Sorry, we couldn't find any article matching ''
Menjadi 'Wasit'
Ada PR yang belum tuntas di tahun 2013 lalu dan ingin segera saya selesaikan, yaitu jadi 'wasit’ ketika anak-anak sedang bertengkar.
Ada beberapa poin penting yang saya pelajari tentang 'wasit' ini yang saya dapatkan dari psikolog Toge Apriliato :
1. Menjadi 'wasit' adalah istilah yang saya gunakan untuk menjelaskan peranan orangtua ketika sedang menghadapi situasi pertengkaran anak-anak.
2. Menjadi wasit itu memberi kesempatan pada anak-anak yang terlibat pertengkaran untuk bisa belajar menyelesaikan masalah atau menghadapi situasi sulit.
3. Menjadi ‘wasit’ secara prinsip dilandasi semangat untuk memperlakukan anak-anak sebagai manusia. Bukan sebagai kuda delman yang bisa kita kendalikan tali kekangnya.
4. Menjadi ‘wasit’ juga bisa menghindarkan kita sebagai orangtua dari potensi salah memutuskan. Karena kadang-kadang kita nggak tau apa alasan dan tujuan perkelahian yang terjadi di antara anak-anak.
5. Menjadi ‘wasit’ secara nggak langsung membantu orangtua memberi teladan tentang perbedaan antara sikap peduli dan perilaku mencampuri.
6. Menjadi ‘wasit’ saat anak-anak berkelahi bisa membuat kita mengawasi dan memastikan kalau tidak ada sesuatu yang buruk akan terjadi.
7. Menjadi ‘wasit’ bisa memastikan kalau perkelahian anak-anak bisa bejalan dengan aman dan adil.
8. Menjadi ‘wasit’ bukan berarti kita yang akan menentukan akhir hasil dari pertengkaran tersebut, selayaknya hakim yang memberikan vonis di meja persidangan.
9. Menjadi ‘wasit’ saat anak-anak berkelahi membantu kita untuk menuntaskan tugas belajar tentang perkembangan anak, yang sering diistilahkan Toge Aprilianto dengan konsep “tut wuri handayani”-nya Ki Hajar Dewantara. Di mana pada usia 11-13 tahun, anak-anak sudah mulai mengembangkan kesanggupan dan mampu untuk hidup mandiri.
Jujur saja, jadi ‘wasit’ yang benar di antara perkelahian anak-anak baru saja terbersit. Itupun nggak terlepas karena ketakutan saya jika pada suatu hari nanti harus meninggalkan anak-anak. “Kalau saya meninggal, anak-anak sudah bisa apa saja ya,” pikir saya waktu itu.
Dari sana akhirnya saya pun mulai mengubah pola pikir, yang semula jadi faspel (fasilitas pelindung) anak-anak, menjadi fasbel (fasilitas belajar) anak-anak. Di mana sebenarnya menurut saya, menjadi fasbel merupakan jalan yang paling tepat karena merujuk pada kepentingan untuk belajar anak-anak menjadi dewasa.
Selain itu, salah satu alasan kenapa saya memutuskan harus jadi ‘wasit’ yang benar adalah karena saya lelah jadi ‘hakim’ ketika anak bertengkar. Di satu sisi, saya ingin bela anak yang dalam posisi lemah, tapi di sisi lain saya juga ingin membela pihak yang benar. Maksudnya, supaya bisa lebih adil. Tapi kenyataannya memang nggak gampang, deh. Saya yakin, Mommies yang lain pernah berada dalam posisi dan ngerasain apa yang saya rasakan ini.
Dulu, kalau anak-anak sedang bertengkar, supaya mereka cepat damai, saya sering ikut campur tanpa peduli duduk persolanannya. Langsung ikut campur, di antara mereka sudah ada yang nangis. Kalau nggak, ketika sudah dengar si adik yang mengadu, ”Umiiiii.... kakak niiih....” Saya, yang sering bersikap ibarat ‘hakim’ langsung saja nyerocos “kakaaaak, kok, gitu sih, bla bla bla..”
Duh, padahal kan sebenarnya belum tentu si kakak yang salah. *nunduk, maafin Ummi, ya, kakak....*
Sekarang yang bisa saya lakukan justru membiarkan pertengkaran jadi proses belajar anak-anak. Bersyukur, saya punya 4 anak dengan berbagai macam tipe, terutama sang kakak sebagai ‘fasbel’ untuk adik-adiknya dalam ‘bab’ bertengkar.
Saya pun berusaha tidak ikut campur dalam pertengkaran mereka kalau memang tidak dilibatkan. Kalaupun dilibatkan, saya akan mencoba memposisikan diri di pihak yang tepat. Sebagai teman curhat, cari bumper, atau butuh kamus. Di luar itu, saya cukup mengawasi saja. Kalau memang pertengkaran dinilai nggak adil dan nggak aman, saya baru akan mengintervensi. Itupun hanya sebatas perilaku bahayanya saja, bukan ikut campur apa yang jadi masalahnya.
Sekilas, menjadi ‘wasit’ memang terkesan sangat mudah. Tapi pada praktiknya, ternyata sangat sulit. Bawaanya, mulut masih sering ‘gatel’ untuk kasih komentar dan ikut campur. Yah, namanya juga proses belajar, ya. Jadi memang harus berjalan secara bertahap.
Sekarang anak-anak juga sudah mulai mengerti pola didik yang saya terapkan. Dengan cara ini, mudah-mudahan saja jika mereka menghadapi suatu pertengkaran, entah itu dengan orang lain atau bahkan dengan dirinya sendiri, mereka bisa kelak bisa menyelesaikan masalahnya sendiri. Biar bagaimana pun kita sebagai orangtua memang menyiapkan anak-anak menghadapi situasi masalah apapun. Mudah-mudahan pilihan saya menjadi ‘wasit’ membuahkan hasil, ya.
Share Article
COMMENTS