banner-detik
DAD'S CORNER

Kenapa Suami Perlu Belajar Mengurus Anak?

author

ID_Ayah ASI17 May 2013

Kenapa Suami Perlu Belajar Mengurus Anak?

10 Oktober 2010. Tanggal di mana Dewa diprediksi lahiran untuk pertamakalinya oleh Dokter Erwin.

Sembilan bulan sebelumnya, kami sangat menikmati masa-masa kehamilan. Dewa mempunyai banyak privilege, antre diutamakan, naik angkutan umum juga dipersilakan duduk. Gue sendiri juga sangat membangga-bangga-kan perut dia yang makin lama membesar kalau lagi bepergian atau sekedar kumpul bersama teman-teman. "GARA-GARA GUE TUH!", teriak dalam hati. Mengabadikan perut besar, di berbagai spot, sampai bela-belain foto di studio memamerkan kehamilan. Menyenangkan.

Beberapa minggu mendekati hari-H, baru mulai membeli perlengkapan untuk bayi. Ada beberapa teman yang mau menghadiahi kami, diberikan jatah masing-masing. Ada yang patungan beli stroller, sampe babybox. Sisanya beli sendiri. Dengan perut yang semakin besar, terus berduaan ke toko perlengkapan bayi, milih-milih barang. Meski menguras cukup banyak biaya, sekali lagi, menyenangkan.

Tiba saatnya Dewa masuk ruangan untuk melahirkan. 101010 adalah tanggal yang cantik bagi sebagian orang, jadi waktu itu sebenarnya sudah ada antrean, beberapa ibu hamil memilih untuk operasi demi tanggal. Karena Dewa mencoba melahirkan tanpa operasi, jadi lebih diutamakan oleh pihak rumah sakit. Meski mendapat tatapan tajam dari mereka, tidak mengurangi keantusiasan gue untuk menemani ke dalam ruangan. Yes, mau merasakan sensasi yang kata orang, "Lo akan semakin menghormati wanita setelah melihat perjuangan melahirkan."

Tangan digenggam dengan keras, sakit hati saat mencoba menghibur tapi malah dibentak: "Sudah, deh, kamu diem saja, nggak lucu!!", rasanya nggak ada apa-apa-nya dibanding perjuangan melahirkan. Sayae lihat langsung bayi keluar dari badan Dewa? TENTU TIDAK. Cukup ada di sampingnya, muka menghadap perut sampai kepala. Perut ke bawah saya serahkan kepada ahlinya. Ha-Ha-Ha. Maaf,  ya. Saya takut darah.

Oke, lupakan.

Akhirnya terdengar suara tangisan keras, sesosok mahluk bernama Kei Radhiyya Akbar (Adia) terlahir di dunia ini. ANAK GUE ITU!! ANAK GUE!!

Setelah dibersihkan dan melakukan Inisiasi Menyusui Dini, ke mana Adia berada, selalu gue ikutin. Di kepala ini terngiang-ngiang judul sinetron "Bayi Yang Tertukar", judul yang cukup membawa efek psikologis berupa "keparnoan". Bukan hanya gara-gara itu, tapi somehow, gue masih terpukau saat itu sudah punya anak, jadi selalu ingin ada di dekatnya. Anak baru lahir itu seperti magnet, selalu "menarik" kita untuk mendekat.

Euforia kelahiran. Tamu berdatangan. Dari mulai orangtua, kakak, adik, om, tante, sepupu, teman, berdatangan silih berganti mengucapkan, "Selamat, ya, Bagol dan Dewa." Dua-tiga hari di rumah sakit, sensasi yang kami rasakan sangat luar-biasa nikmatnya.

Saya nggak tahu, saat masih di rumah sakit, ternyata perjuangan BELUM dimulai.

Di sana, kalau misalnya saya dan Dewa kecapekan, tinggal manggil suster. Kalau ada hal-hal yang nggak berani kami lakukan terhadap Adia, tinggal manggil suster. Apa pun, tinggal manggil suster.

Perjuangan dimulai saat sudah menjejakkan kaki di rumah. Saat kami cuma dibantu asisten rumah tangga, yang notabene nggak punya pengetahuan medis seperti suster-suster tersebut. JENG-JENG.

Sempat kesal sama diri sendiri, karena tidak memanfaatkan waktu 9 bulan masa kehamilan untuk cari tahu "Nanti setelah anak lahir, gimana?". Kesal karena masa itu cuma gue habiskan untuk "memamerkan" kalau istri sudah hamil. Kesal karena GUE NGGAK TAHU APA-APA!

ASI Dewa beberapa hari pertama agak seret, sampe Adia dinyatakan kena kuning karena bilirubin tinggi, jadi harus kembali diinapkan. Gue nggak tahu kalau ASI itu memang harus dipelajari, nggak keluar begitu saja seperti apa yang selama ini gue pikirkan. Gue nggak tahu kalau Dewa sedih/stres karena tekanan dari pihak rumah sakit yang sempat bilang, "Ibu gimana, sih, anak lagi kekurangan cairan, nggak dikasih susu saja, padahal ASI masih sedikit?!", malah bikin ASI tambah seret. Gue nggak tahu kalau ternyata ASI itu boleh didonorkan.

Kalau tahu, mungkin akan banyak belajar gimana biar ASI lancar, bakal bikin Dewa senang terus, manjakan dia biar ASI keluar deras, atau akan mencoba minta ASIP Kak Amel yang masih banyak banget di freezer kulkas, sehingga ada "pengganti" untuk sementara dan memberikan efek psikologis "Adia nggak akan kekurangan cairan" selama Dewa struggling menghasilkan ASI lebih banyak. Itu KALAU gue tahu. Masalahnya, gue nggak tahu!

*gambar dari sini

Untuk hal urus bayi lainnya, untungnya gue punya ayah dan abang ipar yang "megang" banget sama bayi. Ayah yang urus Raka, keponakan gue, kalau Kakak-Abang kerja. Dari mulai mandikan, ajak main, kasih ASIP/makanan, dll. Abang begitu pula. Pulang kantor, dia nggak risih untuk berdua doang pergi sama Raka cuma buat menemani dia yang lagi ingin makan nasi goreng, sekaligus kasih kesempatan kakak (istrinya)  buat istirahat/mompa. Di weekend, Raka mandi sudah pasti sama Abang, dia yang nyuapin MPASI. Bagian menyusui baru urusan kakak. I have a great example of being a Dad, from them. Ego lelaki di dalam diri ini yang ngomong: GUE GAK MAU KALAH DARI MEREKA.

Tapi nggak banyak yang beruntung seperti gue, yang punya contoh konkret di depan mata. Atau punya ego yang cukup besar. Masih banyak, bahkan di teman-teman sendiri, yang menganggap jadi ayah, ya, gitu saja. Jadi ayah, ya, berarti punya anak. Masalah ini anak siapa yang urus nantinya, belakangan saja dipikirin, yang penting sudah jadi ayah. Sampai pada puncaknya, ada kalimat yang menggelitik dari salah satu teman cowok, waktu bekas kantor gue lagi anniversary. Gue datang berdua Adia karena Dewa ada urusan. "Lo cuma berdua doang sama Adia? Dewa ke mana? Kok, lo yang urus, sih? Kan, anak itu tanggung-jawab istri, kita, mah, fokus saja cari uang." JEGER! Masih ada, lho, yang mikir begini :)

Saya sering dengar cerita teman-teman cewek Dewa yang curhat, bahwa suaminya nggak dukung dia kasih ASI, misalnya dengan sudah beli susu formula tanpa persetujuan, nggak mau gantian begadang biar kasih kesempatan ibu menyusui untuk beristirahat, atau suaminya nggak pernah mau mandikan anak sendiri. Kalau mandikan saja nggak mau, boro-boro mau bersihin pupnya, kan?

Atau gampangnya, lihat, deh, status Facebook atau tweet para istri menikah dan punya anak, yang orangnya cukup emosional. Nggak jarang mereka nulis sesuatu yang cukup negatif, dan membuat kita kepo dan berpikir: "Lagi kenapa ini orang di rumah tangganya? Marah-marah mulu." Karena, gue pribadi sangat yakin, selama aura di rumah lo positif dan menyenangkan, aura negatif seperti marah-marah nggak akan terjadi (kalaupun terjadi, nggak akan sampai diumbar ke publik lewat media sosial).

Yang berujung apa? Istri merasa menikahi pria yang salah!! BE-RA-BE.

Sebagai seorang suami, sebagai seorang kepala keluarga, itu tanggung jawab BESAR kita, lho :))

Mulai dari hal kecil yang kecil saja, yuk, biar itu semua nggak terjadi. BELAJAR URUS ANAK.

Makanya tadi gue bilang cukup kesal sama diri sendiri, nggak belajar apa pun tentang gimana situasi waktu anak lahir. Saking gengsinya, nggak mau nanya-nanya bahkan ke kakak atau teman dekat sendiri, cara urus anak bagaimana. Semua gue serahkan ke Dewa. Dia yang cari info tentang ASI, dia yang gabung ke milis ini, milis itu tentang parenting world. Gue santai-santai saja, mungkin itu juga yang sepertinya dilakukan oleh mayoritas suami di luaran. "Ah, nanti juga bisa sendiri, kok, selow."

Selama belum punya anak, apa-apa semua dilakukan masing-masing. Karena punya urusan sendiri, kan, tiap pasangan. Memang ada beberapa yang perlu didiskusikan juga, namanya sudah jadi suami-istri. Tapi nggak akan sebesar kalau punya tanggung jawab bersama dalam bentuk anak. Sudah punya anak, gaya hidup pasangan suami-istri pasti akan berubah. Paling terasa, waktu yang banyak tersita. Sudah nggak bisa nongkrong dengan bebasnya sama teman-teman, sudah nggak bisa pacaran nonton bioskop seharian penuh sama istri. Dan lain-lain. Just admit it :)

Sehingga, punya anak akan menjadi 2 sisi mata uang yang berlawanan. Di satu sisi, punya anak dapat mempererat hubungan. Di sisi lain, punya anak justru malah bisa merusak hubungan suami istri. Maksudnya, bukan punya anak malah jadi bencana, ya, tapi punya anak justru malah memerlihatkan sifat asli seorang lelaki. Gampangnya, kalau sifat aslinya bertanggungjawab, dia bakal bantu urus anak. Kalau sifat bertanggungjawabnya cuma pencitraan di depan keluarga besar dan teman-teman, ya, bakal kelihatan pas nggak mau bantu ngurus anak. As simple as that.

Nah, lo mau yang mana? Pasti nggak mau, kan, punya anak malah merusak hubungan? Gile, lu, anugerah gitu malah diputar jadi sumber masalah. JANGANLAH!

In My Opinion, jadi ayah itu ada yang bakat, ada yang karena banyak belajar.

Maksudnya bakat, dia terlahir dari keluarga di mana cowok juga harus telaten ngurus anak, sehingga dengan sendirinya, tanpa disuruh atau dipaksa, hal tersebut akan berlangsung alamiah. Karena pemandangan itu yang dilihat langsung dari kecil.

Maksudnya banyak belajar, dia terlahir dari keluarga konservatif di mana ibu ngurus anak, ayah cari duit. Tapi dirinya "berontak", dan mencoba mencari tahu sekeliling bagaimana seharusnya. Meski nggak pernah ada patokan "Jadi Ayah Yang Baik dan Benar".

Coba, kalau ternyata punya keduanya.. Istri mana yang nggak bangga punya suami seperti gitu? Anak mana yang nggak akan jadikan lo sebagai idola sepanjang masanya?

Istri bisa menyusui, Sob. Bonding ke anak sangat besar. Gimana cara mengimbanginnya? YA, URUS ANAK.

Gue pribadi, sih, selalu berusaha agar jawaban Adia kalau ditanya, "Adia anak siapa? Ayah atau ibu?" dia bakal jawab "Anak ayah." Jiwa kompetitif memang tinggi banget meski itu sama istri sendiri -_-

"Anak itu titipan Tuhan". Gue percaya kalimat itu, dan mencoba mengartikan: anak adalah titipan Tuhan, untuk kita agar menjadi manusia yang lebih baik.

MENJADI MANUSIA YANG LEBIH BAIK.

@andhikaakbar

Share Article

author

ID_Ayah ASI

-


COMMENTS


SISTER SITES SPOTLIGHT

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan