Zaman single dulu, mungkin novel-novel bergenre chicklit menjadi bacaan wajib beberapa di antara kita. Nah, setelah jadi ibu, walaupun tetap suka membaca chicklit, tapi kalau saya, sih, suka merasa, “Ih, putus cinta saja sampa nggak bisa makan dan menikmati hidup! Try motherhood, darling” :D
Buah Hati Books beberapa bulan yang lalu merilis genre baru untuk para ibu yang disebut momlit. Edisi perdana dari momlit ini adalah karya Alexandra Silitonga berjudul Ibu-Ibu Anda. Sudah baca? Hah? Beluuumm?? *lebay*
Eh, tapi benar, lho, membaca buku ini sangat mempermainkan emosi dan membuat saya sering tercengang, “Wah, benar bangeeet ....” dan bahkan mendapat pelajaran dari buku ini.
Buku ini menceritakan tentang Anda (Alexandra) yang dibesarkan oleh tiga orang ibu, Anda berhasil merangkum kelebihan-kelebihan yang pernah ia dapatkan dari masing-masing ibu tersebut. Saat ini Anda sudah dewasa dan punya anak, dan di sela-sela kegiatannya, Anda terkadang teringat masa kecilnya dan menyadari bagaimana perasaan ibu saat menghadapi ia dulu.
Ada satu bagian yang saya ingat yaitu ketika putri dari Anda dewasa sakit dan tidak mau makan sama sekali. Anda berusaha menyediakan makanan apa pun tapi terus ditolak oleh si anak. It breaks her heart. Kejadian ini membuatnya teringat bahwa ia pernah mengalami hal serupa, namun ia di posisi anak dan ini membuatnya sadar, bahwa, ya, namanya orang sakit pasti lidah terasa tidak enak, kan?
Saya sempat mengirimkan email ke Mbak Alex, penulis buku ini, ibu dari Paragan Kevin Ezra Silitonga dan Karunia Samara Silitonga untuk bertanya-tanya mengenai momlit. Simak obrolan saya berikut ini, ya ....
Sebenarnya seluruh kisah yang ada dalam Ibu-Ibu Anda tidak ada yang fiktif. Namun beberapa bagian saya menuliskannya secara imajiner. Misalnya ketika Mami akan berangkat ke Jakarta atau ketika Mami beraktivitas di Tomohon. Namun tidak satupun yang rasanya masuk kategori fiktif :) Sehingga persentase kisah nyata dalam IIA boleh dibilang 99,99%.
Saya sempat tercenung, jari-jari yang siap mengetik terjebak dalam posisi tidak dapat bergerak di atas tuts iPad. Pertanyaan yang bisa dijawab dengan amat kompleks, namun juga bisa dibuat mudah. Tapi saya akan mencoba merangkumnya ya, Lit ...
Pelajaran terbesar buat saya;
Naluri keibuan yang amat melengkapi satu dengan yang lain. Seperti yang saya tulis di atas, Tuhan tahu bahwa saya butuh tiga ibu ;) Masing-masing ibu berperan dalam menyiapkan saya sehingga bisa berada di titik seperti sekarang ini. Mami, Mama ataupun Ma Ani pasti tidak pernah rapat untuk 'menciptakan' seorang Alexandra Silitonga. Tapi keberadaan mereka sungguh tepat kalau dituliskan sebagai berikut: The right mother, at the right time for the right role!
Tidak setiap anak lahir di tengah kondisi keluarga supersempurna. Termasuk saya. Idealnya, Mami masih ada sampai sekarang, mendandani saya waktu menikah, memegang perut saya ketika hamil muda, membuatkan penganan kesukaan cucu-cucunya, berkunjung ke Houston dan jalan-jalan di outlet berdua saya, menghadiri wisuda kedua cucunya, dan masih banyak lagi. Kenyataannya, saya harus lentur beradaptasi dengan keadaan yang 'kurang' ideal. Namun akhirnya saya mengerti bahwa pilihannya cuma bersyukur dengan latar belakang yang saya miliki. Saya juga memilih untuk mengibaskan sikap 'self-pity' dan fokus pada hal-hal yang dikaruniakan untuk saya.
Beberapa sms, email, dan BBM yang masuk memberikan masukan yang sangat positif. Saat ini buku IIA sudah berada di tangan beberapa teman di Houston, Madrid dan Austria (selain yang beredar di Indonesia tentunya). Di Madrid, buku ini dijadikan bacaan wajib untuk pelajaran Bahasa Indonesia bagi penutur asing yang diadakan oleh Dharma Wanita KBRI di sana.
Saya pernah berkata pada suami saya, Parada Devy Silitonga, kalau buku ini bisa membuat satu anak perempuan menjadi lebih sayang pada ibunya, atau sebaliknya; seorang ibu yang menjadi lebih welas asih pada sang anak, maka tercapailah yang ingin saya tuturkan.
Pasti! Bukan hanya buku-buku yang bertemakan tentang ibu, anak dan keluarga, tapi saya juga bercita-cita menerbitkan buku serial untuk para guru di sekolah-sekolah dasar, yang bisa dibagikan secara gratis. Semoga bisa segera menemukan sponsor yang memiliki visi dan idealisme yang sama dengan saya.
Ini ada sebuah puisi yang saya ambil dari buku ini dan terus terngiang sehingga membuat saya HARUS belajar bersabar atas semua hal.
Bunda sedang belajar menunggu
Menunggumu menyelesaikan makan siang saat sore mulai merayap
Menunggumu memunguti pakaian yang tersebar bak bukit kecil
Menunggumu selesai menangis karena kecewa
Bunda juga akan tetap belajar menunggu
dalam lelah bunda,
dalam kesal bunda,
dalam sibuk bunda,
dalam waktu bunda
Karena bunda tau, kamu pun pasti sedang belajar menunggu, kan?
Menunggu kapan saatnya harus meminta
Menunggu bunda mengerti apa yang kamu inginkan
Menunggu masa di mana bunda memahamimu
Menunggu kebersamaan yang selalu menanti di ujung hari
Menunggu pun ternyata harus dipelajari...
Huaaa… pengen pulang ;’)
*foto novel momlit diambil dari sini