Kemarin baca artikel Leija soal pemilihan waktu untuk meminta maaf. Nah, dari bahasannya, saya jadi ingin berbagi soal mengajarkan anak untuk menerima kenyataan. Seperti yang Leija kutip pendapat seorang nenek asal Belanda yang bilang “Saya perhatikan, anak-anak Indonesia adalah raja-raja kecil. Ngerengek dikit, langsung diberi apa maunya. Akibatnya, mereka cenderung menjadi yang paling ribut di pesawat. Saya tidak setuju mereka dibawa terbang long-haul sampai agak besar", saya tiga perempat setuju dengan pendapat ini. Seperempat bagian tidak setuju saya tujukan untuk para orang tua yang berani membiarkan anaknya menerima kenyataan pahit dari kecil.
Tanggal 5 Mei kemarin, saya baru saja curhat di Twitter. Ada tiga hal yang saya keluarkan karena 'kebiasaan' di lingkungan sekitar yang tidak sesuai dengan kenyataan.
Perkara pertama adalah membiarkan anak menangis ketika ia merasa sakit karena jatuh, atau kecewa karena ada sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginannya. Bukannya tidak tersiksa mendengar tangisan anak setelah jatuh, tapi terus terang, telinga saya gatal sekali rasanya jika mendengar pernyataan "cup cup, ooh pinter, ya, nggak nangis, ya.." WHY?? Kenapa harus tidak menangis padahal sedang kesakitan karena jatuh? FYI, Mommies, tidak menangis setelah menangis itu tidak baik, loh. Saya ini adalah bukti nyatanya. Karena terbiasa menahan tangis, ritme jantung jadi tidak teratur dan saya menderita Arithmia Cordis hingga saat ini. This is why crying is important. Jadi biarlah anak menerima kenyataan bahwa jatuh itu menimbulkan rasa sakit, buatlah hatinya lega dengan memeluk dan membersihkan lukanya (jika luka), berikan air putih, redakan tangisnya perlahan.
Selanjutnya adalah minum dari gelasnya sendiri. Ini juga merupakan pelajaran untuk menerima kenyataan, kalau haus tidak bisa langsung 'malak' minum dari orang terdekat yang sedang memegang gelas. Butuh usaha untuk bilang bahwa ia haus, minta tolong untuk ambilkan gelas, dan baru ia bisa minum. Inilah kenapa saya suka kesal kalau ada yang melihat Menik haus, langsung menyodorkan gelas terdekat. Pembelaan yang paling sering saya dengar adalah "Aku nggak batuk, kok, nggak apa-apa dong, minum dari gelasku". Haduh, selain memang masalah transfer virus atau bakteri, itu tadi tuh, yang saya tulis sebelumnya. Saya mau Menik belajar, bahwa segala sesuatunya butuh usaha. So please, just like Joey who doesn't share his pizza, I want my daughter doesn't share her glass too.
Terakhir itu yang saya pusing soal aturan yang sudah dibuat untuk Menik. Seperti tidak boleh menganggu orang tua yang sedang kerja di depan laptop-nya. Ketika saya bilang "Menik, ayo turun, nggak boleh disitu, ya, Tantenya lagi kerja." Nanti ada jawaban "Nggak apa-apa, kok, nggak ganggu" Errr, ya memang mungkin tidak mengganggu, tapi kan Menik sedang belajar untuk menghargai teritori orang lain. Bener, deh, misalnya sudah satu bulan ini Menik tidak mengganggu orang yang sedang di depan laptop, begitu sekali ada yang memberikan kelonggaran, bubar jalan, dong, pelajarannya.
Sebetulnya ada banyak lagi perkara untuk membiarkan anak menerima kenyataan. Bukan ingin menjadi tiger mommy, tapi saya ingin Menik tahu bahwa dunia ini ada Yin ada Yang, ada hitam ada putih, ada yang enak ada yang enggak. As simple as that? Memangnya kenapa kalau anak belajar menerima kenyataan? Tidak ada yang salah kan? Or are there any other reason which I don't know about letting our kid to be okay to face the truth? Saya belum browsing lebih jauh soal anak-anak menerima kenyataan, sih, tapi setidaknya sampai usia 18 bulan, Menik belum pernah nggulung komeng atau tantrum karena tidak bisa menerima kenyataan atau mendapatkan apa yang ia inginkan.
How about you, mommies?
*thumbnail dari sini