Mendadak Hamil Dan Menjalani E-Ping

#MommiesWorkingIt

ulfamayasari・20 Mar 2013

detail-thumb

Saat pulang kerja, saya ke rumah orangtua dan mengeluhkan sakit kepala saya yang tidak berkesudahan.

Rasa sakit itu semakin menjadi setelah saya pingsan dan jatuh dari lantai 2 kantor saya. Ibu saya pun bilang, “Kamu hamil ... ayo, cepat periksa ke bidan."  Saya pun ngeyel yang bilang, “Aku tidak hamil, karena bulan lalu aku masih halangan. Toh, saat pingsan di kantor, aku dibawa ke dokter umum. Katanya tidak ada tanda-tanda kehamilan." Memang saat ke dokter umum itu hanya diperiksa dada dan konsultasi  biasa. Ibu bilang “Yuk, langsung ke dokter, daripada sakit kepala begitu." Ya sudah saya nurut saja untuk ikut ibu pergi. Eh, tapi, entah kenapa kok malah diajaknya ke bidan. Ada rasa malas pas sampai ke bidan itu. Pertama, saya nggak yakin dengan diri sendiri kalau saya hamil. Karena tidak merasakan morning sickness, ngidam, perubahan tubuh yang biasa saja menurut saya, masih halangan tiap bulan walaupun sedikit-sedikit, dan saya masih mengonsumsi PIL KB!

Okelah saya pasrah saja kalau memang harus diperiksa di bidan karena rasa penasaran ibu terhadap saya. Saya diam saja dan BBM-an sama suami sambil nunggu antrean yang lumayan panjang. Tiga puluh menit kemudian saya dipanggil untuk periksa. Pas saya masuk keruang bidan, aduh ada rasa deg-degan. Dan berpikir “Mau diapain nih?” :D . Ibu cerita ke bidan tentang kondisi saya yang berkali-kali pingsan, jatuh dari tangga, terseret jambret motor sampai perut saya mentok aspal, dll. Efek dari kejadian itu semua, membuat saya sakit kepala terus. Dan ibu menyimpulkan kalau saya hamil! Hmm ... bidan cuma geleng-geleng kepala dan langsung menyuruh saya tiduran untuk diperiksa.

Bidan itu langsung cek tekanan darah saya, dan tekanan darah saya cukup rendah. Lalu beliau memeriksa dengan stetoskop. Tiba-tiba dia mengernyitkan dahi seperti ada sesuatu di dalam perut saya. Lalu dia ambil alat untuk dengar denyut jantung bayi. DAN bidan bilang “Mbak, ini ada suara detak jantung bayinya. Dengar, kan?” OH, MY GOD. Saya terdiam dan mendengarkan, tiba-tiba air mata keluar begitu saja, saya pun langsung menoleh ke ibu saya yang duduk di dekat meja ibu bidan. Ibu saya ternyata menangis dan sedikit kaget ekspresinya.

*gambar dari sini

Bidan itu mengecek perut saya dengan cara manual, dengan tangannya sendiri dan menggerak-gerakkan perut saya untuk mengukur bayinya. Dan bidan itu pun bilang, “Mbak, dikit lagi nujuh bulanan, nih. Soalnya ukuran bayinya udah sekitar 6-7 bulan”. Jedar! Saya pun syok. Lemas banget dan cuma bisa nangis karena nggak percaya ada bayi di perut saya. Karena selama ini saya tidak merasakan gerakan apa pun! Perut buncit biasa saja. Setelah diperiksa dan agak diurut “dibenerin” sedikit kandungannya, saya langsung terdiam. Masih tidak percaya dengan hasil kehamilan saya yang memasuki 7 bulan. Mungkin saya masih bisa percaya kalau dibilang 3 atau 4 bulan. Tapi pas dibilang 7 bulan, saya syok. Bidan membesarkan hati saya untuk menerimanya. Mungkin bayinya ngumpet tidak mau menyusahkan ibunya. Lalu bidan meresepkan vitamin dan berbagai macam obat untuk menguatkan janin saya.

Singkat cerita, saya, suami dan ibu saya memeriksakan kandungan saya ke 3 dsog dan 3 bidan. Dan hasilnya pun sama, umur kehamilan memasuki 7 bulan. Teman kantor pun heboh dengan berita ini, saya mulai periksa rutin karena takut kandungan saya kenapa-kenapa. Ajaibnya setelah semua orang tau kehamilan saya, bayi saya jadi membesar. Prediksi berat bayi sekitar 2,7 kg. Sayangnya saya harus menjalani operasi caesar karena bayi yang kelilit tali pusar dan placenta previa. Sesuai prediksi dokter, saya harusnya operasi tanggal 25 Mei. Tanggal 15 Mei saya baru mengajukan cuti. Entah kenapa hari itu perut saya nggak enak banget, pipis terus. Orang kantor suruh saya pulang, karena takut saya kenapa-kenapa. Setelah ke HRD, saya izin untuk pulang ke rumah. Saya menunggu suami saya pulang kerja, dan mengantarkan saya ke rumah orangtua saya di Jakarta. Sepanjang perjalanan naik motor, perut saya semakin tidak enak. Tapi saya diam saja supaya suami tidak khawatir. Sampai rumah ibu saya, ibu saya sudah siap dengan perlengkapan buat melahirkan nanti. Saya pikir, ah, cuma sakit biasa. Akhirnya saya ke bidan, dan bidan langsung merujuk ke RS untuk operasi caesar malam itu juga.

Haduh, seperti petir di siang bolong! Saya nggak siap, karena saya takut sama operasi. Dan suami pun menangis, memeluk dan mencium saya sebelum masuk ruang operasi. Saya pasrah, apa pun yang terjadi itulah yang terbaik. Proses caesar berjalan lancar, bayi saya lahir dengan tangisan yang sangat keras. Suster bilang bayi saya perempuan, dan saya langsung bertanya, “Sempurna nggak, Sus?” :D . Ya maklum saja dengan proses kehamilan begitu, pasti orangtua mana yang nggak khawatir. Berat lahir pun 3,4kg, tidak sesuai prediksi yang hanya 2,7 kg :D.

Proses IMD hanya sebentar, karena tiba-tiba kondisi saya yang melemah. Alhamdulillah 24 jam setelah operasi, saya bisa menyusui anak saya. ASI yang baru keluar pun sedikit, tapi payudara saya sangat bengkak sampai bikin saya meriang. Sepulang dari RS, saya harus dihadapi dengan mitos-mitos yang ada. Saya tidak suka sayur, dipaksa makan sayur. Dan akhirnya minggu ke-2 saya nangis-nangis karena nggak mau makan sayur. Orang rumah pun menyerah dengan saya yang keras kepala. Ya, saya keras kepala menyusui dan menentang mitos-mitos ASI yang ada. Keluarga mendukung ASI eksklusif, tapi ada beberapa yang menyarankan MPASI dini. Oh, saya sangat menentang MPASI dini, saya tidak ingin mengambil risiko untuk anak saya. Saya sampai print semua artikel ASI dan mengancam siapa saja yang berani kasih makanan tambahan untuk anak saya, tidak boleh ada yang pegang Adisha. :D *kejam*

Saya pun mulai nyetok ASIP dengan cara marmet, karena saya belum punya breastpump. Alhamdulillah stok mencukupi untuk ditinggal kerja. Saya bisa mengumpulkan kurang lebih 50 botol ASIP. Setiap hari saya bolak balik Depok – Jakarta – Depok dan saya sampai rumah pukul 11 malam. Orangtua dan suami saya kasihan melihat saya seperti itu. Akhirnya saya dan suami kembali ke rumah kontrakan kami di Depok, tanpa anak saya. Sedih sekali, saya harus e-ping (exclusive pumping). Setiap dua hari sekali saya antar ASIP untuk anak saya. Semakin hari kebutuhan dia semakin banyak. Sehari bisa minum 800-1,3L untuk waktu 24 jam. Alhamdulillah saya masih bisa memenuhi kebutuhannya. Terkadang orangtua saya ingin kasih susu formula atau MPASI dini karena takut anak saya tidak kenyang. Dan kembali, SAYA KERAS KEPALA. Saya yakin cukup.

Pas 6 bulan, anak saya lulus ASI Eksklusif. Dan saya bangga bisa melakukan semuanya walaupun harus e-ping, 2 hari sekali antar ASIP, hujan maupun panas saya lakukan demi antar ASIP untuk Adisha. Sekarang di usianya yang memasuki 9 bulan, saya masih bisa memberinya ASI dan kebutuhannya sedikit berkurang karena sudah MPASI, tapi saya tetap mengusahakannya buat Adisha. Walaupun setiap hari kejar tayang, menghadapi nursing strike. Saya tetap yakin bisa memberinya ASI sampai umur 2 tahun nanti. Saya selalu menekankan dalam pribadi saya “Jika saya mau bekerja dengan orang lain dan bekerja sampai malam. Saya pun harus LEBIH bekerja keras (pumping tengah malam, pumping 5-6x) demi bisa memberinya ASI”. Menyusuilah dengan KERAS KEPALA, seperti kalian berkeras kepala demi mendapatkan apa yang diinginkan."

*Kisah ini pernah dimuat di Buletin LaktASI Edisi 2/2013