Minggu ini saya mendapat kesempatan untuk mengikuti seminar tentang kekerasan terhadap anak-anak yang diselenggarakan oleh ikatan pegawai kantor saya bekerjasama dengan sebuah majalah keluarga nasional dengan menghadirkan seorang psikolog ternama. Di dalam sesi pertanyaan, seorang rekan kerja menyampaikan permasalahan bahwa salah satu topik yang pernah diperdebatkan secara panas antara dirinya dan pasangannya di depan anak-anak mereka adalah masalah pemilihan presiden tahun ini. Peserta seminar lainnya sempat tertawa kecil. Saya? Déjà vu!
Saya teringat kembali pemilihan calon legislatif dan presiden beberapa tahun yang lalu. Alkisah saya mempunyai kekaguman yang luar biasa (kalau tidak dibilang berlebihan ya) terhadap seorang tokoh Reformasi 98. Namanya juga mahasiswa angkatan reformasi, yang pernah ikutan demonstrasi pula, yang pastinya saya merasa harus memilih beliau dan bagaimana pun saya berharap beliau dan partainya menang. Lalu saya bertanyalah pada (calon) suami apa partai yang alan dipilihnya dan siapa presiden pilihannya. Tentunya calon suami tidak mau menjawab. Lupakan asas pemilihan LUBER, apapun itu saya harus mengetahui. Karena sang calon tidak mau memberitahu, saya ngambek. Saya marah kepadanya dan mendiamkan yang bersangkutan. Sampai di hari pemilihan dia baru membisikan apa yang dipilihnya, dan ternyata ada sedikit berbeda dengan pilihan saya, seketika kemarahan saya semakin menjadi, saya marah besar sampai menuduh dia tidak berwawasan luas, tidak mengerti demokrasi dan sebagainya. Dan kami baru berbaikan setelah euforia pemilihan mereda.
Di pemilihan berikutnya, ketika kami sudah menjadi suami istri, topik pemilihan presiden pun menjadi topik pembicaraan yang sangat hati-hati diangkat oleh suami saya. Dia tahu banget adat saya yang keras hahahaha. Dan di saat itu juga suami mengungkapkan bahwa dia sedikit berbohong kepada tentang pilihannya beberapa tahun yang lalu hanya demi menggoda saya dan menurut pandangan dia pribadi bahwa cara saya ingin mengetahui apa pilihannya (yang harusnya rahasia kan) dan memaksa keinginan saya malah mengganggu dia. Mau diajak diskusi baik-baik kok rasanya dia melihat saya seperti kepala batu.
"Lagipula kan Bapak itu kan tidak kenal sama kamu juga, begitu sebaliknya, kok kamu sampai sebegitu marahnya sama aku hanya demi dirinya?"
Padahal, masa kecil mengajarkan saya untuk menghargai perbedaan pendapat. Simak di halaman selanjutnya!
Saya jadi teringat masa kecil saya, di saat pemilihan umum hanya terdiri dari 3 partai kandidat. Meski tidak memberitahu pilihan mereka, saya mengetahui dari pembicaraan setiap malam di meja makan (yang dimana akhirnya adalah tempat pertama daya belajar tentang demokrasi dan politik) bahwa Bapak saya lebih condong ke Partai X, sedangkan Ibu saya mengagumi tokoh di Partai Y, mereka mengkritisi kinerja pemerintahan Partai Z. Apakah mereka pernah berdebat? Ya. Tapi mereka melakukan analisa perjalanan politik di Indonesia, mendiskusikannya dan menyampaikan pandangan masing-masing.
Beda pendapat ya sering tapi tidak sampai lempar-lemparan piring. Saya teringat pelajaran politik di meja makan, dari masalah Orde Baru dan Orde Lama, masalah Freeport, masalah Timor Timur, masalah Selat Malaka, masalah Ahmadiyah, masalah G30S/PKI dan lain sebagainya yang disajikan sebagai bahan diskusi di meja makan. Dan salah satu pelajaran masa kecil yang saya bawa di dunia orang dewasa bahwa beda pendapat itu adalah lumrah, dan kita memang punya hak untuk mengutarakannya, dan seiringnya waktu berjalan, di tempat kerja pun mengajarkan cara penyampaian pendapat secara tepat dan santun.
Sekarang bagaimana? Sejak pemilihan Gubernur DKI, saya dan suami tidak pernah membicarakan siapa pilihan yang akan kami coblos, tetap kami mendiskusikan masing-masing kandidat yang ada. Dengan tidak mengidolakan pada satu kandidat tertentu dari awal, kami berdua mengkaji program kerja masing-masing kandidat, apalagi kami berdua bekerja di lingkungan pemerintah, jadi kurang lebih menjadi tahu program kerja yang lebih masuk akal untuk diimplementasikan, cara mereka memaparkan jawaban mereka dalam acara debat terbuka, siapa saja yang menjadi koalisi para kandidat bahkan sampai negative campaign di social media. Jujur saja, dengan diskusi seperti ini saya menjadi terbuka dengan kandidat presiden yang ada, saya mendapatkan informasi lebih banyak dan belajar untuk mengenal semua kandidat sampai program kerja mereka untuk Indonesia dan latar belakang masing-masing. Diskusi bersama suami pun menjadi lebih menyenangkan, karena pada akhirnya saya mendapatkan pandangan terhadap kandidat hampir dari semua sudut.
Lalu, apa pilihan kami sama? Lihat di halaman berikutnya, ya!
Mau suami memilih si Nomor 1 atau saya memilih si Nomor 2, kami tetap suami istri ya tidak?
*Gambar didapat dari account @turuntangan
Balik ke cerita masa kecil, saya merasakan yang namanya berbeda pendapat adalah hal yang lumrah dan menyenangkan, karena semua diselesaikan dengan kepala dingin. Berdebat adalah untuk mencari solusi, bukan mencari masalah bukan?
Alasan itulah saya ingin anak-anak pun merasakan hal yang sama. Jangan sampai mereka mempunyai pandangan dengan melihat Ayah dan Ibu mereka berdebat panas sampai tidak terselesaikan, kelak mereka berpikiran bahwa berbeda pendapat pasti harus memakai kekerasan atau kebalikannya mereka kelak takut berbeda pendapat demi menghindari konflik karena berpandangan jika berdebat hanya menyebabkan masalah.
Bahkan sebenarnya dari situs Parenting.com saya mendapatkan bahwa arguing in front of the kids can teach them an important lesson: People can disagree and still remain connected. Dan jangan lupa just fight the right way. Apa yang kita contohkan di dalam keluarga kecil kita kelak akan diterapkan anak-anak kita sebagai future leaders Indonesia. Jika kita mempertanyakan kenapa pemilihan selalu ada black campaign, negative campaign, serang menyerang di social media, perpecahan bahkan kekerasan di berbagai daerah hanya karena pemilihan pemimpin, kita harus flashback bagaimana kita belajar tentang demokrasi itu sendiri sejak kecil? Bagaimana kita akan membawa Indonesia ke depan?
Dari rumahlah pelajaran tentang demokrasi dan politik itu berawal. Dari orangtuanya, anak-anak akan mencontoh.
Seorang hakim Amerika Serikat, Charles W. Pickering, menyebutkan:
A healthy democracy requires a decent society; it requires that we are honorable, generous, tolerant and respectful.
Let's fight the right way, mommies!