Kalau banyak pasangan memilih sering berkomunikasi lewat jejaring sosial khususnya Twitter, saya dan pasangan memilih untuk tidak melakukannya. Ya, memang, sih, hampir pasti setiap hari saya dan pasangan suka saling mention. Tapi itu pun bukan untuk sesuatu yang bersifat sangat personal.
Maksudnya, saya selalu berusaha nggak menganggap sosial media sebagai chatting room terlebih online diary. Buat saya, sih, selain nggak mau dicap sebagai seseorang yang lebay ataupun sok eksis, mengumbar kicauan yang sebenarnya orang lain nggak perlu tahu hanya akan membawa malapetaka, hehehehe.
Memang , saat ini sudah pasti sosial media membawa banyak perubahan. Termasuk soal urusan yang bersifat pribadi. Kalau dulu, kita sering malu-malu mengakui sedang jatuh cinta, atau merasakan hal-hal yang bersifat pribadi, sekarang kondisinya bisa dibilang berubah 180 derajat.
Setiap hal yang baru terjadi, pasti banyak yang langsung ‘gatel’ untuk laporan di jejaring media. Saat nge-date, mendapatkan hadiah dari pasangan, kesal sama situasi kantor, bahkan ada, lho, salah satu teman saya yang ribut dengan pacarnya lewat jejaring media. Saat membacanya, kok, saya jadi ngeri sendiri, yah?
Jadi berpikir, apa iya semua hal yang baru terjadi atau kita rasakan lantas dikicaukan begitu saja? Ya, jujur saja, sih, sekali dua kali, saya masih sering khilaf untuk menulis hal-hal yang nggak pantas untuk saya bagikan di twitter.
Contohnya, yang belum lama ini terjadi. Saya sempat menulis kalimat yang menunjukan kekesalan saya karena Doni, bapaknya Bumi, membatalkan rencana untuk kencan, hihihi. Padahal, akhirnya kami berdua jadi kencan, lho, meskipun cuma makan malam di salah satu restoran bebek favorit kami.
Jadi malu, sendiri dengan apa yang saya kicaukan :D
Waktu itu suami saya juga bilang, “Makanya, nggak usah kesal duluan, sampai curhat di Twitter lagi."
Iiihhh, tambah malu, deh :D Untung yang ‘nyentil’ suami sendiri. Memang itu kan salah satu fungsinya? Saling mengingatkan. Lagipula untuk urusan sabar, suami saya ini punya stok yang jaaauuuuhhhh lebih banyak dari saya, hehehehehe. Mungkin karena ini juga kami berjodoh, saling melengkapi *halah*
Saya juga pernah membaca kalimat dari Thomas Streeter, penulis The Net Effect : Romanticism, Capitalism and The Internet, ia mengatakan bahwa saat ini memang sangat sulit bagi seseorang untuk membedakan bagian mana dari relationship yang harus disimpan private dengan yang boleh di-share di publik.
Menurutnya, sosial media akan berubah menjadi sebuah kesalahan fatal saat seseorang mulai menjadikannya fungsinya sebagai pengganti face to face. Jadi, alangkah baiknya menggunakan sosial media untuk memberikan opini terhadap sesuatu yang bermanfaat untuk followers.
Jadi, saya sangat heran saat melihat pasangan suami istri yang memilih berkomunikasi dengan intens lewat sosial media. Maksudnya, saling mention -an gitu, loh. Kalau memang ada sesuatu hal yang ingin dibicarakan, sepertinya lebih pas kalau mengunakan BBM, atau chatting room lainnya. Tek-toknya juga lebih cepat. Fungsi sosial media jadinya hanya sebagai langkah untuk follow up saja.
Apalagi kalu mau ngomongin soal seks dengan pasangan. Duh, jangan sampai, deh. Lebih baik melakukan dirty talk lewat BBM atau buat catatan di secarik kertas untuknya. Hal ini juga bisa memancing pasangan untuk pulang lebih cepatkan? :D
Kalau memang ingin curcol, untuk menumpahkan apa yang sedang dirasa, saya, sih, lebih sering memilih untuk nge-BBM teman yang mau dijadikan tong sampah. Kalau pun teman saya merasa terganggu, paling nggak, ya, hanya satu orang yang merasakannya. Bukan ratusan followers yang (terpaksa) membaca kicauan saya, hahahaha.
Umh, kalau Mommies yang lain bagaimana? Apa ada yang sependapat dengan saya? *minta dukungan* :D