Sejak awal mendengar tentang program Tango Peduli Gizi Anak Indonesia melalui Pemberian Makanan Tambahan dan Balai Pemulihan Gizi (BPG), di tahun 2010, saya pribadi salut. Terutama ketika Tango bekerja sama dengan Yayasan Obor Berkat Indonesia (OBI),untuk melanjutkan program ini dengan menitikberatkan program pemberdayaan keluarga agar kondisi kesehatan dan gizi anak tetap terjaga ketika mereka sudah kelar dari BPG.
Makanya begitu mendapat undangan untuk mengunjungi BPG di Nias, saya langsung excited! Selain memang saya tertarik dengan program-program sosial atau kemanusiaan, saya juga penasaran ingin berhadapan langsung dengan masyarakat Nias yang telah mengikuti program ini.
Rabu, 16 November 2011, saya dan rombongan undangan lain berangkat ke Nias. Kami transit di Bandara Polonia lalu kemudian nyambung menggunakan pesawat kecil yang membawa kami ke Gunung Sitoli, Nias. Tiba di Nias, kami langsung mengunjungi BPG. Di sana, saya bertemu dengan dua anak yang sedang menjalani program pemulihan gizi. Pertama adalah Krisna, bayi berusia 8 bulan yang berat badannya hanya 3 kilogram. Saya sempat menggendong Krisna ... ya, ampun, ga tega banget rasanya :( Dan ada Reje yang berusia 3 tahun dengan berat badan 8 kg. Reje sudah 5 bulan di BPG, awal masuk berat badannya hanya 4 kg, saking kecilnya badan Reje, ia masih belum bisa jalan :(
Mereka berdua, seperti anak-anak lain yang masuk ke BPG ini, selalu didampingi oleh ibu, nenek atau siapapun yang mengasuh mereka di rumah. Hal ini dikarenakan, pihak OBI dan Tango menginginkan saat si anak telah dinyatakan ‘lulus’ alias gizinya telah baik, berat badan bertambah atau kemajuan signifikan lainnya, lalu keluar dari BPG, anak-anak ini tetap mendapatkan asupan yang maksimal. Karena itulah, ibu menjadi faktor penentu di sini. Di BPG para ibu diajari memasak yang benar, nutrisi yang dibutuhkan oleh anak, kebersihan, dan lain sebagainya. Kebayang nggak, sih, moms, anak-anak ini ada yang hanya makan pisang saking jarangnya ketemu nasi atau malah ada yang ASI ibunya berhenti (akibat sang ibu juga kurang gizi dan ya, ibu-ibu di sana menyusui semua, lho) akhirnya bayi hanya minum air putih :(
Hari kedua di Nias, kami ke Desa Tuhemberua di Nias Selatan, lama perjalanannya 2,5 jam dan perjalanannya off road banget, deh! Seru ... 4 km sebelum sampai, mobil yang kami sewa tidak bisa melanjutkan perjalanannya. Sehingga sebagian harus pindah di bak belakang mobil lainnya. Di desa tersebut, kami mengunjungi keluarga dari Fenius Lala, 3 tahun, yang baru saja keluar dari BPG beberapa bulan yang lalu. Berat badan ketika Fenius masuk BPG hanya 7 kg dan sekarang beratnya sudah mencapai 12 kg, lho!
Setelah itu, kami mengunjungi keluarga Erni Murni Saskia, 1 tahun 3 bulan, di Ononamolo, Nias Tengah. Saya mendengar bahwa ibu Erni baru saja melahirkan. Saat kami tiba di kediamannya, ibu Erni sedang memangku seorang anak di teras. Saya kira, ini adalah bayi yang baru dilahirkannya. Ternyata, anak perempuan itu adalah Erni, kecil sekali memang. Saat ini beratnya belum mencapai 5 kg, tapi sebelum masuk BPG, berat Erni malah hanya 2 kg-an saja :(
Keluarga Erni adalah yang sudah mendapat bantuan dari program Tango Peduli Gizi (TPG). Bantuannya berupa 10 ternak ayam, seekor ternak babi dan material untuk memperbaiki rumah terutama sanitasi. Ini tidak hanya berhenti saat anak dinyatakan sehat, tapi juga continue ke orangtuanya. Bahkan untuk perbaikan rumah/sanitasi pun, keluarga ini hanya dikasih materialnya saja, jadi mereka yang harus menentukan sendiri kapan mau melakukan renovasi terhadap tempat tinggalnya lalu OBI akan membantu.
O, ya, menurut dr. Monica Sahertian, social worker OBI sekaligus pelaksana lapangan program Tango Peduli Gizi di Nias, tidak mudah menjalankan program ini. “Hambatan yang dihadapi dalam program ini adalah tidak mudahnya mendapatkan komitmen dari orangtua untuk mengikuti program pemberdayaan tersebut. Oleh karena itu, program ini dikhususkan pada mereka yang mau berswadaya selama rangkaian program dijalankan. Dan sebagai pelaksana lapangan, kami telah menyiapkan tim medis dan pendamping yang selalu memantau serta mengevaluasi jalannya program ini tahap demi tahap termasuk perkembangan kondisi kesehatan dan gizi anak serta kegiatan pemberdayaan keluarga peserta program TPG 2011 di Nias ini,” ujar dr. Monica.
Salah satu keluarga yang sudah sukses mengikuti program ini adalah keluarga dari Darma Nazara di Desa Onositoli, Nias Utara yang diberikan bantuan berupa benih lele dan ayam kampung. Ayah Darma baru saja memanen sekitar 50 kg lele! Ini merupakan hal yang membanggakan, karena sebelumnya pendapatan keluarga dengan 6 orang anak ini tidak menentu. Ditambah lagi, sekarang keluarga ini makan lele yang padat protein minimal seminggu 2 kali
Nias merupakan salah satu daerah dengan tingkat kekurangan gizi yang tinggi. Kami sempat bertemu dengan Kepala Dinas Kesehatan Kota Gunung Sitoli, Drs. Edison Ziliwu, MM. M.Si,dan menurut beliau ini adalah permasalahan yang kompleks dan lintas sektoral, “Kasus gizi buruk dan gizi kurang di Pulau Nias ditengarai akibat rendahnya pengetahuan masyarakat akan gizi, rendahnya penghasilan ekonomi keluarga serta sanitasi yang kurang baik. Kami menyadari perlu kerjasama lintas sektoral dalam menanggulangi masalah gizi ini."
Hal inilah yang membuat Tango memusatkan program sosial mereka di Nias. Menurut Yuna Eka Kristina, PR Manager OT Group, dalam sebuah perbincangan, di lokasi lain LSM baik domestik ataupun internasional sangat mudah diterima oleh masyarakatnya. Sementara di Nias, agak sulit. Program TPG ini pun sempat mengalami penundaan akibat sulitnya mencari pasien (nah, bayangkan ... cari pasien untuk menjalani perawatan yang gratis, susah!). Tapi dengan perkembangannya yang positif, maka sekarang BPG malah menjadi tempat yang dirujuk oleh puskesmas di Nias jika mereka menemukan kasus kurang gizi atau penyakit tertentu. Hebat, ya?
Banyak sekali hal baru (atau hal yang baru saya sadari) dengan kunjungan ke Nias kemarin. Misalnya, tentang betapa di sana masyarakat memercayai bahwa anak adalah berkah dari Tuhan, sehingga kehadirannya tidak boleh ditolak (atau diantisipasi). Tak heran, perempuan-perempuan yang saya temui kemarin usianya sekitar 25-30, dan jumlah anak mereka minimal 4 orang dengan jarak kelahiran yang begitu dekat! Atau anak usia 5 tahun yang sudah harus bisa mengasuh adik-adiknya karena ayah dan ibunya bekerja di ladang.
Mungkin apa yang dilakukan Tango lewat TPG atau BPG belum bisa mengubah kondisi masyarakat sana. Tapi hati kecil saya berbicara, kalau sebuah keluarga kehidupannya akan lebih baik, mudah-mudahan bisa turun temurun ke anak-anak mereka sehingga setidaknya mengurangi jumlah anak yang kurang gizi di sana. Amin.