banner-detik
ETC

Tinggal Sama Orangtua: A. Jadul, atau B. Manja

author

W_Putri21 Jul 2014

Tinggal Sama Orangtua: A. Jadul, atau B. Manja

Slide2(1)

Zaman saya masih single, saya jenis orang yang gampang ‘kecewa’. Alasannya sederhana, sih. Saya ini perfeksionis. Risiko jadi orang perfeksionis ya gampang kecewa. Karena emang nggak ada hal yang sempurna, kan? Rencana gak berjalan lancar, bete. Orang lain ga bekerja sesuai standar kita, bete lagi. Gagal memenuhi deadline sendiri, bete banget. Jadi orang perfeksionis banyak betenya emang.

Omong-omong soal rencana gak berjalan lancar, salah satu rencana hidup terbesar saya yang bubar jalan hampir tanpa jejak adalah situasi domisili saya saat ini. Saya tinggal bersama ayah dan ibu saya. Di rumah mereka. Bersama suami dan anak.

Untuk standar pasangan muda masa kini, saya mungkin terhitung: a. jadul, atau b. manja. Mengingat umumnya pasangan muda masa kini lebih suka tinggal di rumah sendiri atau ngontrak. Alasannya berkisar antara ingin mandiri dan ogah berkonflik soal urusan rumah tangga dengan ayah-ibu. Saya juga begitu, kok.

Saya juga pernah punya cita-cita tinggal sendiri setelah menikah karena alasan yang sama. Ditambah lagi, saya sudah biasa tinggal sendiri selama bertahun-tahun, rasanya akan sulit tinggal bersama kembali dengan orangtua saya. Lagian, kami memang nggak seratus persen kompak. Malahan ketika berjauhan, seperti saat saya ngekos, hubungan kami lebih adem. Jadi, pilihan saya dan suami waktu itu memang mengontrak. Nggak bisa ditawar.

Lalu, sebelum kami sempat pindah rumah, saya hamil dan masuk rumah sakit. Kemudian, harus bed rest sampai anak saya lahir. Rencana mengontrak ditunda karena ya nggak mungkin aja bed rest tapi di rumah sendirian.

Nggak taunya, itu cuma awal dari kebubaran rencana mengontrak kami. Setelah anak saya lahir pun, kondisi kesehatan saya nggak pernah 100%. Tujuh puluh lima persen lah paling banter jika dibandingkan sebelum saya hamil. Saya nggak bisa ngurus rumah sendiri, apalagi ditambah anak. Bisa sih, maksa. Pernah. Terus saya sakit tipus, dua kali. Adanya anak dan rumah makin nggak keurus karena saya (lagi-lagi) harus bed rest sebulan. Though luck.

Anyway, akhirnya saya dan keluarga kecil saya tinggal bersama ayah-ibu saya. Sampai sekarang. Seperti yang sudah diduga sebelumnya, konflik selalu ada setiap hari. Sampe bosen karena konfliknya itu-itu saja. Kapan anak makan, makan apa, udah bobo siang belum, mandinya jam berapa. Soal urusan rumah tangga pun juga ada. Jadwal pakai mesin cuci, siapa masak nggak cuci piring, tagihan listrik kok banyak banget, and the list goes on. Tipikal konflik kalau ada dua rumah tangga tinggal di bawah satu atap. Bete? Nggak mungkin enggak.

Mungkin banyak Mommies yang mengalami hal serupa. Apakah tinggal sama orangtua selalu menyebalkan? Lihat di halaman selanjutnya, ya.

grandmother-baby-rex1

Seringnya sih saya curhat sama suami. Saya stay at home mom, jadi yang ngadepin sehari-hari ya saya. Suami kebagian getahnya aja. Hehe. Kami juga diskusi bagaimana cara meminimalisir konflik-konflik ‘cemen’ ini. Enggak egois dan semaunya sendiri emang udah resep harian menghindari konflik ajaib dengan orangtua saya. Dua hal tadi, menurut saya sih memang sebaiknya berlaku universal di segala suasana. Biar hidup nggak ruwet aja. Saya sendiri, sering nyontek soal gimana supaya asik tinggal bersama keluarga besar dari sini.

Kecewa? Tentu. Rencana besar kehidupan minim konflik gagal total. Tapi, lain seperti sebelumnya, saya kok lebih bersyukur aja ketimbang kecewa. Ditimbang untung ruginya, sebenernya saya banyak beruntung sih di persoalan tinggal dengan orangtua ini. Beberapa di antaranya, saya jadi ga perlu nanny, bisa sewaktu-waktu nitip anak, anak ada yang ngurus kalau saya sakit, ada temen berbagi soal rumah tangga (kalau lagi gak berantem), nggak perlu beli home/kitchen appliances, dan belajar banyak hal baru dari pengalaman ibu dan ayah saya hampir setiap hari.

Selain itu, mungkin, berkah paling besar bagi saya dari tinggal di rumah orangtua saya adalah saya belajar nrimo. Dulu saya pikir nrimo ini artinya pasrah, tapi kata ayah saya, bukan itu. Nrimo adalah menerima keadaan setelah berusaha, kemudian melanjutkan hidup. Semacam antitesisnya denial, yang akan mempermudah move on. Sebab, kita bisa berencana dan berusaha sekeras mungkin, tapi hasilnya bisa aja nggak sesuai dengan harapan. Dan itu pasti sering. Jadi, rasanya kok buang-buang energi buat bete berkepanjangan. Mending terima aja kenyataannya, trus ngapain kek. Gitu. Biasanya yang bagus-bagus baru keliatan setelah nrimo tadi. Di antaranya ya kalau buat saya, gak perlu bela-beli peralatan rumah tangga, gak usah pake nanny dan kawan-kawannya tadi.

Tapi, namanya juga masih mualaf nrimo, ya saya masih ada kecewa dan betenya juga, dong. Paling enggak, sekarang saya sudah cukup nrimo ketika ada orang yang bilang saya dan suami: a. jadul, atau b. manja, karena masih tinggal sama orangtua. Nggak tau aja kalau kami bersyukur banget bisa tinggal bareng orangtua saya. Mungkin malah orangtua saya yang kadang bete karena anaknya yang rese ini nebeng tinggal di rumah lagi. Haha.

Wicahyaning Putri adalah editor di 24hourparenting.com. 24hourparenting.com adalah adalah situs parenting yang memuat how-to-parenting, singkat dan to the point, juga membahas tentang menjadi orangtua, dan ide kegiatan ortu-anak. Dilengkapi visual yang semoga asik. Diasuh oleh psikolog dan orangtua.

PAGES:

Share Article

author

W_Putri

-


COMMENTS


SISTER SITES SPOTLIGHT

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan