*Gambar dari sini
Layaknya ibu baru dengan anak pertama, sejak awal kelahiran Rachel saya berusaha untuk melakukan hal-hal ideal sesuai standard “Mahmud Angsa” masa kini (mamah muda beranak satu).
Lahiran normal? Check.
ASI S1-S2? Check.
MPASI homemade tanpa gula garam di tahun pertama (dan selalu duduk di high chair saat makan)? Check.
RUM (dan tentunya juga dokter yang proASI)? Check
Nonton TV sangat dibatasi selama setahun pertama? Check.
Kemudian menjelang ulang tahun pertama Rachel, mulailah ia menolak untuk makan. Ketimbang disebut GTM, saat itu Rachel makan paling banter 4 sendok kecil. Mulailah saya melonggarkan, bahkan lebih tepatnya menghalalkan (hampir) semua jenis makanan dan berbagai gaya makan yang sebelumnya saya haramkan. Mau nonton acara anak-anak? Mari. Makan di restoran? Let’s go. Mau makan sambil main pun hayuk saja.
Tetap saja tidak berhasil. Dengan berat badan yang konstan dan semakin kontras dengan pertumbuhan tinggi badannya, kurva pertumbuhannya menurun hingga garis kuning. Sayapun membawa Rachel ke dokter anak spesialis gizi yang paling tenar seantero Jakarta (setidaknya dari hasil browsing saya).
“Anak ibu kurang gizi, berat badannya kurang. Bila dibiarkan, lama-lama perkembangan otak dan kecerdasannya akan terganggu.”
Demikian vonis dokter. Hati saya terasa tertusuk saat fakta diucapkan oleh ahlinya, walau hati kecil saya sudah sadar akan kenyataan tersebut. Dokter gizi memberikan beberapa saran dan perbaikan, termasuk “Makan harus sesuai jadwal, per 2 jam sekali. Bila ditawari anak tidak mau, jangan dipaksa namun ditawari lagi dalam 10 menit. Bila tidak mau sampai 3x, ya sudah jangan diberi makan sampai 2 jam kemudian.” Nyatanya di hari-hari tertentu Rachel tetap tidak makan, bisa sampai 6-8 jam lamanya tanpa terlihat rewel maupun terganggu.
Dokterpun memberikan suplemen makanan cair (berupa susu tinggi kalori) sampai berpesan keras bahwa bila berat badannya tidak bertambah sesuai panduan ideal maka harus disonde, yaitu pemberian nutrisi melalui hidung langsung ke lambung.
Apakah saya menyetujui saran dokter? Simak cerita lanjutannya di halaman berikut ya..
*Gambar dari sini
Wah, membayangkannya saja sudah bergidik, saya pun berusaha keras agar hal ini tidak menjadi kenyataan.
Dimulaikan perjuangan untuk memberi susu tinggi kalori kepada Rachel. Namun Rachel yang sedari lahir minum ASI langsung dari gentongnya, menolak susu formula baik melalui gelas maupun dot. Dalam empat bulan pertama, memberi 400 ml (2 botol) susu tinggi kalori/hari pada Rachel sungguh pekerjaan rumah yang sangat sulit untuk dipenuhi.
Menurut petunjuk, 200 ml harus dihabiskan dalam waktu 24 jam, sedangkan Rachel sekali minum 50 ml pun sudah bagus sekali. Biasanya si anak hanya mau minum susu saat tertidur pulas. Bila ia mulai sadar, dot akan dilepehkan. Di bulan ke-14 saya berhenti memberikan ASI ke Rachel, karena bila diberikan ASI maupun ASI Perah dia sama sekali tidak mau minum susu formula tersebut. Menghadapi segala kenyataan, luntur sudah berbagai idealisme yang telah saya pupuk sejak lama. Pokoknya prioritas saya adalah kurva pertumbuhan anak yang normal - yang akan mendukung tumbuh kembangnya dalam segala area.
Sesudah beberapa lama tanpa hasil yang berarti, saya mencoba ke dokter lain untuk second opinion. Dokter kedua bukan dokter anak, ia adalah dokter umum yang terbiasa menghadapi pasien anak-anak. Saya pikir apa salahnya mencoba (karena saat itu saya sudah di titik nadir menghadapi berat badan Rachel hehehe). Saat pemeriksaan fisik di kunjungan pertama, sang dokter mendeteksi betapa kembungnya lambung Rachel. Ia pun mengusulkan saya untuk mendeteksi pemicu alergi Rachel lebih jauh, serta memberikan obat pereda kembung lambung, vitamin dan juga obat penambah nafsu makan dalam bentuk puyer.
Bila bertemu dengan saya yang dulu, saat nafsu makan Rachel relatif baik, saya agak skeptis dengan resep puyer dokter. Namun karena sudah sangat desperate, saran dokter pun saya jalani. Berdasarkan pengalamannya, dokter berpesan bahwa ada beberapa anak yang kurvanya mungkin sedikit di bawah garis normal, tapi dalam kenyataannya anak tersebut tumbuh dengan normal.
Apa yang terjadi di hari pertama Rachel makan obat dokter tersebut sungguh di luar dugaan. Tanpa trik apapun, dia makan dengan lahap. “Keajaiban dunia Jakarta Barat nih (kami tinggal di sana),” celetuk saya pada suami seraya memamerkan piring Rachel yang telah kosong. Dalam beberapa bulan ke depan, nafsu makan Rachel perlahan meningkat, walau masih ada saat-saat di mana ia makan sedikit sekali. Kurvanya pun berangsur mendekati normal, walau pertumbuhan beratnya tidak sepesat dulu saat masih bayi.
Puji Tuhan, apa yang saya sekeluarga dulu khawatirkan mengenai intelegensi dan tumbuh kembang Rachel pun tidak terjadi. Di usianya yang 22 bulan, dia mudah menangkap konsep dan kosa kata baru, serta dapat merangkai kalimat 2 kata. Misalnya, air tumpah, mama mandi, papa tidur, mobil Rachel, dan sebagainya.
Tulisan ini tidak bermaksud untuk menjadikan pengalaman Rachel sebagai pakem untuk anak sulit makan, ataupun mengagungkan dokter umum yang berjasa dalam penambahan berat badan Rachel. Namun pengalaman ini telah membawa hikmat bagi saya, si Mahmud Angsa. Sejatinya segala pakem membesarkan anak secara ideal (textbook theories) baik untuk dijalankan. Namun dalam kenyataannya bisa terdapat deviasi di mana saya juga harus menyesuaikan diri. Dalam perkembangannya, saya juga belajar bahwa setiap orang tua pada umumnya tahu apa yang terbaik untuk anaknya. That is, I can’t be too quick to judge as I don’t see the big picture of their kids’ growth as their parents do.