Kemarin saya bertemu salah satu sahabat lama. Di tengah-tengah pembicaran mengenai pekerjaan dan program televisi, pembicaraan berujung pada anak juga keluarga. Sahabat saya ini, sebut saja namanya A, orangtua tunggal, memiliki anak usia 9 tahun bernama B. Ia menamakan dirinya sebagai ibu Sabtu-Minggu. Lah, kok?
Sejak kecil, A sudah meninggalkan B di Bandung karena pekerjaan. Selama hari kerja, B diasuh oleh neneknya dan baru bertemu sang ibu di akhir minggu. Kok bisa, ya, tahan berjauhan dengan anak? Percaya, deh, sahabat saya yang serba ceria dan happy go lucky ini terkadang menerawang rindu saat bekerja (kami pernah sekantor), berkaca-kaca saat melihat kawan lain bersama anaknya dan luar biasa gembira saat Jumat sudah datang. Selarut apa pun ia selesai bekerja di hari Jumat, ia langsung berangkat menuju pelukan si kecil tercinta.
“Ibu mana, sih, yang mau jauh-jauhan sama anaknya? Sembilan bulan saya bawa-bawa dia, pas lahir malah nggak ketemu setiap hari. Kami berbagi tubuh, darah saya mengalir di darahnya, masa iya saya memilih berjauhan?”, ujarnya emosional. “Di sana, pasti ada pekerjaan juga, tapi saya ingin yang terbaik untuk B, pendidikannya, kebutuhan material lainnya, makanya saya rela kerja jauh darinya agar bisa memberikan yang terbaik”.
Saya yakin, tak hanya A yang menjadi ibu Sabtu-Minggu, pasti banyak mommies lain yang mengalami hal serupa. Karena pekerjaan, studi atau hal lain sehingga memaksa mommies berjauhan dengan si kecil.
“Sedih nggak menurut kamu, saat saya pulang mau tidur sambil peluk anak, tiba-tiba dia bilang kalau dia mau tidur dengan neneknya," tanyanya sambil meneteskan air mata. “Tapi itu konsekuensi yang harus saya jalani, kalau saya bilang nggak boleh karena saya mau tidur dengannya, nanti dia sedih. Ya sudah, walaupun pedih, saya harus rela, apa pun yang penting dia bisa bahagia."
Pernah timbul di pikirannya untuk memboyong B ke Jakarta. Ia ajak B kalau liburan ke Jakarta, dibawa jalan-jalan keliling Jakarta, dan berkenalan dengan teman-teman A. Ketika ia menawarkan opsi itu, B menjawab, “Nanti kalau aku di sini (Jakarta, maksudnya) lalu ibu kerja, aku sama siapa?” Opsi pindah ke Jakarta makin mentah karena mencari pengasuh yang bisa dipercaya tidak semudah memindahkan sekolah. “Aku mau di Jakarta tapi sama nenek dan (B menyebutkan nama-nama sepupunya)." Sahabat saya ini pun kembali menangguhkan keinginannya, ia tak mau merenggut kebahagiaan B saat berkumpul dengan nenek dan sepupu-sepupunya.
Mungkin mommies ada yang bertanya-tanya, heran atau bahkan menghakimi A egois karena rela mengejar materi daripada bersama anak? Percayalah, jika kita tidak berada di posisinya, kita tak akan pernah bisa mengerti.
So mommies, apa pun kita menamai diri kita--ibu Sabtu Minggu, full time mom, stay at home mom, ibu sepanjang hari, 24 hours mom, working mom--you’re still the mother to your children. Kita pasti tetap menjadi ibu di hati anak-anak kita *berpelukan*