Saya tumbuh dari keluarga yang minim komunikasi, minim pujian, walau nggak terlalu banyak tuntutan juga. Somehow sepertinya Bapak Ibu saya kebetulan sama-sama tipe susah mengekspresikan penghargaan dan rasa sayang. I stopped hugging and kissing my father until around 3rd grade. Lupa entah kenapa tahu-tahu stop. Rasanya saya mulai clash sama Bapak di usia sekitar itu. Sama Ibu malah entah kapan peluk-pelukan selain jaman masih digendong (gendong juga salah satu bentuk peluk, lho!). Paling hanya semacam formal hug dan cium tangan saat akan pergi keluar kota seperti kerja praktik atau dinas kantor, dan saat saya menikah.
Saat adik-adik saya mendapat perlakuan parenting yang berbeda, terbayang, kan, kalau ada momen di mana saya merasa galau saya anak kandung atau tiri ..haha. Did you ever feel that? Di titik itu relasi dengan orangtua dan keluarga makin merenggang.
Karena keluarga jauh di hati, otomatis saya merasa ada kekosongan. Pas saja masuk usia remaja, saya pengen banget punya pacar yang bisa isi kekosongan itu. Beberapa kali pacaran yang cinta monyet, sampe akhirnya kelas 3 SMP dapat pacar yang agak serius, bawaannya udah mikirin nikah *tepokjidat*.
Iya, itulah efek kalau anak nggak feeling fulfilled inside. Saya lihat-lihat kedua adik saya nampak lebih santai dari saya urusan pacar dan pasangan. Saya bahkan bisa kayak orang bingung kalau nggak punya pacar. Padahal adik-adik saya (sepertinya) nggak ambil pusing. Itulah kenapa saya punya pacar kayak berentetan ada terus, walau sebagian besar nggak serius. Cuma teman jalan, teman nonton, teman ngemal, teman ngobrol yang bisa jadi tempat curcol. Saya cuma tidak bisa merasa...kosong.
Kombinasi keadaan dan karakter anak seperti saya akan sangat berbahaya kalau ketemunya laki-laki yang jahat. Memanfaatkan perasaan hanya untuk seks misalnya. Atau bahkan bapak-bapak pervert beristri yang punya banyak uang untuk memanjakan anak usia SMP-SMA dengan imbalan tertentu. Apalagi anak-anak dari keluarga yang secara ekonomi nggak ada dana 'memanjakan' anak. And I came from a family like that.
Selanjutnya: Pernahkah saya berjumpa dengan 'orang jahat'?
Tapi bersyukurnya saya nggak pernah cross path dengan orang-orang yang berniat jahat seperti itu. Atau ada tapi nggak menjadikan saya target atau memang gagal? Entahlah, either way, saya bersyukur. I know I'm just a slip away from throwing my self to somebody that can soothe me and my heart.
Saya sempat, sih, ngumpul dengan 'teman-teman' yang mungkin kalau sekarang saya jadi orangtua sudah mencap sebagai anak-anak nggak bener. Tapi itu cerita untuk tulisan berikutnya, yaa :D.
Anyway, meski bersyukur, saya juga bertanya-tanya bagaimana bisa saya seberuntung ini? Memang, sih, orangtua saya termasuk protektif, ada jam malam, dan sebagainya. Tapi kalau memang nasib (atau niat?), mah, nggak nunggu siang-malam dan nggak lihat tempat juga, kan.
Kebetulan cowok-cowok yang sampai jadian sama saya sebagian besar tipe rumahan dan culun. They never even kiss a girl ..hahaha #lah. Ada, sih, satu om-om Jakarta kenalan dari internet yang sampai datengin ke Surabaya. Nggak om banget juga karena beda umur cuma 10 tahun. Tapi nampaknya dia kehilangan minat saat saya antar cari penginapan lalu saya rikuh dan minta menunggu di luar kamar saja.
Belakangan, berpuluh tahun kemudian saat saya sudah punya anak sendiri, saya menemukan jawabannya. Saya baru sadar, yang melindungi saya, menjauhkan saya dari kejahatan dan orang jahat, adalah doa orangtua. Bapak Ibu saya tahu mereka nggak mungkin melepas sayap saya, jadi mereka membekali saya jas hujan dan kompas (GPS pakai baterai, sih :D) supaya saya tetap aman dan selamat. Bisa jadi dititipkan sama malaikat juga, sih :p.
So Mommies, sudahkah mendoakan anak hari ini? Doa Mommies (dan daddynya juga) mungkin sudah membuat anak lepas dari kesulitan atau incaran kejahatan hari ini.