Minggu ini kembali di twitterland seru-serunya diperbincangkan mengenai masalah kelompok pro dan kontra vaksinasi untuk bayi dan balita. Mungkin ini merupakan imbas dari diskusi mengenai pro dan kontra vaksinasi yang telah diselenggarakan akhir pekan kemarin yang katanya berlangsung cukup menarik dan alot. Masing-masing kelompok memegang teguh keyakinan masing-masing, sehingga dalam perdebatan ini (meski ada pernyataan tidak mau ikutan debat kusir) tidak akan menemukan titik temu. Dari perdebatan seperti ini, kita justru mendapatkan banyak ilmu. Kita bisa mendapatkan two version of the story, mana yang akan kita yakini akan kembali kepada diri kita masing-masing, yang utama kita sudah bisa membuka cara pandang kita dan menyaring informasi dengan bahan-bahan pengetahuan yang reliable.
Salah satu bunyi ritwit @mommiesdaily yang menurut saya paling mengena adalah berbunyi kurang lebih: too much “katanya” will kill you. Yup, itu benar apa adanya kok. Anak saya dua, yang pertama berumur 4 tahun yang kedua berumur 1 tahun, saya sudah mengalami berjuta-juta “katanya”.
Kata-kata “katanya” ternyata memang terus mengiringi perjalanan hidup, lebih intens memang ketika kita memiliki anak. Dengan adanya anak tentu kita lebih protektif sehingga kalau mendengar sedikit informasi meski baru sumir, langsung sebagai orang tua kita otomatis membuat benteng perlindungan dulu. Informasi yang dilandaskan dengan “katanya” beberapa di antaranya berasal dari mitos serta pengalaman orang lain yang mungkin kita kenal atau bahkan belum tentu kita kenal. Ada yang berdasarkan fakta ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan ada juga yang berdasarkan pemahaman orang yang masih dalam proses memahami tanpa landasan ilmu atau kajian teoritis. Namun sayangnya beberapa keputusan yang dibuat oleh orang tua untuk anak-anak yang berlandaskan dengan informasi “katanya” padahal ini menyangkut nyawa anak kita sendiri lho. Apalagi jika kita menelan informasi tersebut bulat-bulat dengan memakai kaca mata kuda.
Saya jujur termasuk yang sempat membuat keputusan yang berlandaskan “katanya”. Salah satunya adalah pada saat anak pertama masih bayi, sedang gencar-gencarnya informasi bahwa kandungan dalam vaksin MMR akan menyebabkan autism, sehingga saya menunda untuk melakukan imunisasi MMR kepada anak saya. Tapi untungnya rasa penasaran saya lebih besar. Saya mencari informasi sebanyak-banyaknya selama 1 (satu) tahun, ya satu tahun yang cukup lama.
Dalam keyakinan saya, jika kita memang tidak tahu akan sesuatu maka bertanyalah kepada ahlinya dan dianjurkan untuk mencari ilmu sampai ke negeri Cina. Apa saya jadinya pergi ke negeri Cina untuk mencari tahu tentang MMR? Tentu tidak, kan sudah ada namanya teknologi ya tidak, moms?
Saat itu saya dan suami berikhtiar akan mencari informasi sebanyak-banyaknya sebelum mengambil keputusan. Saya tanya kepada ahlinya yaitu dokter anak saya tentang MMR itu sendiri. Saya tanyakan kepada om tante dan sepupu-sepupu saya yang bergelut di kedokteran mengenai pendapat mereka. Tambah lagi Ibu saya yang kebetulan menguasai ilmu virology dan immunology dapat menjadi teman diskusi atas tulisan-tulisan yang kami dapat di dunia maya.
Saya mendapatkan informasi lagi melalui televisi, ya kadang televisi banyak manfaatnya lho. Tayangan Oprah tentang kegundahan selebritas Jenny McCarthy terhadap vaksin MMR serta tayangan BBC yang memaparkan pro dan kontra vaksin MMR dari dua sisi. Tayangan tersebut sangat netral selain memaparkan hasil penelitian hubungan antara vaksin MMR dan autism, juga dipaparkan akibat yang dapat ditimbulkan oleh penyakit MMR, alternatif pengobatan yang sudah ditempuh serta risiko dan hasil yang telah dicapai.
Fasilitas social media, BBGroup, e-mail, instant messanging dan chatting wajib dikerahkan. Bertanya kepada teman yang kebetulan tinggal di Jerman dan mempunyai anak yang seumuran, suami yang kebetulan sekolah di Jepang saya kerahkan untuk bertanya ke ibu-ibu yang mempunyai anak sepantaran, teman-teman pergaulan dan di kantor saya “interogasi”, blog ibu muda dan seleb twitter saya follow. Beruntung forum ibu-ibu muda sudah banyak saat itu, milis sehat dan website kesehatan bertaburan, tinggal klik langsung semua informasi didapatkan termasuk kehalalan atau keharaman suatu produk.
Ketika saya dan suami memutuskan akan melakukan imunisasi MMR atau tidak kepada anak pertama kami, saat itu kami sudah mendapatkan informasi yang menurut kami cukup dan berimbang serta kami merasa implikasi apapun yang mengiringi dapat kami pertanggungjawabkan sebagai orang tua sesuai denga keyakinan kami membesarkan anak-anak kami. Untuk anak kedua kami, saat ini kami sedang menggali kembali informasi tentang vaksin MMR karena kami merasa kondisi fisik masing-masing anak kami tidak dapat disamakan dan pastinya ilmu pengetahuan terus berkembang. Ketika ipar saya bertanya karena ponakan saya sudah saatnya imunisasi MMR, kami tidak mau memberikan informasi sepotong-sepotong sesuai keputusan kami. Jujur, untuk masalah kesehatan kami merasa bukan ahlinya dan kami pun tidak mau menyesatkan seseorang dengan tidak memberikan informasi yang tidak utuh.
Kami sangat merasakan manfaat dari teknologi itu sendiri, makanya tidak segan-segan untuk mengerahkan segala fasilitas yang dimiliki. Browsing OLS atau chatting gossip terkini bisa dengan satu jempol, pasti mencari informasi kesehatan pun mudah, ya tidak? Tentu dengan saringan informasi yang akurat serta reliable dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Jadikan teknologi sebagai sahabat kita, bukan sebagi tempat untuk mengisolasikan diri dari pergaulan tapi untuk membuka wawasan kita semua. Daripada kita mati penasaran dengan “katanya” lebih baik teknologi kita manfaatkan semaksimal mungkin.