"You must know that there's nothing higher, or stronger, or sounder, or more useful afterwards in life, than some good memory, especially a memory from childhood, from the parental home. You hear e lot said about your education, yet some such beautiful, sacred memory, preserved from childhood, is perhaps the best education. If a man stores up many such memories to take into life, than he is saved for his whole life. And even if only one good memory remains with us in our hearts, that alone may serve some day for our salvation," Dostoevsky's- The Brothers Karamazov
Kutipan kalimat di atas saya petik dari halaman pertama novel Mas Iwan Setyawan, '9 Summers 10 Autumns'. Membuka lembaran cerita dari pria kelahiran Batu, 2 Desember 1974, saya seperti merasa 'ditampar'. Di tengah masa kecilnya yang bisa dibilang dipenuhi dengan awan duka yang menggelayut, tanpa banyak warna warni yang dirasakan, Mas Iwan justru tumbuh menjadi sosok yang kuat. Dan juga bersahaja.
Semua ini tentu nggak terlepas dari didikan orangtua serta lingkungan sekitar yang terus memotivasinya. Sama seperti keinginan orang tua manapun di muka bumi ini yang ingin anaknya berhasil, ibu bapaknya Mas Iwan pun demikian. Mereka bahkan sampai rela menjual angkot, satu-satunya sumber mata pencaharian keluarga, demi menyekolahkan Mas Iwan hingga akhirnya lulus IPB dengan nilai terbaik, menjadi ahli statistik hingga mendapat jabatan empuk menjadi salah satu director di Nielsen Consumer Research New York.
Sepanjang perbincangan saya dengannya beberapa waktu lalu, di mata saya, Mas Iwan ini seakan diselubungi aura yang positif. Setiap kalimat yang ia utarakan juga selalu ngena dan bikin #jleb. Saya pun jadi banyak belajar. Termasuk pelajaran bagaimana menjadi ibu yang baik. Soalnya, Mas Iwan juga cerita betapa tangguh ibunya. Rasanya, pengen banget ketemu dan berbincang langsung dengan ibunya. Pasti, beliau akan saya berondong dengan berbagai pertanyaan, bagaimana dirinya mampu membesarkan anak-anaknya hingga berhasil di tengah kesederhanaan dan kesulitan yang sering menghimpit.
O, ya, Mas Iwan juga bilang kalau ibunya adalah adalah sosok professional financial planner . Waktu itu ia cerita, bagaimana hebatnya beliau mengatur keuangan dan kebutuhan keluarganya. Mulai dari kesanggupan membagi satu telur dadar untuk seluruh anak-anaknya, mampu menghitung dengan tepat berapa liter nasi yang dibutuhkan sehingga nggak perlu bersisa, mampu ngumpetin tempe dari comotan kakaknya yang doyan sekali makan tempe, selalu mengingatkan anak-anaknya supaya nggak boros menggunakan listrik, sampai soal kepintaran beliau memutar otak bagaimana membayar SPP sehingga anak-anaknya bisa terus sekolah.
Waaaah, kurang hebat banget apalagi kan? Sedangkan saya? Sampai menikah dan sudah punya Bumi yang berusia 3 tahun, saya masih kesulitan sekali untuk mengatur keuangan *selftoyor*. Yang jelas, di mata Mas Iwan, lewat kedua orangtuanyalah, ia akhirnya mampu melewati kepahitan masa kecil bahkan nggak ada kata sesal dalam kamus kehidupannya.
Katanya, "Tidak pernah sekalipun ada kata sesal untuk saya. Ternyata kegetiran masa kecil itu justru yang membuat hidup saya indah. Masa lalu bagaimanapun getirnya, selalu ada untuk dimengerti, dimaknai."
Ya, tanpa cerita masa kecilnya dulu, bisa jadi Mas Iwan tidak akan tumbuh dan berada dalam titik seperti saat ini. Sebagai ibu, saya pun masih harus terus belajar untuk membuat masa kecil Bumi menjadi bernilai. Jangan sampai saya menancapkan luka batin yang justru akan terus bisa membekas dihatinya. Aaah, jadi mau mewek :'((
Berikut, hasil bincang-bincang saya dengan Mas Iwan, mudah-mudahan ada pelajaran yang sama-sama kita petik, ya, Mommies.
Apa yang menggerakan mas Iwan untuk menulis novel 9 Summers 10 Autumns?
Saya menulis buku sebenarnya untuk mengingatkan keponakan-keponakan saya, makanya novel saya itu penulisannya seperti autobiografi. Tapi best selling dari novel ini adalah ketika ibu saya membacanya, ini adalah novel pertama yang saya tulis dan novel pertama yang beliau baca.
Pesan apa yang ingin Mas Iwan sampaikan lewat novel tersebut?
Bahwa kita tidak bisa memilih masa lalu kita, tapi masa depan itu kita sendiri yang bisa melukiskannya. Bahwa cinta keluarga lah yang akan menyelamatkan hidup.
Arti keluarga untuk Mas Iwan?
Saya hidup untuk mereka, hanya untuk mereka.
Pola asuh atau nilai-nilai seperti apa diterapkan orangtua Mas Iwan yang paling membekas hingga saat ini?
Ibu menyelamatkan anak-anaknya lewat kesederhanaan, keprihatinan dan ketulusan hidup. Sementara dari Bapak, saya banyak belajar tentang totalitas. Totalitas dalam melakukan apapun. Dari mereka berdua, saya belajar, bahwa kebahagian itu akan terasa lebih manis lewat perjuangan yang sepenuh hati. Mereka berpikir, jangan sampai anaknya susah seperti mereka, dan mereka percaya pendidikan akan mengubah hidup keluarga. Artinya dengan segala cara orang tua saya rela melakukan apa saja, termasuk menjual angkot yang menjadi sumber pendapatan keluarga.
Suatu ketika saya pernah bilang ke ibu, kalau saya capek jadi orang melarat. Tapi saya selalu bergerak karena ingin kehidupan saya berubah. Dari SMA saya sudah memberikan les, dan hasilnya saya bisa mendapatkan biaya tambahan untuk kuliah. Hidup saya berubah dari orang-orang yang saya temui. Lulus kuliah saya juga mendapat pekerjaan di Nielsen juga karena mendapatkan informasi dari warung pecel lele.
Saat Mas Iwan bilang "capek hidup melarat", apa reaksi beliau saat itu?
Beliau hanya terdiam, tapi saya yakin pernyataan saya membuat hatinya menangis. Makanya saya bertekad ingin mengubah kehidupan keluarga saya, membuat orang tua saya bangga.
Pasti orang tua Mas Iwan sudah bangga dengan pencapaian saat ini. Memang seberapa dekat hubungan Mas Iwan dengan ibu?
Saya dekat sekali dengan Ibu saya. Semakin saya pergi jauh, semakin saya merasakan cintanya. Ibu adalah orang pertama yang selalu saya ajak bicara dalam segala aspek hidup dan Ibu membuat hidup saya damai. Lewat doanya. Lewat kesederhanaan dan ketulusannya.
Mas Iwan menyebut ke-4 saudara perempuan dengan sebutan 4 pilar kokoh. Bisa dijelaskan maksudnya?
Mereka tak pernah menyerah dalam hidup! Semangat untuk memperbaiki hidup tak hanya untuk dirinya sendiri, tapi untuk keluarga. Kita bergandengan tangan dalam suka maupun duka. Saya bersyukur, bersyukur dan bersyukur dikelilingi oleh orang-orang yang kokoh dan penuh cinta.
Bagaimana dengan rasa minder, pernah nggak merasakannya?
Pasti, terutama saat saya masuk mulai sekolah di SMP, saya mulai merasa sangat minder. Eh kenapa, sih, tubuh saya pendek, kenapa pakaian saya yang paling dekil, sepatu saya yang paling jelek, dan saat bekerja di Jakarta juga merasa begitu. Saat melihat orang-orang di sini, kok, saya berpikir, kok mereka semua sangat gaya, ya, sementara gaya saya bisa dibilang sangat sederhana.
Tapi, hidup itu terlalu singkat kalau penuh keminderan. Saya pikir begini, kalau minder kita sama saja dengan membangun tembok di sekeliling kita, makanya tembok itu harus dipecahkan. Kalau pun kita jatuh, kita akan tahu rasa sakit itu seperti apa, begitu juga kalau kita sampai berdarah, jadi, ya, maju saja. Tapi minder itu juga sama seperti perjuangan, sampai sekarang ada kalanya saya tetap minder.
Sudah punya posisi bagus di New York, kenapa justru memutuskan kembali ke Indonesia?
New York mungkin telah memberikan kesuksesan, tapi di sini, di tanah air ini, saya merasa hidup saya lebih bermakna.
Apa yang Mas Iwan cari dengan membagi pengalaman untuk anak-anak muda di Indonesia?
Persaingan global semakin tajam! Saya ingin melihat anak-anak muda di Indonesia, tak hanya bisa bersaing di pasar global. Tapi juga bisa membangun kesejahteraan keluarganya. Saya percaya, Indonesia bisa maju, dimulai dari unit terkecil. Keluarga. Saya juga sering ke kampus dan bilang kalau anak muda yang keren itu bukan dari gaya dandannya. Anak muda yang keren itu anak muda yang berintelektualitas.
Mas Iwan pernah bilang bahwa generasi saat ini sering lupa akan sejarah keluarga, dan hanya mengetahui kesuksesan tanpa mengenal titik nolnya. Untuk Mas Iwan, momen apa yang dianggap sebagai titik nol yang membawa perubahan hidup?
Ketika orang tua saya memutuskan untuk menjual angkot satu-satunya, agar anak laki-lakinya bisa kuliah di Bogor. Hidup saya tak pernah sama dari sini. Orang tua saya tahu, pendidikanlah yang akan memberikan kesempatan anak-anaknya untuk maju. Ibu saya tidak lulus SD, Bapak saya tidak lulus SMP. They are not well educated, but intellectually enlightened! Dari sini saya belajar tentang perjuangan hidup. Bahwa menghidupkan hidup itu tidak mudah. Dan saya tidak akan pernah melupakan itu.
Apa goal Mas Iwan selanjutnya?
Saya hanya ingin membagikan kisah perjalanan saya kepada yang lain. Saya percaya sharing and empowering untuk memperkuat hidup satu sama lain. That, as humang beings, we share the same joys and sorrows. Saat ini, saya sedang sibuk dengan film “9 Summers 10 Autumns”, adaptasi dari novel saya dengan judul yang sama, yang sudah keluar di layar lebar semenjak April 25. Lewat film ini, saya ingin membagikan cerita dan kehangatan dari perjalanan hidup keluarga saya, untuk keluarga Indonesia. Kalau kecil dulu cita-cita saya ingin punya kamar sendiri, dan itu saya kejar sampai NYC. Sekarang saya ingin membuat kamar kecil di tanah air ini, lewat karya saya.
Menurut Mas Iwan, kunci apa saja yang harus dimiliki anak-anak muda untuk bisa meraih kesuksesannya?
Totalitas. Kalau ingin megerjakan sesuatu harus sepenuh hati. Apapun itu. “Don’t be average! Average is boring”.
---
Very inspiring! Banyak sekali hal yang saya pelajari saat mengobrol langsung dengan Mas Iwan. Mudah-mudahan nggak hanya sekedar jadi pelajaran, tapi bisa saya terapkan ke kehidupan sehari-hari, ya. Amin.