Saya bukan tipe ibu yang mudah meninggalkan anak di rumah. Sampai usianya dua tahun lebih, Aria tidak pernah saya tinggalkan bermalam, atau sebaliknya ia juga tidak pernah bermalam di tempat lain sendiri. Selain karena hingga usia 27 bulan Aria masih menyusu, saya merasa tidak nyaman membayangkan Aria tidur tidak di samping saya. Hal ini berlanjut saat Rory lahir. Saya tidak bisa meninggalkannya lebih dari setengah hari (jam kerja). Bahkan, saat outing kantor ke luar kota, saya memboyong suami dan anak-anak dan memesankan kamar hotel untuk mereka di sebelah hotel yang ditempati saya dan teman-teman kantor, agar malamnya Rory bisa menyusu dan tidur bersama saya.
Alasan utama saya tidak mau meninggalkan anak di rumah tadinya adalah urusan menyusui tadi. Baik Aria maupun Rory masih bangun tengah malam untuk menyusu sebelum mereka disapih. Jadi, menginap tanpa anak-anak tidak pernah terpikir oleh saya. Lagi pula, saya merasa bersalah kalau mereka tidak melihat wajah saya saat mereka bangun pagi. Sudah kerja pulangnya malam, masa masih saja waktu bertemunya berkurang kalau saya harus pergi dan menginap?
Beberapa bulan lalu saya mendapat tugas mewakili kantor untuk media trip di Bangkok. Selain senang karena dapat kesempatan pergi ke tempat yang belum pernah saya kunjungi, saya juga merasa gugup meninggalkan anak-anak di rumah. Tapi, waktunya memang pas sekali, karena beberapa minggu sebelumnya Rory baru saja disapih, dan paspor saya baru jadi :D. Talk about perfect timing. Jadilah saya berangkat, walau sambil was-was meninggalkan anak-anak (padahal ada papanya).
Pertama kali jalan-jalan sendiri!
Acara yang cukup padat selama di Thailand membuat saya sejenak lupa dengan rumah dan keluarga (jahat, ya). Selama di sana, saya kembali menjadi Anggie, alih-alih mamanya Aria dan Rory. Tentu, saat malam tiba dan sudah waktunya istirahat, muncul pikiran-pikiran soal rumah. Apakah Rory sulit tidur? Aria berangkat sekolahnya terlambat, tidak? Suami saya bawa bekal apa ke kantor? Si Mbak hari ini belanja apa? Tapi, pertanyaan-pertanyaan ini hilang setelah besok paginya saya kembali disibukkan aktivitas selama trip itu. I have to say, it felt liberating to be able to stop thinking about home for a while. Saya bisa ngobrol bersama teman-teman media lain, bersama-sama menikmati makanan lokal, dan jalan-jalan di malam hari (way past my usual bed time :D).
Duh, saya jadi merasa bersalah, nih. Karena ternyata saya menyadari bahwa pergi beberapa hari tanpa anak-anak dan suami bisa menyenangkan. Rasanya jadi agak dilematis, ada rasa bersalah karena meninggalkan mereka, tetapi efek yang saya rasakan pada diri saya sangat positif. Kalau saya kembali ke rumah dengan lebih semangat dan bahagia, pasti juga berefek positif ke anak dan suami, kan? *pembelaan*