Sebagai pekerja yang tinggal di pinggiran kota, waktu bekerja yang secara formal dinyatakan "8 to 5", pada kenyataannya berubah menjadi "5 to 8." Seperti kita semua tahu, kemacetan di Jakarta membuat waktu tempuh dari dan ke kantor menjadi lebih panjang. Lama perjalanan 4 sampai 6 jam setiap harinya menjadi hal yang lazim karena kondisi lalu-lintas yang tidak ramah bagi komuter seperti saya dan suami. Ketika hujan turun agak deras dan lama, saya akan kebat-kebit membatin di kantor, akan bertambah berapa lama waktu perjalanan pulang saya ke rumah?
Tentunya penyebab keterlambatan saya berada di rumah bukan hanya macet semata, kadang saya harus bekerja lembur. kadang, saya dan suami juga suka centil ingin pacaran sepulang kantor (kalau kencan di hari libur bukan pacaran, tapi family date, hehe).
Nah, karena status sebagai pekerja ini saya sandang berdampingan dengan status "ibu", ekses waktu bekerja yang cukup besar ini menjadikan saya craving waktu yang berkualitas dengan si buah hati. Lima hari dalam seminggu, kuantitas pertemuan saya dengan anak paling-paling hanya satu jam, yaitu sebelum anak tidur. kadang pertemuan ini menjadi dua jam kalau si anak sedang terlalu semangat bermain. Tentu saja hal ini senantiasa membuat saya merasa bersalah, apalagi ibu saya kerap melaporkan kalau malam semakin larut dan saya pulang lebih lama dari biasanya, anak saya akan berkata, "Kasihan mama-papa, kena macet di jalan." Saat hujan besar melumpuhkan Jakarta, saya baru bisa sampai di rumah pukul 11 malam, dan anak saya masih setia menunggu. Menurut ibu saya, dia sudah ngantuk berat tapi menolak disuruh tidur. "Kangen sama kalian, mungkin." Duh, pengertian sekali anak ini.
Mengharapkan lalu-lintas Jakarta ke kota satelit menjadi sedikit lebih ramah memang tidak mustahil. Bukannya saya over-pessimistic, tapi hal itu mirip seperti menanti keajaiban, deh. Yang bisa saya lakukan saat ini adalah mencoba berdamai dengan keadaan. Saya memang tidak bisa menyulap jalanan Jakarta menjadi lengang setiap jam pulang kerja atau mengubah waktu bekerja saya, tapi saya bisa melakukan sesuatu untuk mengejar 'ketertinggalan' saya dalam hal keintiman bersama anak. Berikut adalah apa yang saya lakukan untuk meraih quality time sebagai ibu bekerja.
Sejak kecil, anak saya telah terbiasa dibacakan cerita sebelum tidur. Hal ini sekarang menjadi kewajiban, pokoknya sebelum tidur, dia harus dibacakan cerita. Saya dan suami memahami kalau momen dibacakan cerita adalah saat di mana si kecil mendapatkan intimacy dan undivided attention dari kami.
Tapi sejujurnya, pelaksanaan kegiatan ini tidak semudah yang saya katakan. Kadang saya maupun suami sudah sebegitu lelahnya menempuh kemacetan hingga untuk cuci mukapun rasanya kami tidak sanggup :D Kalau itu yang terjadi, yang saya lakukan adalah berkata pada diri sendiri, "Anak cuma minta hal sesepele dibacain cerita aja kok nggak mau ngasih? Keluar duit nggak, keluar rumah nggak. Ayolahhh, kamu bisa!" Atau kalau memang sudah sangat kecapekan, saya akan mencoba "tawar" ke anak, bukannya membacakan cerita tapi saya akan berikan 'sajian spesial' berupa nyanyian, hihi. Saya akan menyanyikan lagu-lagu nina bobo sambil memeluk anak hingga dia tertidur (untung dia belum bisa protes suara ibunya fals).
Titel saya sebagai pekerja menjadikan kesediaan saya terbatas menjadi hanya secara virtual selama jam kerja. Meskipun demikian, saya menerapkan waktu rutin untuk menelpon ke rumah. Sejak anak saya berusia 2,5 bulan dan saya harus kembali bekerja, saya melakukan ini tapi dengan membatasi diri untuk menelepon paling banyak 3 kali saja dalam sehari. Kenapa? Agar ibu saya tidak terganggu dan tidak merasa diawasi :) Hal ini tidak saya anggap sebagai batasan yang merugikan, malah sebagai unwritten rule yang mempermudah pelaksaan 'penitipan' anak di orang tua sendiri. Lain halnya jika ibu saya yang menelpon saya ke kantor saat terjadi emergency (misalnya saat badan anak saya panas, atau anak terjatuh hingga bibirnya berdarah), atau saat anak saya bilang kangen dan ingin bicara dengan saya. Tentunya jika hal yang belakangan terjadi, saya akan menganggapnya sebagai bonus yang menyenangkan!
Sehari-hari, anak dititipkan di rumah neneknya. Jadi, akhir pekan adalah Hari Libur Oma. Diawali dengan kesungkanan mengganggu waktu beristirahat ibu saya, sebisa mungkin saya tidak menitipkan anak kecuali benar-benar perlu, misalnya saat saya atau suami harus ke dokter. Kami juga mengkondisikan ART hanya menangani pekerjaan rumah tangga, bukan pengasuhan anak. Jadi, ke mana pun kami menghabiskan waktu di akhir pekan, entah yang dekat seperti ke mal, atau ke luar kota sekalipun, kami tidak pernah membawa ART turut serta. Selain supaya lebih irit (hehe), hari libur juga merupakan waktu kencan keluarga yang seyogyanya intim dan spesial, seperti orang pacaran saja :)
Nah, hal inilah yang berlaku bagi kebersamaan saya dengan anak. Saya pernah berada pada suatu kondisi di mana saya merasa harus memberikan kompensasi minimnya waktu kebersamaan saya dengan anak dengan memaksa diri melakukan rentetan kegiatan yang (bagi saya) berkualitas. Yaitu hal-hal yang 'berbeda', enriching, dan tak kadang, mahal. Saya mengajak anak ke tempat wisata yang tidak dekat dari rumah, padahal hati kecil inginnya berada di rumah saja karena sehari-hari sudah kenyang menghabiskan waktu di jalan. Saya menuntut diri saya untuk jago membuat hasta karya yang njelimet, padahal anak saya sudah senang hanya dengan mencoret-coret kertas dengan krayon. Saya membelikan anak mainan impor yang tidak murah, padahal menumpuk-numpukkan kardus saja dia sudah happy. Saya akui, fenomena itu adalah suatu fase yang lazim dilalui oleh ibu bekerja. Tapi, untungnya saya cepat sadar. Sekarang saya tidak lagi 'memaksakan' punya energi maupun uang demi mencontreng to-do-list saya akan "Hal-hal Berkualitas/Keren yang SEHARUSNYA Saya Lakukan dengan Anak." Yang terpenting adalah bersama siapa. Kini saya cukup puas menghabiskan hari hanya dengan tidur siang kruntelan bertiga di hari libur. Atau mengajak anak keliling kompleks di sore hari dan bertemu teman-teman yang ia kenal namanya. Yang jelas, saya tidak mau ada perasaan terpaksa atau menyesal di diri saya maupun suami dalam melakukan aktivitas yang memerlukan usaha lebih dari segi energi maupun biaya. Parenting should be fun, right? Jadi saya mencoba tidak terlalu ambisius pada hari libur atau saat bersama anak-kecuali memang ingin dan siap lahir batin. Saya mencoba melibatkan anak dalam setiap aktivitas, sesederhana apa pun. Misalnya saat suami saya mencuci mobil, anak akan diajak 'membantu.' Begitupun saat saya membersihkan rumah, menyiram tanaman, mencuci dan menjemur pakaian, atau sekedar meladeni ketika anak pretend play. Kebersamaan menjadi tujuan utama.
Saat sedang bersama anak. tentunya hal ini tidak mudah, banyak sekali godaannya :D Tapi saya dan suami bahu-membahu mengingatkan, kalau salah satu dari kami lebih dari 10 menit berkutat dengan smartphone-nya tanpa ada alasan yang kuat, siap-siap deh kena 'semprot', hehe. O, ya, kami juga mencoba menerapkan policy ini saat kami sedang berkendara di tengah kemacetan. Apa asyiknya, sih, satu mobil tapi malah diam-diaman?
Kurang-lebih seperti itulah ikhtiar saya dalam mencoba berdamai dengan kenyataan sekaligus mencapai quality time bersama anak, Mommies. Akan senang sekali rasanya kalau bisa membantu memberikan insight untuk sesama ibu bekerja :)