later" :D
Kita semua mengalami masa remaja yang bermacam-macam, entah menyenangkan, buruk, mengesalkan, dan lain-lain. Tetapi pada akhirnya kita semua baik-baik saja kok. Benarkah? Let's see.
Kita semua akhirnya bertahan juga sebagai seorang dewasa yang normal. Mungkin benar, tapi terlalu banyak waktu dan energi yang dicurahkan untuk melewati hal-hal yang buruk. Dan ada beberapa hal yang tidak pernah benar-benar berlalu. Misalnya, ada sebagian kita yang sampai sekarang pun tidak pernah bisa menyampaikan pendapat dengan bebas, tanpa rasa takut, kepada orangtua. Apa iya kita mau hal yang sama terulang pada anak kita?
Adakah formula yang simpel, praktis yang bisa langsung kita praktikkan? Unfortunately, menyangkut remaja, tidak ada jawaban yang cepat. Kita tidak bisa melindungi mereka dari semua bahaya masa kini, atau menghindarkan mereka dari guncangan emosional masa remaja, atau menyingkirkan serbuan budaya tidak sehat yang membombardir mereka. Namun jika kita bisa menciptakan iklim di rumah di mana anak-anak merasa bebas mengutarakan perasaan mereka, besar kemungkinan mereka akan lebih mampu menerima nilai-nilai kita.
Sebenarnya kecakapan berbicara seperti yang ada dalam buku pertamanya, masih sangat relevan untuk remaja. Kita hanya harus mampu menyesuaikannya dengan usia mereka. Misalnya, ketika kita melihat anak remaja kita murung, atau beda dari biasanya. Ada gaya percakapan yang dapat menambah tekanan mereka (biasanya apa yang langsung terpikir /respon pertama kita), dan jenis percakapan yang membantu mereka untuk menghadapi masalahnya.
Ibu: "Ada apa, kok diam terus dari tadi?"
Abby: "Si Raisa nyebelin"
Ibu: "Masa sih? Raisa yang ke sini itu? kayanya dia baik"
Aabby: "Itu karena ibu nggak ketemu dia tiap hari"
Iibu: "Ya paling sebentar aja dia seperti itu. Jangan terlalu menjelek-jelekkan"
Abby: *kesal*
Alih-alih respon seperti itu, biarkan dia tau bahwa kita memahami perasaannya.
Abby: "Si Raisa nyebelin"
Ibu: "Menurutmu begitu? Dia membuatmu kesal?"
Abby: "Becandanya kelewatan"
Ibu: "Dan kamu nggak menganggap itu lucu.."
Abby: "Iyalah, masa dia ngolok-ngolok aku, trus aku dibilang sensi banget..."
Ibu: "Oya..?"
Abby: "Mudah-mudahan besok-besok dia gak berlebihan seperti itu."
Terasa berbeda nggak? Apa yang beda? Bahas di halaman selanjutnya yuk!
Ada sebuah petikan yang 'dalem' banget, soal penyampaian value yang kita ingin anak remaja kita paham.
"Akan selalu ada waktu bagi Anda untuk menyampaikan pesan Anda. Tapi kesempatan Anda untuk didengar lebih besar dengan membiarkan anak Anda tahu bahwa mereka didengarkan. Tapi itu pun tidak ada jaminan. Mereka mungkin saja menuduh Anda tidak mengerti, kuno, dan sebagainya. Tapi jangan salah. Di balik kemarahan dan protes mereka, anak remaja Anda ingin tahu persis posisi Anda. Nilai-nilai dan keyakinan Anda memainkan peran yang vital dalam menentukan pilihan-pilihan mereka".
Masih banyak gaya dan seni berbicara, menanggapi, membuat pilihan-pilihan menyangkut remaja di buku ini, seperti menghukum atau tidak, alternatif hukuman, mengajak remaja bekerjasama, memecahkan masalah, dan lain-lain. Terkadang kita berpikir, "Gampang banget bisa seperti itu". Sayapun demikian. Tapi, coba benar-benar dipraktikkan. Apakah mudah? Nggak lho! Mau ngomong atau merespon aja harus dipikirin dulu, kalimatnya seperti apa :D
So, do not underestimate the power of words, apalagi untuk hubungan kita sama the teenagers ini. Memang tidak ada kata-kata ajaib yang efektif untuk setiap remaja di setiap situasi. Tetapi supaya nggak clueless juga, buku ini bisa jadi salah satu 'bantuan' untuk kita.
PAGES:
Share Article
COMMENTS