Sorry, we couldn't find any article matching ''
Belajar Kecewa
Pemilihan Presiden kali ini ternyata membawa banyak pelajaran dan renungan untuk saya. Cuma dari mantengin Pilpres melalui timeline Facebook, saya dapat pelajaran agama, berbahasa, statistika, dan...belajar kecewa. Terus terang saya heran saat kedua capres berlomba mendeklarasikan kemenangan saat perhitungan bisa dibilang baru saja dimulai. Lebih heran saat capres yang secara perhitungan kalah, juga ngotot mengaku menang. Saya teringat Dellynn yang sampai saat ini (7,5 tahun) kalau kalah bermain selalu menangis dan menyalah-nyalahkan yang menang.
Setiap bermain monopoli (kami baru saja belajar permainan ini dan sebetulnya sedang seru-serunya bermain) dan kalah, dia akan menangis tantrum. Bahkan saat dia juara kedua dan saya pemenangnya :D. Logikanya, kan, Mama atau Ayahnya sudah lebih familiar dan tahu trik permainan tersebut sementara dia masih belajar, jadi kalah sebetulnya wajar. Namanya juga jam terbang baru beberapa kali dibanding saya yang kenyang kalah saat bermain monopoli lawan komputer haha. Tapi, ya, tetap saja she is taking it personally than evaluating how to win next time. Lebih fokus ke kalah-menang ketimbang menganggap sebagai proses belajar.
Dellynn akan menyalahkan saya kenapa membeli kartu India darinya dan membangun banyak rumah karena sudah punya satu kompleks. Padahal saya beli di atas harga di papan permainan dan dia sudah setuju, lho. Lalu menyalahkan pemain lain yang punya banyak stasiun dan menjebaknya sampai uangnya berkurang banyak. Mengeluh juga kenapa bolak-balik masuk penjara dan kena denda. Kami sudah terangkan bahwa permainan ini sebagian tergantung keberuntungan. Bukan salah saya, kala dadu memberi saya perusahaan listrik dan air sekaligus. Bukan salah pemain lain juga saat dana umum atau kesempatan isinya denda melulu. Kadang kita memang harus lapang dada saat sepertinya dilanda sial beruntun. And life must go on.
Kalau masalah pilpres, saya mengerti bahwa dalam situasi seperti itu belum saatnya mengaku kalah. Tetapi bukan berarti bisa mengklaim kemenangan dan menuding pihak lain curang, dong. Apalagi saat mayoritas perhitungan, terlepas dari diakali atau tidak, menunjukkan kemenangan di pihak lain. (Btw, hari ini pengumuman dari KPU kan, ya, mengenai Pilpres?)
Terus terang ini membuat saya khawatir, apakah anak-anak saya sendiri sudah siap belajar kecewa? Saya tidak ingin anak-anak saya seperti itu saat dewasa kelak. Mereka harus sudah lulus belajar kecewa sebelum harus berhadapan dengan lingkungan yang lebih luas.
Yang agak membuat saya tenang, Dellynn mengaku tidak bersikap seperti itu saat bermain di sekolah. Dia bisa menerima kekalahan dengan legowo dan tetap lanjut bermain. Saya memang berulang kali mengingatkan saat tantrum di rumah, "Kalau kamu nggak bisa jadi teman yang asyik, ya, teman-teman malas bermain sama kamu." Mungkin karena teringat ini, dia jadi bisa menekan rasa kecewanya. Tapi kenapa di rumah tidak bisa, ya? Saya masih mencari tahu. Apa karena di rumah nggak takut kelihatan aslinya? Aren't we all like that? :)
Saya sendiri masih harus belajar banyak. Saya belum berhasil menjadi fasilitas belajar kecewa untuknya. Walau kakak dan adiknya tidak terlalu bersifat seperti ini, belum tentu saya yang sukses. Bisa jadi karena karakter mereka sendiri yang nggak terlalu menganggap kalah-menang sebagai hal yang besar. Yang penting main!
Lalu, Dellynn seperti siapa? Saya :) Sayalah yang suka sebal dikalahkan, sementara Ayahnya cuek-cuek saja haha.
Jadi, siapa, nih, yang belum lulus belajar kecewa? Saya, atau Dellynn?
Share Article
POPULAR ARTICLE
COMMENTS