Konsekuensi dari punya bayi berturut-turut setiap (kurang lebih) dua tahun bagi saya adalah hilangnya kesempatan mengikuti shalat Ied di masjid, pun shalat tarawih beberapa tahun belakangan ini. Tarawih, sih, di rumah masih bisa, tapi shalat Ied, kan, tidak mungkin. Saya tidak mau repot (dan merepotkan orang lain!), hanya karena saya yang egois ingin beribadah di masjid sambil membawa beberapa buntut.
Saya tahu dan bahkan memang sering menemui ibu-ibu yang membawa bayi atau batitanya pergi tarawih atau shalat Ied. Tapi berapa banyak dari bayi dan batita itu yang tahan tidur atau duduk anteng selama ibadah berlangsung? Pemandangan umum yang terjadi adalah si bayi mulai gelisah setelah setengah jam berlalu, sementara si balita mulai bermain sambil mengoceh, atau bahkan berlarian. Yang bisa duduk anteng pun kadang masih berisik walau tidak menangis atau malah menjerit-jerit. Lalu sudahkah kita memikirkan orang lain yang ingin khusuk beribadah tanpa gangguan?
*gambar dari sini
Bukankah sikap empati terhadap situasi orang lain juga penting untuk diajarkan pada anak? Dengan menanamkan empati pada anak tidakkah kita sudah membentuk pondasi toleransi beribadah yang akan menjadi bekal anak menjalani hidup dalam masyarakat yang multi-kultur-religi?
Orang (mungkin) akan maklum walau sambil memandangi penuh 'arti'. Masalahnya kita menyadari, nggak, apa arti pandangan tersebut?
Agama tidak mengharuskan perempuan beribadah di masjid karena berbagai alasan, yang sebenarnya ditujukan untuk meringankan. Beribadah di rumah sambil menjaga anak dengan leluasa sebenarnya sumber pahala juga. Malah pahala tersebut tidak 'terkurangi' dengan terganggunya orang lain yang mungkin sambil memperhatikan anak yang sedang menangis atau malah mungkin belajar koprol di masjid (yes, I've seen this) sambil berucap dalam hati,"Mbok, ya, kalau anaknya nggak bisa anteng ditinggal di rumah saja," ketimbang khusyuk mendengarkan khotbah, berzikir, atau berdoa.
"Tapi di rumah nggak ada yang jagain, soalnya kakek-nenek-bapak-saudara dll berangkat shalat semua."
Lha, ya, justru itu kenapa ada 'himbauan', keringanan, bagi perempuan/ibu untuk beribadah di rumah saja. Karena Islam menempatkan pengasuhan generasi masa depannya sama pentingnya dengan peribadatan pribadi. Bukankah mengasuh anak juga termasuk ibadah, yang bahkan dapat dikatakan wajib? Bukankah shalat Ied dan tarawih tidak termasuk ibadah yang wajib?
Lain ceritanya kalau si ibu ke masjidnya nggak untuk beribadah tapi lebih ke memperkenalkan masjid dan kegiatan ibadah pada anak batita. Saat tidak sedang sambil menjalankan ibadah, tentunya ibu lebih leluasa mengawasi anak dan bisa sewaktu-waktu membawa anak pergi saat situasinya sudah mengganggu jamaah.
Anak-anak tidak akan selamanya menjadi anak-anak. Saat mereka masuk SD atau lebih besar sedikit biasanya sudah mengerti apa dan bagaimana beribadah itu. Sudah paham kalau sedang beribadah itu tidak boleh berisik, tidak boleh bercanda. Walau kadang shalatnya masih belepotan, setidaknya nggak pakai lari-larian ke sana ke mari atau ngingsut-ngingsut usil. Apalagi anak-anak yang bersekolah di sekolah Islam, biasanya lebih cepat bisa dan lebih tertib shalatnya karena dibiasakan di sekolah.
Sabar, ya, Mommies *sambil pukpuk kepala sendiri*, Insya Allah hanya sampai lepas masa balita saja, kok. Lagipula masa balita ini merupakan masa emas untuk pengasuhan dan ikatan emosional-psikologis, kan? Mengapa tidak kita maksimalkan bonding saja dulu mumpung masih ada waktu sebelum nanti anak makin mandiri dan makin luas wilayah eksplorasinya?
Selamat Hari Raya Idul Adha, Mommies!