Dari Working Mom Menjadi SAHM

Self

ameeel・01 Jun 2012

detail-thumb

I love my job. I really looooove my job. Menurut saya, pekerjaan saya adalah salah satu pekerjaan paling menyenangkan di dunia, hahaha *lebay*

Tapi beneran, deh. Sebagai jurnalis majalah lifestyle, job desc saya amat-amat-amat menyenangkan. Coba, kantor mana yang membiarkan karyawannya cuma baca novel atau setumpuk majalah, s-e-h-a-r-i-a-n? Tidak banyak, ya, pastinya.

Belum lagi job desc lainnya: menyicip makanan enak di berbagai resto, preview film-film terbaru yang belum tayang di bioskop, hingga dibayarin jalan-jalan ke luar kota atau luar negeri. Jam kerja pun cukup fleksibel. Mau datang siang karena anak imunisasi? Boleh. Mau pulang cepat karena harus jemput ortu di bandara? Boleh. Bahkan beredar cerita, pernah ada yang izin karena kucingnya sakit :D

Keluarga dan teman-teman terdekat tahu betapa 'surganya' pekerjaan saya. Jadi, mereka cukup kaget (bahkan menyayangkan) ketika saya memutuskan resign dan menjadi SAHM (stay at home mom) mengikuti suami yang dimutasi ke Semarang.

Hmm ... dulu saat masih single, ya, menjadi SAHM alias ibu rumah tangga tidak pernah sekalipun terlintas di pikiran. Menurut saya, perempuan itu harus tetap bekerja meski telah menikah dan memiliki anak. Alasannya sepele: kalau suami mendadak meninggal, ekonomi keluarga tidak tenggelam-tenggelam amat karena istri memiliki penghasilan.

Atau jika suami selingkuh, istri memiliki bargain power untuk meninggalkan suami, bukan malah pasrah dimadu karena tidak berdaya meninggalkan sumber penghasilan *ini versi kebanyakan baca tabloid :D

Tapi yang jauh lebih penting dari itu, IMHO, bekerja adalah bagian dari proses aktualisasi kita sebagai manusia. Apalagi jika memang mencintai pekerjaannya. Persis seperti yang dikatakan Lita di artikel Libur Sehari Jadi Ibu. Bekerja adalah salah satu cara saya maintain identitas.

Saya sendiri sudah bekerja sejak usia 21 tahun, sebelum lulus kuliah. Setiap kumpul keluarga, reuni, atau berkenalan dengan teman baru, saya selalu bangga menyebutkan profesi dan perusahaan tempat mengabdi. Karena itu, sempat timbul rasa kurang nyaman saat ditanya kerja di mana dan saya menjawab, "Sekarang jadi ibu rumah tangga." Sepertinya, kok, seperti identitas saya dicuri dan ada kebanggaan yang hilang :D

Terlepas dari itu, sebenarnya hal yang paling saya khawatirkan hanya satu: apakah resign akan membuat saya sutris? Dari dunia media yang dinamis lalu mendadak 'hanya' ngurusin rumah? Bukannya apa, tapi beberapa teman saya yang memutuskan jadi SAHM, kok, kebanyakan malah kembali bekerja. Alasannya sama: bosan di rumah melulu. Waduh.

So far, sebulan menjadi SAHM, saya, sih, belum merasa jenuh, ya. Happy banget malah, karena bisa full mengawasi Rakata-Ranaka plus tidak perlu ketemu macet setiap pagi-sore. Mau pergi dan jalan-jalan kapan saja juga bisa, tidak perlu cuti atau bolos ngantor :p

Tapiii, itu karena sekarang saya masih tinggal di rumah orangtua, ya. Ada kakek-nenek-ART yang bisa dititipin anak. Saat tulisan ini dibaca, saya sudah ada di Semarang, mengurus dua bocah tanpa bantuan siapa pun kecuali suami. Nah, mungkin saat inilah 'perjuangan' sesungguhnya dimulai. Coba kita lihat bulan depan, ya, saya masih menikmati jadi SAHM atau sebaliknya malah frustrasi :D

Lalu bagaimana dengan keuangan keluarga? Yang tadinya dua pemasukan mendadak jadi satu? Ah, saya tidak terlalu khawatir (belagu, ya, kayak suaminya gajinya gede saja, hahaha).

Tapi beneran, deh, urusan finansial tidak pernah jadi isu. Apalagi, kami pernah merasakan hanya memiliki satu sumber penghasilan. FYI, di tahun kedua pernikahan, suami sempat beberapa bulan menjadi pengangguran, lho. Nyatanya, kami bisa survived. Nanti saya ceritakan di tulisan lain, ya, 'serunya' masa-masa itu :D

Lagipula, saya cukup PD hanya mengandalkan pemasukan dari suami karena sebagai perempuan 'biaya operasional' saya juga tidak tinggi. Pertama, saya tidak suka shopping. Saya baru beli baju/tas/sepatu jika yang lama memang sudah rusak. Kedua, saya ke salon hanya satu kali setahun (paling banyak dua kali) itupun untuk potong rambut. Ketiga, saya tidak pernah tertarik dengan barang bermerek.

Paling yang bikin manyun, untuk memperketat ikat pinggang, suami mengurangi frekuensi kami jajan di resto setiap Sabtu/Minggu.

Bagaimana dengan Mommies? Adakah yang sebelumnya berstatus working mom dan sekarang menjadi SAHM? Atau justru tidak betah dan memilih jadi working mom lagi? :D

 

*foto diambil dari sini (http://www.michiphotostory.com/2011/04/advantages-and-disadvantages-of-stay-at.html)