Liburan Bebas Itinerary

Travel

irasistible・28 May 2012

detail-thumb

Meski saya gemar sekali traveling, jaraaanng sekali saya membuat itinerary atau itin untuk perjalanan liburan saya. Paling mentok, ya, panduan kasar saja. Misalkan, hari ini ke A, besok ke B, lusa ke C. Plus data beberapa tempat yang pantas dikunjungi. Itupun masih bisa diubah, bahkan ditiadakan. Semua mengikuti mood dan sikon yang ada.

Kebiasaan ini berlanjut sampai saya punya keluarga. Saat pertama kali merencanakan liburan bertiga bersama suami dan Nadira ke Yogyakarta selama 3D/2N, saya bengong saat suami bertany,a “Mana itinerary-nya?” Hahaha. Aduh, maaf, ya, suami. Istrinya ini kan amat sangat nggak teratur. Prinsip saya, hidup itu mengalir saja seperti air. Lagi pula, menurut saya kita kan mau liburan. Kalau pakai itin-itin-an segala, apalagi yang diatur dengan rapi dan detail sampai ke jam dan menitnya, bisa-bisa saya stres sendiri.

Akhirnya, sebagai kompromi antara saya yang tidak suka itin dan suami yang sangat teratur itu, kami membuat daftar beberapa tempat yang sekiranya akan kami datangi. Plus lokasi-lokasi wisata kuliner yang oke, hasil mencari di search engine dan rekomendasi beberapa teman.

Suami yang biasanya OCD akut, akhirnya cuma berpesan bahwa di hari kedua kami di Yogya, ia harus berkunjung ke makam kakek dan adiknya di Boyolali. Yang artinya, kami harus mengubah rencana berkunjung ke Borobudur. Kami lantas memilih Prambanan yang lebih dekat ke Boyolali.

Kebetulan, liburan kami waktu itu bertepatan dengan liburan seorang sahabat dan keluarganya. Serunya lagi, mereka juga nggak punya itin. Yippiee! Kami pun berkeliling Yogya tanpa itin, hanya bermodalkan daftar places of interest, wisata kuliner, dan improvisasi di lapangan.

Liburan selanjutnya, saya dan suami sudah lebih PD untuk berangkat tanpa itin sama sekali. Yang penting kami sudah punya tiket pesawat dan pesan hotel untuk menginap. Untuk hotel pula, saya sengaja pesan yang cukup strategis. Maklum, namanya juga nggak punya itin. Jadi, inginnya yang praktis-praktis aja, bisa disesuaikan dengan mood gitu, hehehe..

Waktu ke Bandung selama 2D/1N, tujuan kami cuma wiskul dan belanja sedikit di FO. Alhamdulillah, berkat bantuan GPS manual (peta + tanya kanan kiri), nyaris semua tercapai. Perut kenyang, hati senang.

Nah, waktu ke Bali selama 4D/3N, kami juga nggak punya itin. Suami cuma pesan, dia ingin lewat rumah dan sekolahnya waktu kecil karena saat kecil, ia pernah tinggal di Bali selama beberapa tahun. Selain itu, tujuan kami standarlah ala orang Jakarta yang ke Bali dengan anak kecil. Nggak lain nggak bukan ke taman wisata semacam Bali Bird Park, Bali Safari Marine Park, dll.

Yang unik, kami justru dapat pengalaman baru ke Bali Butterfly Park yang bahkan dicari di search engine pun agak susah. Gara-garanya, suami ingin ke daerah Bedugul. Karena perjalanan jauh, saya iseng lihat peta di mobil sewaan dan melihat ada Taman Kupu-Kupu di jalan yang akan kami lewati. Lalu saya berdiskusi dengan suami dan sepakat untuk berkunjung ke situ. Nggak fantastis, sih, memang, tapi menarik juga melihat kupu-kupu cantik di situ. Apalagi saya lihat, meski baru bangun tidur, Nadira gembira luar biasa melihat kupu-kupu di mana-mana.

Terus terang, meski enjoying the vacation so much, saya dan suami sempat bingung, kok liburan kita isinya kebanyakan leyeh-leyehnya, ya? Bangun tidur siang, sarapan lama sambil ngobrol ngalor ngidul, dan sebagainya. Padahal kalau baca blog orang, rata-rata pada bangun pagi karena ambisius untuk pergi ke sana ke mari, mumpung di lokasi wisata. Saya dan suami pun jadi merasa orang termalas di dunia, hehehe..

Anyway, setelah membaca artikel tentang Liburan Dengan Itinerary, maka coba saya jabarkan, kekurangan dan kelebihan tanpa itin, sebagai berikut ya..

Kelebihan:

  • Lebih spontan. Kalau saya membuat itin dari Jakarta, mungkin saya nggak akan pernah berkunjung ke Bali Butterfly Park. Wong tahu saja nggak ada tempat bernama itu.
  • Bisa mengeksplorasi lebih banyak. Saat di Yogya, kami berkeliling kota dari gunung sampai pantai, tanpa batasan waktu. Saat mobil yang kami sewa sudah habis waktunya (10-12 jam/hari), kami memutuskan pulang dengan naik andong, becak, bahkan sempat naik kereta genjot keliling alun-alun dulu. Seru!
  • Yang punya anak kecil pasti paham deh betapa sulitnya untuk mengikuti jadwal yang terikat. Misalnya, jam 9 di itin yang sudah disusun rapi, harusnya kita sudah berangkat dari hotel menuju taman rekreasi. Ealah anak semalaman begadang karena sulit tidur menyesuaikan diri di tempat baru. Alhasil bangunnya pun kesiangan. Kita juga teler karena kurang tidur. Belum lagi saat anak sulit makan karena lebih tertarik melihat ikan, atau ingin berenang. Kalau kita stick to itin, dijamin liburan jadi nggak fun, dan ujung-ujungnya, stres sendiri. Waktu liburan yang harusnya memperkuat bonding keluarga, malah hancur berantakan karena ambisi kita untuk mengikuti itin sepenuh hati. Seorang teman saya curhat, saat traveling ke Australia bersama sebuah tour and travel, ia sampai sulit menikmati liburan karena berupaya sekuat tenaga untuk bisa keep up dengan jadwal yang ada. Bahkan sampai akhirnya ia dan anaknya nyaris sakit kelelahan. Sad, eh?
  • Kekurangan:

  • Tampaknya akan repot jika konsep no itin ini diterapkan ke lokasi yang belum pernah dikunjungi. Sampai saat ini, saya kan baru berlibur ke lokasi-lokasi yang sudah saya kunjungi puluhan kali sebelumnya. Jadi boleh dibilang, tanpa itin pun saya sudah menguasai daerahnya (tsaahh). Nah, kalau saya keliling Eropa tanpa itin sama sekali, padahal saya belum pernah ke sana, bisa mati gaya kayaknya deh.
  • Dengan atau tanpa itinerary bagi saya yang penting liburan harus gembira. Setuju nggak?