Beberapa waktu lalu, saya dan beberapa orang teman iseng membuat survei kecil-kecilan di antara kami. Temanya adalah tentang “apakah kami, para istri, mengambilkan nasi untuk suami tiap makan?” Hasilnya, sekitar 80% menjawab iya. Sisanya, termasuk saya, menjawab tidak.
Sebelum saya membeberkan alasan saya yang nyerempet-nyerempet perspektif feminisme, seorang teman berbagi cerita tentang ceramah ustaz Ahmad Sarwat yang berjudul “Istri Bukan Pembantu”. Intinya sih, sang ustaz berusaha memberi pengetahuan bahwa dalam Islam, tugas rumah tangga dll itu bukan urusan istri. Semua harus disediakan suami. Jadi, nggak ada tuh namanya istri mencuci, memasak, dll, seperti yang lazim ditemui di masa modern ini.
Padahal, di masyarakat, seringkali disebutkan bahwa hal ini-itu sebagai kodrat wanita. Mulai dari masak, mencuci, beres-beres rumah, belanja, dan sebagainya. Semua disebut “Itu kan kodrat perempuan. Bukan kodrat laki-laki.” Nah, sejatinya, apa sih artinya kodrat itu?
Menurut situs Kamus Bahasa Indonesia, kodrat itu artinya sebagai berikut:
kodrat kod.rat
[n] (1) kekuasaan (Tuhan): manusia tidak akan mampu menentang — atas dirinya sbg makhluk hidup; (2) hukum (alam): benih itu tumbuh menurut — nya; (3) sifat asli; sifat bawaan: kita harus bersikap dan bertindak sesuai dng — kita masing-masing
Dan jika dikaitkan dengan perempuan, dari sudut pandang feminisme, kodrat perempuan itu cuma tiga, yakni hamil, melahirkan dan menyusui. Why? Because God gives us all the “equipments”.
Terus gimana dong dengan yang bilang urusan beres-beres rumah, masak, belanja, urus anak, dll itu sebagai kodrat perempuan? Nah, itu sebenarnya hanyalah norma-norma bentukan masyarakat. Seperti warna pink itu untuk anak perempuan, biru untuk anak laki-laki. Semua purely buatan manusia sendiri.
Makanya saya paling sebel sama orang yang dikit-dikit pakai kata “itu kan kodrat perempuan” cuma supaya mendapatkan keuntungan atau nyuruh orang. Misalnya, “Kan kodrat perempuan untuk nyediain minum tiap ada tamu. Kodrat laki-laki mah cuma duduk ngobrol aja.” Eh Mas, situ udah pernah buka kamus belum? Udah pernah belajar etimologi katanya belum? Sotoy amat sih.
To be honest, I was raised in family with such values. You know lah, norma-norma di mana semua urusan domestik itu harus dikerjakan perempuan, sementara suami cuma menikmati hasilnya. Walaupun Papa saya juga mau membantu pekerjaan rumah tangga, tapi Mama saya membesarkan saya dan adik saya dengan perspektif bahwa, jadi perempuan itu harus menekan ego supaya laki-laki nggak lari. Bahwa jadi perempuan itu harus pintar mengurus keluarga dan rumah tangga. Norma-norma kayak gitu deh.
Nggak tau dari kecil makan apa, saya ini hobinya mempertanyakan dan meragukan segala sesuatu. Jadi meski dicekoki nilai-nilai patriarki di mana laki-laki itu selalu lebih superior, saya terus menerus mempertanyakan “Kenapa harus gitu? Kenapa nggak begini?” Bahkan sebelum benar-benar belajar soal teori-teori feminisme di kampus.
Untungnya saya menikah dengan pria yang nggak patriarki-patriarki banget. Urusan makan, dia justru nggak biasa dilayani. Mungkin karena kalo saya yang mengambilkan nasi, porsinya nggak sebanyak yang dia harapkan ya, hahaha… Terus kalo ART pulang, dia lebih sigap mencuci, beres-beres dan mengepel lantai. Sementara saya kebagian urus anak, cuci piring dan masak.
Pas kemarin saya cerita tentang ceramah ustaz di atas, suami hanya senyum-senyum sambil bilang “Emang kamu ngerasa aku perlakukan kayak pembantu?” :D
Anyway, di sisi lain, saya berterima kasih banget sama teman yang berbagi kisah ceramah ustaz tadi. Soalnya saya jadi punya pegangan untuk bicara soal hak perempuan ke orang-orang yang fanatik dan kolot pandangannya. Buat ngomong ke mereka kan nggak kepake, deh, teori feminismenya Simone de Beauvoiur atau Gloria Steinem. Harus pakai omongannya ustaz gitu :D
Selanjutnya: Apakah poligami juga kodrat? >>
Padahal selama ini saya lebih sering lihat perempuan-perempuan yang ditindas suaminya sendiri, atas nama agama dan ayat-ayat suci. Perempuan yang dilarang ini-itu karena suaminya berpatokan pada ayat tertentu untuk “memenjarakan” istrinya sendiri. Perempuan yang rela makan hati karena suaminya berpoligami atas nama ayat tertentu. Macam-macam, deh.
Kalau saja suami-suami itu paham banget sama ajaran Islam soal memuliakan wanita, dan terutama istri, nggak sanggup deh mereka poligami. Wong punya istri 1 aja repotnya setengah mati. Gimana bisa 2, 3 atau 4?
Saya sih nggak seradikal feminis Barat atau ingin kehidupan istri Islami seperti dalam ceramah ustaz tadi. Dalam pernikahan, saya hanya pengen konsep partnership antara suami dan istri. Suami dan istri itu sama-sama manusia dengan kemampuan mirip. Ya nggak harus salah satu pihak memberi servis ke pihak lain.
*gambar dari sini
Suami kerja, capek. Istri kerja atau nggak kerja pun capek. Jadi kayaknya nonsense aja kalo dibilang istri durhaka karena ogah ambilin makanan untuk suami atau urusin baju untuk suami. We both have two hands, two legs and one head. Learn to use them properly, ok?
Nah, hal yang berbeda adalah kalo servis itu dilakukan dengan alasan cinta atau memang karena ingin. Istri mengambilkan nasi buat suami karena dia senang melihat suaminya happy, bukan karena takut dibilang istri durhaka. Ini kan konsep cinta yang sebenarnya. We’ll be extremely happy if someone we love is happy, right?
Di bidang lain, kayak pekerjaan rumah tangga juga gitu. Saya benci banget sama laki-laki yang cuma duduk-duduk dengan alasan “Capek nih baru pulang kerja”, sementara istrinya ribet nyuci, ngepel, masak, urus anak, all in one.
Ah, daripada melebar ke mana-mana, mari kita sudahi tulisan ini. So husbands, do you still dare to take another wife?