Masih jelas di ingatan ketika kecil dulu ... sering sekali dibilang berbeda (secara fisik) dengan kedua adik saya. Memang, sih, di antara kami bertiga yang kulitnya eksotis (alias nggak putih alias hitam hehe) memang cuma saya. Dan nggak sedikit, lho, yang mengolok-olok kondisi itu. Untung saya nggak mengalami krisis percaya diri. Eh, ternyata hal tersebut nggak berhenti sampai di situ ... berlanjut sampai saya melahirkan Igo. Anak saya itu memang sangat sangat sangat kebalikannya saya ... mata Igo sipit dan kulitnya (jauh lebih) putih. Jangan tanyalah berapa komentar “Kok nggak mirip lo, sih, Man?” yang mampir di telinga ini. Bagus saya termasuk orang yang cukup cuek menghadapi komentar ‘miring’. Biasanya saya menjawab, “Ya, kata mertua, sih, mirip ayahnya waktu kecil. Baguslah, daripada nggak mirip siapa-siapa. Nanti ditanya hal yang nggak-nggak lagi?” Hehe.
Kalau ditanya kesal atau tidak, ya, kesal, sih. Tapi bukan karena dibilang nggak mirip ... saya kesal karena saya nggak mau Igo punya pikiran dia harus mirip secara fisik dengan oangtuanya untuk bisa dianggap anak kami. Padahal tampilan fisik anak kita, kan, bisa saja mirip dengan kakek-nenek atau bahkan buyutnya? Lagipula ... memang kenapa juga, ya, kalau anak kita nggak mirip dengan kita? :p Bukan masalah besar juga. Buat saya, mendingan nggak mirip secara fisik daripada mirip tapi yang "nurun" malah sifat jelek kita. *nyengir*
Pasti Mommies tahu dong peribahasa “Buah jatuh tak jauh dari pohonnya”? Atau “Like father, like son”? Ini juga salah satu poin generalisasi yang sebenarnya saya nggak suka, walaupun di banyak kasus hal tersebut memang terbukti, ya. Kenapa anak selalu dihubung-hubungkan dengan orangtuanya? Ya, pasti, sih, tapi menurut saya harus ada batasnya. Biarkan anak tumbuh “bebas” tanpa label dia mirip siapa; kelakuan atau tampilan fisiknya. Memang agak sulit mempraktikkan hal itu tapi saya berusaha menerapkannya. Misalnya, saya menghindari kalimat (walaupun itu pujian), “Wah, cantik seperti mama, ya.” Cukup katakan si anak cantik atau keren, titik. Anak harus dikenali secara individu yang independen, tidak pakai embel-embel apa pun dan siapa pun. Dengan begitu (harapannya) anak akan lebih bisa menghargai dirinya sendiri.
Apakah Mommies punya pengalaman serupa?