Setiap Ibu, terutama ibu bekerja pasti tidak tenang kalau meninggalkan anaknya di rumah hanya dengan ART/BS/pengasuh tanpa pengawasan dari orang kepercayaan kita, begitu juga dengan saya. Apalagi sekarang banyak sekali berita di media dan kisah nyata tentang ART/pengasuh yang ceroboh atau menyalahgunakan kepercayaan majikan sehingga menyebabkan anak asuhnya celaka, dianiaya bahkan ada yang sampai meninggal dunia. Miris sekali, ya, mendengarnya.
Saya adalah ibu bekerja yang bisa berada di luar rumah 8-12 jam setiap hari mulai Senin sampai Jumat, begitu juga dengan suami. Setiap hari kerja, Laras, anak saya yang berumur 3,5 tahun, ditinggal di rumah bersama pengasuh yang saya ambil dari sebuah yayasan. Kondisi seperti ini sudah berlangsung sejak Laras bayi, tapi dulu Laras juga ditemani ART yang menginap di rumah. Untuk saat ini, saya hanya dibantu ART yang pulang-pergi plus 1 pengasuh yang membantu menjaga Laras.
Mungkin ada beberapa mommies yang punya kondisi sama dengan saya, tapi mungkin ada juga yang lebih beruntung. Lebih beruntung maksudnya, mommies bisa menitipkan anak-anak selain ke ART/pengasuh, juga bisa minta tolong ke nenek/kakek atau saudara yang bisa lebih dipercaya untuk mengawasi mereka di rumah. Setidaknya orang kepercayaan kita itu bisa jadi mata dan telinga untuk kita, sehingga ART/pengasuh tidak dapat berbuat nyeleneh terhadap anak-anak. Terdengar parno ya? Tidak juga, sih, hanya lebih ke waspada saja.
Sebelum Laras lahir hal tersebut sudah dipikirkan oleh saya dan suami, bagaimana caranya agar kami bisa tetap mengawasi Laras dan pengasuhnya walaupun kami tidak di rumah. Walaupun waktu itu ada mertua yang tinggal sekota dengan kami, tapi tidak mungkin kami menitipkan Laras setiap hari, sedangkan ibu saya sendiri berada di luar kota. Bisa saja kami menitipkan ke tetangga, tapi kami pikir kami tidak ingin terlalu merepotkan mereka yang juga punya kesibukan masing-masing.
Akhirnya timbul ide untuk memasang sistem pengawasan menggunakan kamera yang bisa diakses oleh kami dari kantor atau yang biasanya disebut sistem CCTV. Kami mulai survei segala yang berhubungan dengan sistem CCTV tersebut, terutama tentang harga. Kemudian suami memutuskan untuk membangun sendiri sistem tersebut dengan maksud untuk lebih menekan biaya dan lebih memenuhi dengan apa yang kami butuhkan. Berhubung suami adalah orang yang punya latar belakang ilmu IT, maka kami memanfaatkan saja tenaga dan ilmu tersebut.
Sistem yang dibuat termasuk sederhana, tapi sudah mirip dengan sistem keamanan CCTV profesional. Kami hanya memanfaatkan laptop/netbook berkamera yang sudah ada, sebagai main cam dan sistem server. Kami juga menggunakan beberapa webcam mini yang harganya bervariasi mulai dari Rp 50.000–Rp 300.000 dan kami pasang di beberapa titik pada sudut-sudut rumah. Memang kualitasnya berbeda dan pasti berbeda juga dengan yang berharga jutaan, tapi buat kami, webcam dengan harga terjangkau sudah cukup. Hanya saja karena menggunakan webcam yang murah, kekurangannya adalah ketika ruangan gelap, gambar tidak akan jelas atau bahkan tidak kelihatan.
Sistem tersebut juga menggunakan aplikasi webcam based on IP gratis yang bisa di cari di internet, kemudian dimodifikasi agar sesuai dengan kebutuhan. Kebetulan sistem yang di pakai di rumah berbasis Linux, jadi digunakan perangkat lunak opensource gratis. Untuk OS Windows bisa juga, kok, menggunakan software gratis, bisa di cari di Google dengan kata kunci WebcamXP, namun gratisnya hanya untuk 1 kamera, jika lebih akan dikenakan biaya.
Setiap saat ketika sedang di kantor atau di jalan, saya dan suami bisa memantau keadaan di rumah melalui PC, laptop, maupun ponsel kami. Bahkan eyangnya Laras juga bisa ikut mengawasi juga dari rumah mereka. Sistem ini dilengkapi user ID dan password untuk tiap pengguna yang dapat mengakses tampilan gambar, sehingga tidak semua orang bisa mengaksesnya. Walaupun tidak dilengkapi dengan audio, tapi dengan gambar yang ada, kami sudah bisa memantau kegiatan Laras sehari-hari dan mengawasi pengasuhnya. Selain mengawasi Laras, kami juga setidaknya bisa tahu apakah ada orang asing yang keluar masuk rumah.
Saya tahu dengan sistem keamanan yang kami terapkan di rumah tersebut, tidak menjamin 100% keamanan yang diharapkan. Oleh karena itu, saya tetap menelepon Laras dan pengasuhnya minimal 3x sehari saat saya sedang di kantor/di luar rumah untuk mengetahui keadaan mereka. Saya juga menitipkan ke tetangga sekitar terutama sebelah rumah, untuk membantu mengawasi dan siap menelpon saya kapan saja. Harapan saya dan suami, dengan usaha yang sudah kami lakukan, ditambah dengan doa memohon agar Laras selalu dalam lindungan-Nya, hal-hal yang tidak diharapkan tidak terjadi atau setidaknya dapat diminimalisir. Saya juga menghimbau agar kita sebagai orangtua harus tetap waspada, jangan percaya 100% terhadap orang lain yang mengasuh anak kita. Mudah-mudahan tulisan ini dapat bermanfaat untuk mommies baik yang bekerja di luar rumah ataupun yang selalu bisa bersama anak-anaknya setiap saat di rumah.