banner-detik
DAD'S CORNER

Agar Suami Menjadi Ayah ASI

author

Ernest Prakasa06 Aug 2011

Agar Suami Menjadi Ayah ASI

Sudah menjadi pemahaman umum, bahwa laki-laki dan perempuan punya tugas yang berbeda. Ayah kerja, cari uang. Ibu urus anak. Dan dikotomi job description inilah yang membuat laki-laki, pada saat menjelang dan baru saja memiliki bayi, tidak sadar bahwa mereka seharusnya peduli.

Saya ulangi: laki-laki bukan tidak peduli, melainkan tidak sadar bahwa mereka seharusnya peduli.

Bila kita menggunakan istilah "tidak peduli", maka pengertiannya adalah mereka sudah mengetahui, tapi memutuskan untuk tidak melakukan apa-apa. That's not the case. Masalahnya adalah, sebagian besar bahkan tidak menyadari sama sekali "kenapa mereka harus melakukan sesuatu". Apalagi hingga ke tahap "apa yang harus dilakukan".

Menurut norma awam, mengurus bayi memang pada dasarnya adalah bukan domain utama ayah. Kalo mau dirunut, yang paling berwenang adalah: ibu si bayi; lalu dilanjutkan oleh ibu dari ibu si bayi. Dengan demikian, cukup bisa dimaklumi apabila banyak ayah yang "mundur" dan menurut saja. Ini bukan sebuah ketidakpedulian, melainkan lebih kepada "Sudahlah daripada malah tambah ribet". Ingin yang praktis.

Tingkat keterlibatan yang kasual inilah yang membuat laki-laki kehilangan rasa kritisnya. "Susu formula? Kayaknya semua orang juga kasih, harusnya sih tidak apa-apa, ya?", begitu mungkin pemikiran mereka. Belum lagi bombardir iklan, terutama di televisi, yang menendang ASI dari posisi "top of mind" kala orang mengingat soal susu bayi.

Jadi, bila berbicara tentang keterlibatan ayah dalam pemberian ASI, langkah awal tetap harus dimulai dari ibu. Oleh karena itu, berikut beberapa alasan yang bisa dikemukakan oleh ibu untuk meyakinkan ayah agar mendukung pemberian ASI:

1. ASI = cairan ajaib

Ayah waras manapun pasti ingin yang terbaik bagi bayinya. Itulah yang harus dijadikan "entry point" bagi ibu untuk meyakinkan bahwa ayah harus memilih ASI. Apalagi, laki-laki biasanya akan lebih bisa menerima alasan yang logis ketimbang emosional. Paparkan bahwa ASI itu adalah ciptaan langsung dari Tuhan. Sudah pasti, kandungan gizinya ideal. Sementara susu formula? Bukan hanya berasal dari sapi, namun telah melewati pemrosesan yang begitu panjang (dan belum tentu steril), hingga bisa sampai ke tangan konsumen. Masa iya masih tidak memilih ASI?

2. ASI = hemat

Berikan ilustrasi biaya yang bia dihemat dalam sebulan apabila tidak perlu membeli susu formula. Tentu ini adalah hitungan yang sederhana namun faktual. Tanpa membeli susu formula, uang yang ada bisa digunakan untuk keperluan yang lain.

3. ASI = tidak repot

Setelah seharian bekerja, ayah pasti akan letih apabila harus terbangun di tengah malam untuk membuatkan susu. Dengan ASI, ayah bisa istirahat dengan lebih tenang, karna sewaktu-waktu bayi terbangun, yang perlu dilakukan oleh ibu hanyalah langsung menyumpal mulut bayi dengan puting susunya. Praktis, bukan?

Tidak dapat dipungkiri, kesuksesan pemberian ASI lahir berkat kerjasama yang solid antara ibu dan ayah. Sayangnya, seperti pemaparan di atas, banyak ayah yg belum sadar ASI. Melalui tiga poin di atas, semoga ibu dapat membukakan pandangan ayah agar dapat menjadi partner ASI yang ideal. Good luck!

 

*Ernest Prakasa (@ernestprakasa) adalah bapak satu anak dan salah satu pengurus divisi komunikasi AIMI

*Foto breastfeeding father milik Pompidou (@wortje), peserta kontes Indahnya Masa Menyusui di forum Mommies Daily

 

Share Article

author

Ernest Prakasa

-


COMMENTS


SISTER SITES SPOTLIGHT

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan