*Gambar dari sini
Sekitar 5-6 tahun lalu, saat pemahaman tentang RUM (rational use of medicine) dan resistensi antibiotik (AB) belum seluas sekarang, saya sering mendengar anak-anak di bawah dua tahun divonis TB. Waktu itu sedikit banyak saya sudah mengenal dan mempraktikkan RUM, jadi pikiran selalu kritis mendengar pengobatan atau penyakit 'aneh'. Setiap ada yang bercerita tentang kasus seperti ini saya menanyakan gejalanya apa saja dan apa yang dilakukan dokter serta diagnosisnya.
Saat itu saya sudah paham bahwa TB pada anak tidak mungkin timbul tanpa adanya interaksi ketat dengan orang dewasa penderita TBC. Ketat di sini adalah pergaulan harian, misalnya jadi pengasuh si anak. Penderita TB anak juga kecil kemungkinan menularkan pada anak kecil lain karena:
Tapi pada kebanyakan kasus, pokoknya kalau ada flek paru, berat badan susah naik, tes mantoux positif, dijamin dapat resep AB selama enam bulan walau gejala klinis anak baik-baik saja. Saya sangat miris mendengarnya. AB lima hari saja efeknya bisa sebulanan, apalagi yang enam bulan dan pada anak di bawah dua tahun pula? Hilang semua pertahanan tubuh selama itu.
Sampai beberapa waktu lalu saya masih tidak bisa menemukan bantahan terhadap adanya kabut di hasil foto ronsen paru, atau yang biasa diistilahkan flek paru. Kalau tes mantoux, bisa jadi karena vaksin BCG masih aktif, sedangkan berat badan susah naik juga tersangkanya nggak cuma TB. Cek dulu pola makan, kemungkinan ADB (anemia defisiensi zat besi), dan silent ISK (infeksi saluran kencing). Kebanyakan kasus berat badan susah naik pada anak kecil disebabkan oleh ADB.
Nah, saat membaca status dokter Apin di Facebooknya, saya jadi 'ngeh bahwa flek paru tidak selalu terkait dengan TB.
"Ada beberapa hal yang perlu kita pahami. Pertama, diagnosis seharusnya dinyatakan dalam bahasa medis kepada siapa pun, termasuk pasien atau konsumen kesehatan yang tidak mempunyai latar belakang kedokteran/kesehatan. Flek paru bukanlah diagnosis (baca: bukan penyakit), melainkan ungkapan yang sudah lazim digunakan (entah sejak kapan) untuk menunjukkan adanya gambaran foto rontgen dada yang “ramai” akan flek atau bercak putih. Normalkah kondisi foto seperti ini?
Istilah “flek paru” mengesankan kondisi yang tidak normal dan tidak seharusnya ada di hasil rontgen. Padahal paru-paru manusia dipenuhi pembuluh darah dan kelenjar getah bening yang menghasilkan gambaran putih ketika disorot sinar-X. Selain itu, kondisi foto paru yang penuh “flek” bisa terjadi pada banyak hal, mulai dari paru-paru normal, orang yang sedang selesma (common cold), pneumonia, tuberkulosis (TB) paru, sampai kanker paru."
Plus, Mommies mungkin pernah mendengar tes pramugari, tentara, dll yang harus menyertakan ronsen paru lalu gagal karena hasilnya paru berkabut padahal yang bersangkutan tidak punya sakit TB?
Nah, lalu bagaimana bisa paru berkabut?
Salah satu jawabannya adalah paparan asap dan partikel rokok. Baik sebagai perokok aktif maupun pasif dan thirdhand smoker, hasilnya sama. Sama-sama membuat hasil foto paru berkabut baik pada anak kecil (bahkan di bawah setahun) dan sama-sama meningkatkan risiko pneumonia (radang paru-paru), yang pada anak kecil biasanya berakibat fatal.
Kesimpulannya, "flek paru" saja bukan alasan turunnya vonis TB. Ada sistem skoring yang harus terpenuhi semua faktor atau poinnya sebelum diagnosis TB dapat ditegakkan. Skoringnya adalah seperti berikut ini.
Bila masing-masing gejala hanya muncul satu atau dua, perlu dilakukan tes atau pemantauan yang lebih mendalam sebelum dapat dikatakan TB. Bahkan dokter Apin sering menemui pasien anak yang dikatakan TB lalu second opinion ke beliau, ternyata tidak bisa didiagnosis TB karena skoringnya tidak memenuhi. Apalagi diperjelas dengan kondisi klinis anak yang sehat dan pecicilan, hanya (biasanya) batuk common cold.
Jadi, Mommies, bila anak divonis TB dan harus minum AB selama enam bulan, pastikan bahwa diagnosis benar-benar TB, ya. Bila diagnosis dirasa meragukan, second, third, bahkan fourth opinion nggak haram, kok. Daripada salah obat, malah makin bahaya nanti, kan.