Beberapa bulan yang lalu, tepatnya bulan Maret, saya kena cacar air. Hah? Udah dewasa (baca : tua-LOL) kok kena cacar air, sih? Memang waktu kecil belum pernah kena, ya? Ya, banyak yang menanyakan hal ini ke saya. Seingat saya, waktu kecil, saya memang belum pernah kena cacar air. Ketika mengonfirmasi ke mama saya, beliau mengiyakan bahwa saya belum pernah kena cacar air.
Gejalanya sendiri begitu cepat. Hari Senin saya memang merasa agak demam, tapi Selasa saya tetap ke kantor. Sore hari setelah sholat Ashar, saya bercermin, lalu melihat benjolan di pipi. “Yah, jerawatan nih, mau haid kayanya”, batin saya. Setelah sholat, saya bercermin lagi, bentolnya udah bertambah. “Wah, jangan-jangan ini alergi”. Saya bukan yang alergi terhadap hal tertentu, tapi kalau kondisi badan nggak fit, saya bisa menderita alergi dari mana saja. Debu, makanan, dan lain-lain.
Setibanya di rumah, saya mengecek bentolnya sudah seberapa, ternyata di tengkuk sudah berasa banyak dan berbeda dengan bentol alergi. Pas minta tolong ART di rumah untuk melihat, dia langsung bilang “Ya, ini cacar air, mbak..”. Nah lho...!
Lalu, yang saya lakukan saat itu:
Saya nggak ke dokter, melainkan BBM sahabat saya yang seorang dokter untuk bertanya apa yang saya lakukan. Ia menyarankan saya untuk beli obat Acyclovir salep dan kapsul untuk dikonsumsi. Persis seperti yang Kirana tuliskan saat ia menderita cacar air sekeluarga.
Tetap mandi, tapi air mandi saya ganti dengan rebusan daun sirih sebagai antiseptik.
Pisah kamar dari Langit dan suami, karena mereka berdua belum pernah kena cacar air. Menurut Kirana, ada beberapa ibu yang justru sengaja menularkan cacar air ke anaknya, karena toh, bakal kena juga sekarang atau nanti. Ini bagian tersulit saat sakit kemarin, Langit yang tau ibunya ada di rumah, kelihatan pengen banget main sama saya, tapi saya justru masih ada rasa takut dia ketularan. Secara ya, kita yang dewasa saja nggak tahan dengan gatalnya. Akhirnya bocah ini setiap 2 jam ‘jenguk’ saya di pintu kamar sambil ngobrol :’) Bagaimana Mommies yang masih menyusui? Silakan baca artikel yang ditulis Kirana tentang menyusui dan cacar air, ya.
Menurut beberapa sumber, minum air kelapa ijo membantu penderita cacar air. Tapi menurut sahabat saya yang dokter itu, sebaiknya tidak melakukan ini. Karena lesi yang harusnya nggak keluar, malah keluar semua.
Mengikat rambut kencang ke belakang dan menahannya dengan bandana supaya nggak ada rambut yang jatuh ke wajah, ini bikin gatal dan hasrat menggaruk keluar, ya. Saya parno banget sama bekas cacar air yang konon bisa sampe bolong atau ‘bopeng’.
Setelah cacar air mengering, jangan lupa rajin membersihkan wajah dan menggunakan moisturizer supaya kondisi kulit kembali seperti semula. O, iya, body lotion juga penting!
Ada yang menyarankan untuk menggunakan parutan jagung muda sebagai masker, konon ini sangat mujarab.
Saya menggunakan Sisley Phyto-Blanc Intensive Whitening Serum setiap hari setelah membersihkan wajah. Hasilnya? Wah, amazing banget! Nggak instan, tapi sangat signifikan. Kurang lebih 2 bulan setelah cacar air kering, kulit saya bersih lagi. Nggak ada bekasnya sama sekali! Ini perbandingannya:
*foto atas itu udah paling mendingan banget, pas lesi udah kempes dan kering. Foto bawah setelah pakai Sisley, hilang sama sekali!
Fyi, lesi saya paling banyak keluar ya, di muka. Asli, banyak banget! Saya saja nggak tega mau attach fotonya di sini, haha. Antara nggak tega sama tengsin, kali, ya.
Dulu saya kira, setiap orang pasti akan kena cacar air setidaknya sekali seumur hidup hanyalah mitos. Tapi setelah kena di usia yang ke-32 ini, saya jadi percaya. Haha. Mommies yang sudah pernah kena cacar air, jangan sedih. Konon virus ini bisa bermutasi dan kalau kita kena lagi, ia akan menjadi herpes *bergidik* *nyetok acyclovir*.