Cita-cita untuk meraih gelar PhD sebelum usia 30 memang sudah kandas, tapi mimpi untuk meneruskan sekolah, sampai setidaknya mendapat gelar master masih ada hingga detik ini. Semua ini berawal dari obrolan saya dan (alm) Bapak. Beliau bilang soal menyelesaikan studi S1 tepat waktu, kemudian lanjutkan dengan mencari beasiswa ke luar negeri untuk gelar Master. Setelah itu bisa bekerja dulu atau menikah dan punya anak, lalu jangan lupa untuk melanjutkan hingga mendapat gelar PhD. Saat itu saya masih kelas 2 SMA, Bapak bilang, apapun pekerjaan saya nantinya, entah menjadi direktur perusahaan atau mengurus anak di rumah, semuanya membutuhkan daya pikir yang kuat. Bagaimana cara mendapatkannya? Ya dengan sekolah, bergaul ke mana saja (asal tahu pagar untuk diri sendiri), dan bekerja dengan baik. Semua akan mengasah otak dan hati agar bisa dipakai maksimal dengan seimbang. Waktu itu saya masih iya-iya saja ala anak remaja yang bosan diceramahi soal memaknai hidup.
Gambar dari sini
Tapi ternyata ketika saya sedang menikmati bangku perguruan tinggi, keluarga kami mendapat musibah, Bapak jatuh sakit tepat seminggu sebelum beliau dilantik jadi Duta Besar Malaysia. Pos dana darurat sudah habis, asuransi sudah full, jadi saya memutuskan untuk mencari beasiswa agar tidak perlu membuat ibu tambah pusing memikirkan biaya kuliah tiap semester. Alhamdulillah, saya mendapat beasiswa dari Pikiran Rakyat dan bisa melanjutkan kuliah dengan rasa nyaman. Di tahun ketiga kuliah, saya mulai bekerja. Bapak yang tergeletak lemah berpesan agar saya tidak lupa sama kuliah, bahwa saya boleh bekerja jika IPK tetap di atas 3. Saya bisa mempertahankan IPK, tapi saya tidak bisa mengatur rasa lelah setelah bekerja agar tetap bisa konsentrasi menyelesaikan skripsi. Akhirnya skripsi terbengkalai selama 3 tahun. Perhitungan Bapak soal saya sudah bisa meraih gelar master di usia 22 tahun meleset. Bahkan Bapak meninggal sebelum saya menyelesaikan kuliah S1.
Life goes on, saya bekerja, menikah, kemudian melahirkan. Saya sempat lupa soal sekolah. Err, bukan lupa, sih. Tapi dilupain, hehee. Saya seperti mengubur impian meraih gelar Master, apalagi PhD. Tapi pertengahan tahun 2013 lalu, obrolan sebelum tidur dengan suami berujung pada "jadi kapan kamu mau sekolah lagi? Cari beasiswa, gih, ntar bawa Menik sekalian". Kemudian kepikiran sampai satu minggu lamanya. Sebelum mengambil keputusan, saya meyakinkan diri dengan berbicara sekali lagi dengan suami dan membuat list pro dan kontra tentang sekolah bersama Menik ke luar negeri. Dan keputusan diambil : Sazki will continue her study. Abroad! *banana dance*
Untuk mewujudkan impian ini, yang pertama saya lakukan adalah mendaftar tes IELTS resmi, yang ternyata harganya sekarang USD195! Sebelumnya saya hanya pernah tes TOEFL, dan hasilnya sudah expired setahun lalu. Karena tujuan studi saya adalah Belanda, maka lebih baik mengambil IELTS sebagai nilai kompetensi dasar kemampuan bahasa Inggris saya. Selanjutnya saya mendaftar di beberapa universitas pilihan. Karena kali ini saya akan memboyong Menik, jadi saya harus mencari universitas yang punya fasilitas daycare. Terakhir adalah berburu beasiswa. Ini adalah hal yang penting karena kami tidak punya dana khusus untuk pendidikan istri, saya harus mencari beasiswa yang akan membiayai kuliah secara full, jadi suami hanya perlu memikirkan biaya hidup Menik selama ikut saya ke Belanda.
Saat mencari beasiswa, thread ini sangat membantu. Ada beberapa masukan tentang di mana dan bagaimana cara mencari beasiswa. Pilihan beasiswa sudah didapatkan, jadi saya tinggal melengkapi dokumen untuk bisa mengajukan aplikasinya. Beruntung saya masih menjaga hubungan baik dengan beberapa dosen penting semasa kuliah, sehingga surat rekomendasi bisa dengan mudah saya dapatkan. Selain itu tentunya mencari info sebanyak-banyaknya soal apa saja yang harus dipersiapkan jika akan berangkat sekolah membawa anak keluar negeri.
Mudah-mudahan di 2014 ini, mimpi untuk sekolah lagi ke luar negeri bisa tercapai. Seenggaknya saya bisa meraih gelar Master untuk memenuhi impian (alm) Bapak. Untuk yang PhD, nanti dulu ya! Ini aja masih deg-degan apakah bisa berjalan lancar atau tidak. Plus takut juga jadi jinx udah nulis duluan, soal angan-angan yang belum tentu bisa tercapai. Tapi tidak boleh pesimis kalau mau percaya kuasa Tuhan, kan, ya? Hihii.. Mohon dukungan dan doanya, ya, Mommies!