Lima tahun pertama hidup saya, diisi dengan kasih sayang berlebih dari Bapak. Sesudah itu saya berbagi kasih sayang dengan adik yang baru lahir. Tapi saya bisa merasakan kasih sayang yang berimbang, loh. Iya, saya adalah anak perempuan kesayangan yang dimanja. Namun, dimanja bukan berarti menjadi besar kepala. Saya dimanja agar bisa memenuhi ekspektasi beliau untuk menjadi seseorang yang bisa berguna, or at least nggak merepotkan orang lain. Dimulai dengan permintaan untuk bisa menjaga nilai saat sekolah. Lanjut dengan menjaga prestasi di kelas dan sekolah. Dianjurkan untuk mengikuti berbagai macam kegiatan ektrakurikuler, les tambahan, dan juga perlombaan. Menurut beliau, semua ini bisa menjadi bekal untuk hidup nantinya. Kemudahan untuk mendapat beasiswa juga ada di depan mata, jika nilai-nilai akademis ini terjaga dengan baik.
Selain masalah akademis, Bapak juga meminta Ibu untuk mengajarkan saya soal urusan rumah tangga. Bangun pagi setiap subuh tidak bisa ditawar. Membantu ibu menyiapkan sarapan, membuat susu adik, menyapu teras depan, memandikan anjing setiap akhir pekan, dan membersihkan kamar mandi adalah sebagian dari tugas saya di rumah. Selain urusan domestik, Bapak juga mengajarkan untuk merawat mobil yang saya miliki. Cuci mobil boleh sendiri atau dibawa ke jasa cuci mobil langganan, saya diajarkan cara mengecek dan menambah oli, saya tahu bagaimana pertolongan pertama jika karburator panas, dan saya juga bisa mengganti ban yang kempes sendiri. Seru, ya, survival kit hidup saya?
Ini semua didapatkan dengan cuma-cuma plus banyak pesan soal hidup dari beliau. Wejangan dari Bapak ini tidak bisa dihitung dengan jari. Apalagi kalau saya telah melakukan kesalahan. Tidak ada amarah, sih, tapi kami bisa berdiskusi panjang soal apa-kenapa-bagaimana masalah tersebut muncul dan apa kesalahan saya, diakhiri dengan kesimpulan serta banyak pesan moral. Kalau lagi kesal, saya cuma bilang dalam hati "nasib jadi anak dosen. Dikuliahin is my middle name, deh!". Jadi memang banyak sekali pesan soal hidup yang saya dapatkan.
Karena waktu itu posisi saya adalah anak, pesan dari Bapak banyak yang saya abaikan. Bukan acuh, ya. Emm, lebih seperti "Iya, ngerti, kok!" khas anak yang sok tahu segalanya. Namun semuanya berubah ketika saya berusia 16 tahun. Waktu itu nama saya ada di koran bersama ribuan nama lainnya yang diterima masuk ke Universitas Negeri pilihan. Perubahan tentunya terasa ketika saya hidup terpisah dari kedua orangtua saya. Survival kit yang disiapkan terasa sangat berguna walau sebagai anak manja, rasanya mau nangis melulu.Entahlah, di satu titik saya rindu duduk berdiskusi panjang dengan Bapak perihal banyak masalah.
Sebelum pergi untuk tinggal sendiri di luar Jakarta, Bapak mengajak saya duduk di pendopo belakang rumah. Beliau mulai memberikan kuliah soal persoalan yang mungkin akan saya temui. Mulai dari masalah merokok, uang bulanan, aturan hidup di daerah orang lain, hingga pembicaraan mengerucut ke tiga persoalan yang tadinya tidak pernah kami bicarakan secara jelas. Tiga pesan beliau yang sangat melekat dalam pikiran dan hati saya hingga saat ini. Pesan yang tidak bisa diabaikan. Pesan yang hanya disampaikan satu kali seumur hidup saya.
Apa saja? Baca di halaman selanjutnya, ya.
TAPI, jika ternyata saya tergoda bisikan setan untuk melakukan salah satu (atau semuanya? Duh jangan sampe!) hal di atas, Bapak bilang "Pulang ke rumah. Cerita sama Bapak dan Ibu. Kita akan bekerja sama sebagai keluarga untuk menyelesaikan masalah tersebut. Jika kakak terlibat kriminal, Bapak akan siapkan pengacara terbaik tapi kamu tetap harus menjalani hukuman yang ada. Jika kamu kecanduan narkoba, Bapak akan obati kamu. Bapak temani di panti rehabilitasi. Dan jika kamu hamil, pulanglah. Jangan sekali-kali kau gugurkan kandungan hanya karena malu, terlalu banyak risiko yang akan kamu tanggung baik untuk fisik maupun psikis kamu. Bapak dan ibu akan membantu mencarikan jalan keluar terbaik, dan kita tanggung semua resiko buruk tersebut bersama, karena kita keluarga."
Tiga pesan Bapak diiringi kepercayaan beliau melepaskan anak perempuannya yang berusia 16 tahun untuk merantau walau hanya berjarak 200 km, namun tetap saja membuat saya terpana. Pesan ini terasa seperti pagar yang secara otomatis berdiri di sekeliling tubuh. Pesannya berhasil masuk, loh. Dan sungguh membuat saya tidak ingin mencoba ketiga hal tersebut.
Ini foto terakhir bersama Bapak sebelum beliau jatuh sakit.
Kalau dulu rasanya malas jika sesi 'perkuliahan kehidupan' datang, sekarang saya malah merasa rindu untuk berdiskusi bersama beliau. Ya, biasalah, namanya juga manusia. Oh ya, ketika hamil, saya sempat menceritakan pesan Bapak ini ke suami. Setelah tertawa membayangkan janggalnya suasana saya saat itu, suami dengan cepat bilang "Nanti aku juga mau kasih tahu begitu, ah, ke anak kita" (ciee, pede bakalan bisa dengan mudah ngomong :p) Dalam hati saya berdoa, semoga suami saya bisa menjadi Bapak yang baik untuk anak kami. Karena ternyata benar, loh, sentuhan kasih sayang Bapak untuk anak perempuannya membuat anak merasa berharga. Seperti yang tertulis di artikel ini, Bu Elly Risman bilang "Ayah mengajarkan anak lebih berani dan jika ayah bisa mengungkapkan rasa kasih sayangnya, anak akan merasa dirinya berharga". Bapak berhasil membuat saya merasa berharga dan menghargai hidup, no matter what.
Saya hanya tidak menyangka saja, kalau pesan Bapak harus terhenti saat saya baru berusia 21 tahun. Walaupun sudah cukup banyak yang terasa manfaatnya sekarang, tapi saya yakin, akan lebih banyak lagi hal yang bisa saya dapatkan jika Bapak masih ada sekarang. Now I know why Dr. Seuss said "Sometimes you will not know the value of a moment until it became a memory" :')
Gambar dari sini