Remaja: Jelek dan Minder

Parenting & Kids

Yulia Indriati・19 Nov 2014

detail-thumb

Tidak menyenangkan, itulah yang saya inget dari masa remaja saya. Kalau saya inget-inget lagi, tidak menyenangkan di sini maksudnya adalah, waktu itu saya merasa: jelek. Hahaha.

girlsfoto dari sini

Waktu itu saya umur sekitar 14 tahun, kelas 2 SMP, sekolah di SMP negeri di daerah Tebet, Jakarta Selatan. Walau orangtua saya tinggal di Pondok Gede, Bekasi, orangtua saya tetap menyekolahkan saya di daerah Tebet ini, karena SMP unggulan. Dan untuk memudahkan sehari-hari saya tinggal di rumah Budhe yang dekat sekolah. Dan jadinya, saya tidak ketemu ibu saya sendiri setiap hari. Walau kami tentunya bertelepon dan ibu saya sering hadir di rumah Budhe.

Daerah Tebet waktu itu (1995) seinget saya rasanya termasuk daerah yang cukup elit atau eksklusif. Hal ini kaitannya dengan teman-teman saya yang sekolah di SMP saya ini, rata-rata datang dari keluarga yang cukup berada. Mereka mengenakan sepatu dan tas sekolah yang keren-keren ke sekolah. Ada juga geng hore yang isinya anak-anak yang cantik-cantik dan ganteng-ganteng. Ada kan ya di setiap sekolah?

Dan saya bukan salah satu dari mereka. Hahaha.

Apa yang saya rasakan waktu itu dan yang saya paling ingat sampai sekarang, ya tentunya: minder dengan body image saya. Saya merasa tidak cantik, yang mana bukan hanya soal merasa, memang secara fisik memang tidak cantik, hahaha. Belum lagi, di masa-masa itu, untuk bisa mendapat “pengakuan”, selain diperlukan cantik untuk bisa merasa “feel good” juga perlu keren dalam artian mengenakan sepatu dan tas sekolah yang terkini. Saya nggak pernah sampai frustrasi atau punya persoalan yang secara psikologis perlu penanganan khusus gitu, sih. Tapi saya inget nggak enaknya menjadi anak remaja yang minder. Mungkin nggak sedikit yang mengalaminya juga.

Selanjutnya : keterlibatan orangtua ketika saya remaja.

remajafoto dari sini

Saya ingat ibu saya adalah orang yang sangat tertib dalam menggunakan uang. Mungkin karena sebenernya penghasilan ayah saya juga ngepas untuk kami hidup dengan layak, dalam artian, tidak ada budget kalau untuk membeli sepatu dan tas sekolah yang bermerek dan sering ganti. Saya ingat, waktu itu brand Esprit sedang hits-hitsnya, dan si geng hore tentunya semua sudah pakai barang-barang keluaran Esprit. Saya tahu, kalau pun saya minta, ibu saya tidak akan membelikan, karena kalau saya minta belikan, misalnya: dompet baru, ibu saya akan mengajak saya ke toko stationary terdekat atau ke Pasar Tebet.

Momen lain yang saya ingat adalah, pas jaman itu adalah masa di mana kalau ada teman yang ulang tahun, maka akan dirayakan di rumah dengan makan-makan lalu setelahnya ada acara dugem-dugeman di rumah itu juga. Iya tentunya ini adalah ultahnya salah satu teman yang keluarganya berada. Lalu nanti ada acara joged-joged dan tentunya saya tidak pernah ikut joged, alias menonton aja dari tempat saya duduk, karena: malu dan minder. Malu karena saya nggak tau caranya joged keren, minder karena baju saya nggak sekeren yang lain, kayaknya nggak layak aja untuk tampil. Hahaha.

Hal yang membanggakan dari diri saya di masa SMP ini adalah secara akademis, saya cukup lumayan dan di ekskul saya adalah salah satu ketua ekskul. Tapi, hal ini nggak cukup untuk bisa bikin pede anak remaja ya kayaknya.

Anyway, semoga saya nanti bisa membantu anak saya, 2 orang cewek, untuk menjalani masa remaja mereka. Termasuk ketika mereka menghadapi konflik dengan dirinya sendiri dengan baik. Meski pengalaman saya ini nggak enak, tapi tetap saja nggak akan membuat saya untuk berusaha mengenak-enakan anak saya. Saya ingin mereka bisa belajar berkonflik, baik dengan dirinya maupun lingkungannya. Merasa nggak enak dan nggak nyaman itu penting juga, kan, ya?

Tapi satu hal yang saya inginkan adalah bisa berkomunikasi dengan baik dengan anak remaja saya kelak. Yang mana saya sadar sih nggak akan mudah untuk membuat anak remaja sepenuhnya terbuka sama ibunya dan saya perlu usaha. Remaja pun sebenarnya merasa serba salah, karena ada pengaruh hormon dan keinginannya untuk dianggap bisa mandiri dan diakui, tapi sebenarnya masih butuh perhatian banyak dari ortu juga, seperti yang dikatakan oleh Psikolog Tari Sandjojo dari Rumah Main Cikal di sini.

Setelah saya membaca lengkap pendapat Bu Tari ini, saya jadi inget apa yang saya alami saat remaja dulu sebenarnya wajar sekali dan mungkin akan lebih “mudah” dijalani apabila saya punya komunikasi yang baik dengan ortu saya. Karena salah satu hal yang paling penting dilakukan ortu sebenarnya basic banget - tapi di dunia masa kini yang banyak sekali distraksi :p - hal ini mungkin nggak terlalu mudah lagi untuk dilakukan, yaitu harus selalu mau: mendengarkan anak dengan baik.

Gimana Mommies di sini, hits nggak dulu masa remajanya? :))

Yulia Indriati adalah content manager di 24hourparenting.com. 24hourparenting.com adalah adalah situs parenting yang memuat how-to-parenting, singkat dan to the point, juga membahas tentang menjadi orangtua, dan ide kegiatan ortu-anak. Dilengkapi visual yang semoga asik. Diasuh oleh psikolog dan orangtua.