banner-detik
PARENTING & KIDS

Mengukur Keinginan Dan Kenyataan

author

vanshe11 Nov 2014

Mengukur Keinginan Dan Kenyataan

Reality Check

Suatu hari di akhir pekan, saya dan adik perempuan saya asyik mengobrol tentang berbagai hal. Mulai dari 'keseruan' hari-harinya sebagai ibu baru, sampai membahas kabar orang-orang yang kami kenal. Pembicaraan kami lalu sampai ke kabar seorang Om.

Om ini tahun depan akan memasuki masa pensiun, namun ia mengambil keputusan yang menurut kami agak drastis. Ia memasukkan anaknya ke universitas swasta yang terkenal mahal, ke fakultas yang juga terkenal sulit. Yang kami sayangkan, sebelumnya si anak sudah mencoba tes masuk ke fakultas yang sama di berbagai universitas - negeri maupun swasta - dan dinyatakan gagal di semua tempat tersebut. Menurut kami, kok keputusannya tetap memasukkan anaknya ke fakultas itu terkesan 'maksa' banget, ya?

Saya jadi menyimpulkan, bahwa "moral of the story" yang bisa kami petik - selain bahwa hobi bergosip sebaiknya jangan dipelihara, hehehe - adalah sepertinya si Om perlu reality check, deh. Kenapa meskipun sudah disodorkan fakta bahwa kemampuan anaknya tidak memadai, tapi ia masih tetap ngotot juga? Apa dia tidak bisa melihat apa yang orang lain (baca: pihak yang menguji kemampuan anaknya) lihat?

Tapi, sebelum saya bertanya-tanya lebih jauh dan bersikap menghakimi (uhuk!), saya berhenti sejenak untuk berkaca pada diri sendiri. Apa iya saya juga suka terlewat melakukan reality check, ya?

Reality check yang saya maksud adalah melihat suatu hal atau kondisi sesuai dengan kenyataan. Tanpa tertutupi 'kabut' ekspektasi, optimisme buta, mispersepsi, atau bahkan "excessive idealism" akibat kurangnya pemahaman atas apa yang terjadi.

Ibu saya sering sekali berkata, "Bayang-bayang sepanjang badan." Artinya kurang-lebih dalam mengharapkan sesuatu, hendaklah sesuai dengan keadaan dan kemampuan. Seringnya, sih, ibu saya memakai peribahasa ini untuk menasihati saya dalam soal berbelanja, hehehe. Lagi-lagi, ketika sudah sekian tahun menjadi orangtua, saya baru memahami manfaat dari kata-kata dan tindakan orangtua saya dahulu. Ternyata nasehat ini pas banget untuk reality check.

Misalnya saja, seperti Om tadi, apa saya juga suka terlampau berlebihan menilai kemampuan anak saya? Memang sih, manusiawi kalau sebagai orangtua kita suka susah bersikap objektif terhadap anak sendiri. Baik dalam kelebihan, maupun kekurangannya.

Bagi orang lain, hal yang kita anggap sebagai kelebihan anak mungkin terlihat biasa-biasa saja, tapi bagi kita, sangat membanggakan. Begitupun kekurangannya; orang lain mungkin beranggapan kita tak perlu memusingkan hal yang menjadi kekurangan di diri anak, tapi bagi kita, bisa menjadi masalah besar.

Apa mungkin sudah menjadi 'bawaan' orangtua untuk memakai kaca pembesar setiap kali menilai anak sendiri, ya?

Dalam hal kemampuan anak, berhubung anak saya masih balita, yang menjadi concern masih seputar kemampuan kognitif dan motoriknya saja, memang.

Tapi, apakah saya bisa menilai bakat atau kemampuan anak saya dengan adil?

Misalnya, saat anak-anak lain sudah jago berenang sementara anak saya masih takut menyemplungkan kepalanya ke kolam, apa saya akan tergoda untuk memaksanya masuk ke kolam renang?

Atau ketika anak laki-laki lain hobi bermain bola sementara anak saya memilih duduk tenang crafting, apa saya akan tetap menyodorkan bola kaki padanya?

Ketika anak-anak lain seusianya sudah lancar membaca sementara ia belum, apa saya akan parno dan men-drill-nya dengan berbagai metode instan?

Kalau seperti itu, apakah kira-kira saya akan bisa menemukenali bakat dan ketertarikan sejati anak?

Kalau saya kerap membandingkannya dengan anak lain, apakah itu adil baginya? Don't we need to see our child as a whole individual, dengan keunikan dan kondisinya masing-masing?

Selain itu, apakah keinginan saya untuknya itu murni karena kepedulian saya terhadap dirinya, atau saya hanya tidak ingin dipandang sebelah mata oleh ibu-ibu lain?

Nah, jleb deh, yang ini. Apalagi yang harus kita cek? Lihat di halaman selanjutnya, ya.

family_reading

Lalu, jika terjadi masalah dalam diri anak, entah itu menyangkut dirinya sendiri atau menjadikannya berkonflik dengan anak lain, apakah saya akan dengan emosionil menunjuk berbagai faktor dan juga pihak-pihak untuk disalahkan? Atau saya buru-buru mengecek adakah tindakan saya yang berkontribusi terhadap masalahnya itu?

Tak hanya itu, seberapa sering, sih, saya bisa bersikap netral ketika anak menghadapi konflik dengan temannya? Lalu, apakah saya bisa dengan kepala dingin mencari tahu apakah anak butuh solusi, mencari bemper, atau hanya perlu tempat curhat ketika ia sedang menghadapi konflik?

Belum lagi jika 'masalah' di diri anak membuatnya merugikan orang lain, apa saya bisa legowo meminta maaf, mengambil tanggung jawab sebagai primary caretaker, dan mengoreksi diri? Atau malah in denial, berkata, "Ih, anak saya NGGAK MUNGKIN kayak begitu!"?

Dan, jika masuk ke ranah pilihan pribadi maupun keluarga; seberapa banyak yang dibuat karena memang perlu, dan berapa yang hanya karena ikut-ikutan orang lain?

Baik pilihan yang terkait anak seperti pilihan sekolah, pilihan ekskul atau les, maupun pilihan-pilihan untuk diri sendiri. Apakah kita sudah mampu memilih secara mandiri?

Can we afford what we buy? Do we run after what we really need? But, first and foremost, do we know what we really matters to us?

Yang terakhir, apakah kita sudah tahu metode bagaimana yang paling tepat namun juga paling nyaman diterapkan untuk mendidik anak?

Sudahkah kita tahu karakteristik generasi anak-anak kita, yaitu generasi Z?

Apakah kita sudah mendidik mereka sesuai zamannya?

Masa di mana anak-anak terhubung sejak mereka lahir ke seluruh dunia melalui internet. Masa di mana online activities akan menjadi bagian tak terelakkan dari keseharian mereka; mereka "bertemu" dengan teman-temannya secara online, namun mereka juga terekspos pada celah-celah kelam dunia maya yang diisi oleh online bullying, sexual predator, dan sebagainya.

Sudahkah saya membatasi screen time agar mereka tidak asyik memeloti gadget sementara kami sedang duduk bersama-sama di meja makan?

Waduuh, panjang sekali, ya, daftar pertanyaan untuk "reality check" saya, Mommies. Tapi tentulah tidak mungkin semuanya kita tanyakan all at once.

Dari yang saya baca, ada baiknya reality check dilakukan secara berkala namun berkelanjutan, misalkan saat "family meeting" mingguan atau bulanan. Momen ini bisa menjadi ajang diskusi dengan pasangan, maupun dengan anak-anak saat mereka sudah paham.

Saat itu, kita bisa mengajukan topik untuk dicek sesuai situasi, misalkan saat akan membuat sebuah pilihan. Tak hanya seputar pengasuhan, kita juga bisa melakukan reality check terhadap hal-hal lain, misalnya kesehatan, aturan di keluarga, keputusan finansial, dan lain sebagainya.

Lalu, apa yang diperlukan dalam melakukan reality check? Baca di halaman selanjutnya.

photography-quotes-reality-welcome-to-reality-favim-com-581101

Kalau menurut saya, sih, kita perlu:

1. JUJUR pada diri sendiri; tentang kondisi yang dihadapi, tentang permasalahan atau halangan yang ada, maupun tentang keterbatasan diri.

2. Buka mata, hati, dan telinga. Banyak melakukan "riset," dengan cara meng-update informasi lewat  browsing, membaca buku, mengikuti seminar, mendengarkan talkshow di radio, dll.

3. Jika perlu, meminta pendapat orang lain yang bisa bersikap objektif dan profesional di bidangnya.

Tapi, sebelum repot-repot melakukan reality check, tentu saja sebaiknya kita pahami dulu, apa, sih, manfaatnya?

Dengan secara berkala melakukan reality check, kita bisa:

  • Menyesuaikan keputusan yang diambil dengan nilai-nilai keluarga maupun long-term goals keluarga.
  • Mengetahui kemampuan dan bakat sejati anak by seeing our children as they are. Also by seeing kids as kids. Jadi, kita mengarahkannya ke aktivitas maupun stimulasi yang tepat agar perkembangannya dapat optimal.
  • Menemukenali masalah yang dihadapi atau pada diri anak, sehingga dapat cepat mencari cara mengatasinya.
  • Mengulas pilihan-pilihan kita, baik itu sikap mental maupun perilaku; sudah berapa banyak yang sesuai 'target?' Berapa yang belum? Apa halangan untuk mencapainya? Saya sendiri suka melakukan 'review' dengan rumus "Happiness = Expectations - Reality," lalu 'menghitung' seberapa besar selisihnya, hehehe.
  • Mengajak anak aware pada permasalahan yang sedang dihadapi oleh keluarga, maupun dunia dalam skala kecil (sesuai dengan yang dihadapi). Tapi, tentu saja kita perlu membahasnya dengan nuansa yang positif dan optimis. Ajak anak mencari solusi permasalahan yang dihadapi, awali kalimat dengan, "Meskipun..." lalu menggiring diskusi ke arah sikap aktif dan optimistis.
  • Jadi, tidak ada ruginya, bukan melakukan reality check? Daripada reality bites yang terjadi duluan, hehehe.

    "Sometimes the most horrendous thing a person can see, is all the hidden things inside them, the things they've covered, the things they choose not to look at. And you're not hurting them, you're setting them free.” ― C. JoyBell C.

    Gambar dari sini dan sini.

    PAGES:

    Share Article

    author

    vanshe

    Ibu satu anak. Was an SAHM for 2,5 years but decided that working outside home is one of many factors that keeps her sane. Grew up deciding not to be like her mother, but actually feels relieved she turns out to be more and more like her each day. She's on Twitter & IG at @rsktania.


    COMMENTS


    SISTER SITES SPOTLIGHT

    synergy-error

    Terjadi Kesalahan

    Halaman tidak dapat ditampilkan

    synergy-error

    Terjadi Kesalahan

    Halaman tidak dapat ditampilkan