Waktu baca editor's letter bulan ini, saya jadi mikir-mikir lagi, apa ya mimpi yang mau saya wujudkan dalam waktu dekat? Ternyata, selain lagi getol mau renovasi rumah sebagai salah satu resolusi tahun 2014, saya pun punya keinginan untuk punya anak (lagi). Hihihi, iya, kalau Ira takut hamil lagi, saya justru sebaliknya. Mau tambah anak. Apalagi usia Bumi juga sudah 3,5 tahun, rasanya sudah cukup pantas untuk kalau punya adik.
Tapi, sebelum hamil (lagi), ada beberapa hal yang saya mau siapkan lebih dulu. Apalagi kalau ingat gimana perasaan saya saat pertama kali mengetahui sedang hamil. Rasanya, mirip permen nano-nano. Antara kaget, haru, bahagia, senang, sekaligus perasaan khawatir yang begitu besar. Kenapa? Soalnya waktu itu tidak melakukan pemeriksaan kesehatan pra nikah, termasuk melakukan tes kesehatan sebelum hamil.
Padahal saya dan suami sama-sama cukup paham kalau pemeriksaan darah sebelum menikah sebenarnya wajib dilakuan. Fungsinya kan nggak cuma sekedar mengetahui kondisi kesehatan saya dan pasangan, tapi termasuk untuk memastikan kalau nantinya saya hamil, keturunan kami dalam kondisi yang sehat. Setidaknya, kalau ada sesuatu yang nggak beres, bisa melakukan tindakan antisipasi.
Nyatanya, sebelum menikah saya sama sekali nggak melakukan pemeriksaan pra nikah. Bismillah sajalah, pikir saya waktu itu. Padahal orangtua saya, khususnya mama sudah bawel dan mengingatkan berkali-kali. Cuma, karena dasarnya saya yang terlalu cuek dan bandel, pemeriksaan urung dilakukan sampai akhirnya saya dinyatakan positif hamil.
Alhamdulillah, setelah menikah 6 bulan, saya dan suami akhirnya dipercaya untuk memiliki momongan. Sadar waktu itu belum sempat melakukan pemeriksaan, rasa khawatir pun nggak bisa saya tepis. Hal ini berkaitan dengan riwayat keluarga saya memiliki jejak keturunan pembawa sifat thalassemia. Penyakit kelainan darah yang ditandai dengan kondisi sel darah merah yang mudah rusak dan umurnya lebih pendek dari sel darah normal. Dengan begitu, penderita thalassemia seringkali mengalami gejala anemia seperti pusing, rona wajah pucat, badan lemas, sulit tidur, nafsu makan hilang, dan infeksi berulang.
Kenyataan ini memang baru diketahui keluarga besar saya setelah keponakan saya, Nissa, di usianya yang baru 6 bulan, tiba-tiba mengalami penurunan HB yang sangat drastis. Bahkan hingga di ambang batas. Setelah melakukan berbagai pemeriksaan, akhirnya diketahui kalau keponakan saya ini menderita thalassemia. Umh, mungkin untuk cerita yang satu ini kapan-kapan akan saya ceritakan dalam artikel yang berbeda, ya. Betapa keluarga kami sangat syok menerima kondisi ini.
Karena takut dengan kondisi janin, saya pun langsung mengajak suami kontrol ke dokter. Dari sana, akhirnya kami berdua melakukan tes darah. Alhamdulillah, setelah tes darah, suami saya dinyatakan bukan pembawa sifat thalasemia. Sedangkan saya, sampai sekarang masih belum bisa memastikan apakah pembawa sifat thalassemia atau tidak. Soalnya, untuk mengidentifikasinya masih butuh proses pemeriksaan laboratorium yang cukup panjang. Mulai dari pemeriksaan darah yang mencakup darah tepi lengkap sampai analisis hemoglobin. Yah.... paling nggak, saya sudah bisa bernapas lega karena suami saya alhamdulillah dalam kondisi sehat.
Yang pasti, kalau Bumi sudah besar, saya punya kewajiban menjelaskan perihal kondisi ini. Soalnya, jika memang ternyata saya membawa sifat thalassemia, maka 50% kemungkinannya adalah Bumi pun pembawa sifat. Ah, tapi mudah-mudahan saja nggak, ya....
Belajar dari pengalaman ini, dan ingat betapa stres dan nggak enaknya menangis setiap malam sebelum menerima hasil lab waktu itu, sekarang saya pun ingin melanjutkan untuk memeriksakan diri ke lab. Hal ini saya lakukan demi mewujudkan keinganan untuk memberikan Bumi adik. Demi mendapatkan keturunan yang sehat, ada beberapa hal yang mulai saya siapkan jauh-jauh hari, di antaranya:
Cek pra kehamilan
Seperti yang saya ceritakan di atas, sebelum mengandung lagi, salah satu kewajiban yang harus saya lakukan adalah melakukan cek pra kehamilan. Lagipula, saya cukup sadar biar bagaimana pun pada dasarnya, semua kehamilan punya risiko. Dengan melakukan tes kehamilan sebelum hamil, saya bisa kembali mendiskusikan sejarah medis untuk memastikan kondisi apakah saya siap untuk kehamilan baru. Rencananya, sih, akan beberapa pemeriksaan yang mau saya lakukan. Mulai dari cek fungsi kelenjar tiroid, imunitas terhadap infeksi, seperti cacar air, rubella, dan batuk rejan. Oh, ya, saya pun sudah merencanakan melakukan beberapa vaksinasi. Mengingat ada bebrapa vaksinasi hanya dapat dilakukan lebih dari 6 bulan sebelum dapat berefek pada kelahiran, mudah-mudahan niat saya ini cepat saya tuntaskan. Dan bukan sekedar rencana.
Menurunkan berat badan
Jujur aja, nih, menjalankan poin yang satu ini sebenarnya sangat berat, hehehee. Soalnya, sejak hamil Bumi dulu, berat badan saya memang cukup melonjak. Sayangnya, sampai sekarang bahkan berat badan saya belum kembali ke angka normal, seperti sebelum hamil. Walaupun bisa dibilang saya nggak gendut-gendut amat *pembelaan diri*, tapi tetap saja jadi ngeri kalau ingat ada sebuah penelitian yang menyebutkan kalau ibu dengan kondisi berat badan berlebih akan lebih mudah memiliki bayi dengan kelainan tertentu. Duh, mudahmudahan saya dan Mommies semua dijauhkan dari hal-hal yang nggak diinginkan seperti ini.
Untuk itulah, demi mewujudkan #sehat2014 saya mulai belajar (lagi) untuk makan-makanan yang sehat. Dan tentunya ditambah berolahraga. Beruntung, untuk soal yang satu ini suami dan lingkungan pekerjaan di Female Daily sangat membantu. Bahkan, Lita mengajak saya untuk rutin lari di GBK setiap Senin setelah pulang kerja. Bahkan Lita beberapa waktu lalu sempat mention ke saya di Twitter, “Seminggu sekali ya @gajahbleduk menuju #sehat2014, no excuses kalo kata Maria Kang :p”.
Persiapan Mental
Saya sangat percaya kalau kondisi kejiwaan seorang ibu sangat mempengaruhi kandungan. Makanya, setiap ibu hamil selalu diwanti-wanti supaya punya mental yang baik untuk mempersiapkan masa kehamilan. Biar gimana, mengalami masa kehamilan itu kan nggak gampang. Banyak banget perubahan-perubahan psikologis yang kita rasain. Untuk itulah saya berusaha sebisa mungkin untuk selalu menjauhkan pikiran negatif. Meskipun saya pernah hamil, bukan berarti infomasi saya mengenai kehamilan sudah tuntas hingga 100%. Ah, kalau soal ini, sih, masih banyak banget PR-nya. Apalagi kalau ingat banyak teman-teman cerita kalau pengalaman hamil ke dua mereka sangat jauh berbeda dibandingkan dengan kehamilan pertamanya. Nah, supaya nantinya nggak kaget, rasanya persiapan mental wajib masuk dalam list saya.
Harapannya, paling nggak kalau saya sudah melakukan tiga hal di atas, saya bisa lebih siap dan nyaman dengan kehamilan berikutnya. Dan yang paling penting, janin yang saya kandung juga bisa sehat secara optimal. Aamiin...