Sorry, we couldn't find any article matching ''
Menjadi Ibu, Menjadi Saya Yang Lebih Baik
Apa momen yang menjadi titik balik dalam hidupmu untuk berubah? Jika pertanyaan itu diajukan kepada saya, jawabannya, as cliché as it may sound, adalah saat saya menjadi seorang ibu. Sejak resmi menyandang gelar itu hampir enam tahun lalu, dunia saya terasa berguncang. Kini saya bertanggung jawab atas sesosok makhluk cilik yang dulu tumbuh di dalam rahim saya. Saya harus merawatnya, melindunginya, sekaligus mencintainya. All in all, this little creature has become the center of my universe, or partly, until now.
Saya pun memperbaiki beberapa kebiasaan buruk saya di masa lalu yang ehm, agak kurang elok. Bukan, bukannya saya tiba-tiba “ganti kulit” atau pura-pura jadi orang lain. Saya tetap jadi diri saya. Hanya ada beberapa sifat buruk yang saya coba tinggalkan. Semua saya lakukan semata-mata agar anak saya mendapatkan pengaruh yang baik dari lingkungan terdekatnya, yakni orangtuanya.
Beberapa hal yang saya lakukan di antaranya adalah sbb:
Saya akui, saya ini bukanlah tipe yang punya disiplin tinggi. Saya tidak suka bangun pagi. I work well only when the deadline’s coming (jangan dicontoh hehehe..). Saya suka telat jika janjian dengan orang.
Begitu punya anak, semua sifat itu harus segera dienyahkan. Kenapa? Karena saya mau memberinya ASI.
Sebagai ibu bekerja, tentu saya harus rajin memerah ASI selama dua jam agar pasokan ASI saya terus terjaga. Dan ini komitmen luar biasa lho bagi saya yang selama ini sulit berkomitmen. Saya harus rela mengenyahkan godaan ngobrol, bergosip atau santai sejenak dengan teman-teman demi memerah ASI tepat waktu. Sebab, kalau saya tidak melakukannya, ada mulut kecil di rumah yang akan kehausan. Lalu, niat saya memberi ASI eksklusif bakal gagal kalau saya tidak disiplin.
Saya juga harus bangun lebih pagi karena, saya harus mengurus anak. Meski suami membantu, tapi tetap saja urusan menyusui harus saya sendiri yang turun tangan, dong? Jadi ya begitulah. Meski saya sekarang nggak 100 persen berubah jadi berdisiplin tinggi, tapi setidaknya, lumayanlah dibandingkan masa-masa lajang dulu.
Sebelum punya anak, saya alergi dapur. Saya ke dapur hanya untuk menggoreng telur, membuat mi instan dan makanan kalengan atau memasak air. Sisanya, males ah! Setelah punya anak, semua berubah. Saya ingin anak saya bernasib sama dengan saya saat kecil dulu.
Mama, memberikan kenangan terbaik buat saya, lewat masakannya. Baca di halaman selanjutnya, ya!
Mama saya adalah koki dengan makanan terlezat yang pernah saya cicipi. Seluruh masakannya masih menjadi favorit saya hingga kini. Saya ingin, anak saya merasakan hal yang sama tentang masakan-masakan saya. Pokoknya, makanan pertama yang ia coba, harus buatan saya sendiri.
Karena itulah saya belajar masak. Dari hanya belajar masak MPASI, berlanjut membuat kue ulangtahun, lalu masak masakan untuk keluarga dan keterusan hingga sekarang. Saya jadi hobi masak!
Yang membahagiakan, tiap saya selesai membuat kue, anak saya selalu bilang “Makasih ya Bu. Kuenya enaakk banget!”. Alhamdulillah :’)
Sebelum punya anak, keuangan saya berantakan sekali. Saya bekerja sejak masih duduk di bangku kuliah. Tapi sampai sekarang, uang yang saya dapatkan selalu habis tidak jelas. Saat anak lahir, saya pun bertekad untuk mengubah itu. Apalagi saya baca, pendidikan itu mahal banget ya. Jadi kalau saya tidak mengubah perencanaan keuangan, bisa-bisa anak saya nggak sekolah deh.
Saya pun belajar menata keuangan dengan mempelajari metode investasi, asuransi, dan sebagainya. Saya juga mengajari Nadira tentang how to spend our money wisely. Jadi, dengan melihat saya yang sering ketat menyeleksi pengeluaran keluarga, termasuk memintanya menunda beli boneka Elsa sampai ulangtahun nanti, ia bisa belajar bahwa uang tidak datang dengan mudah. We have to work hard to earn it.
Sebelum punya anak, saya makan apa saja, hobi begadang dan tidak pernah olahraga. Jadi walau saat itu tubuh saya terlihat baik-baik saja, tapi sesungguhnya kondisi kesehatan tidak terlalu prima.
Setelah punya anak dan belakangan ini banyak membaca tentang healthy lifestyle, saya pun jadi tergerak untuk ikutan. Biarin deh dibilang hipster, kalau untuk kebaikan, kenapa nggak, ya kan?
Mulai tahun lalu, saya rutin olahraga minimal 2x seminggu. Saya juga mengurangi lemak dan karbohidrat dalam menu makan saya, dan menambah porsi buah dan sayuran. Dengan metode ini, saya turun 10kg lho. Lumayan.
Di rumah, tiap saya olahraga sendiri, Nadira selalu ikut serta. Meski jadinya bikin ribet sih, tapi saya senang. Dia mulai paham bahwa hidup itu harus aktif, bukan hanya tidur-tiduran di depan TV. Selain itu, dia juga mulai lahap makan buah dan sayur karena melihat saya rutin sarapan buah dan makan siang+malam dengan banyak sayuran.
Lagi pula, saya merasa, jika tubuh saya lebih sehat dan bugar, Insya Allah saya punya lebih banyak energi untuk bermain bersama anak, serta beraktivitas sehari-hari. Syukur-syukur dengan hidup lebih sehat, umur bisa lebih panjang sehingga saya bisa menemani anak hingga dewasa.
Jadi ya begitulah kisah saya tentang bagaimana mempunyai anak mengubah diri saya. Semua demi anak, karena saya percaya dengan ungkapan “Children see, children do.” Anak akan mencontoh apa yang dilakukan sekelilingnya. Sebagai orangtua, saya tentu akan menjadi contoh utama, bukan?
Apalagi, saya kan punya beberapa harapan akan diri anak saya. Gimana dia mau jadi anak yang baik kalau orangtuanya nggak baik? Kan anak-anak itu belajar dari lingkup sosial terdekat mereka. Jadi ya demi anak pun, saya berupaya memperbaiki diri agar kelak ia menjadikan saya role modelnya.
Daftarkan sahabat, kerabat atau diri sendiri ke Women of Worth yuk! Ini merupakan campaign dari Loreal dan Female Daily Network untuk mencari perempuan sehari-hari yang inspiratif di Indonesia. Apakah Mommies salah satunya?
PAGES:
Share Article
COMMENTS