Melihat potongan suami saya yang tinggi-hitam-besar (brewokan pula!), siapapun rasanya sulit percaya jika sosok seperti dirinya mampu mengurus seorang bayi, apalagi bayi newborn.
Tapi saat anak kami, Rakata (19 bulan) lahir, ini faktanya:
“Kok bisa?”
Banyak teman maupun saudara yang takjub melihat kepiawaian suami. Saya sih hanya nyengir saja jika ada yang bertanya.
“Ya iyalah jago, wong sebelum Rakata lahir, suami ikut kursus merawat bayi,” celetuk saya dalam hati.
Kursus merawat bayi? Yap, kursus ini biasa diadakan oleh beberapa RS, terutama RS bersalin dan RS ibu-anak. Saya dan suami ikut kursus di RSIA Tambak, Manggarai, Jakarta Selatan, meski kami bukan pasien di RS tersebut. Alasan memilih ikut di sini sederhana saja, karena setelah googling, sepertinya hanya di RS ini yang kursusnya bisa diikuti saat masih hamil. Sementara sebagian besar RS lain, rata-rata menunggu hingga sang ibu melahirkan.
Dulu, bulan Juli 2009, biaya per peserta Rp 30.000, dan satu kelas terdiri dari 30-40 peserta. Awalnya, sih, katanya kursus ini hanya ditujukan untuk calon ibu. Tapi, karena banyak calon ayah yang juga ingin ikutan, jadilah setiap kursus dibuka sebagian pesertanya adalah pria!
Anyway, dalam kursus yang berlangsung dari pagi hingga sekitar pukul 13.30 ini, peserta diajarkan berbagai hal dasar menangani bayi newborn. Mulai dari bagaimana cara mengambil bayi dari tempat tidur, cara menggendong, posisi menyusui yang benar, cara membuat bayi agar bisa berserdawa, mengganti popok, membersihkan tali pusar, langkah-langkah untuk memandikan, teknik memijat bayi, hingga gizi ibu menyusui.
Selama memberi materi, instruktur menggunakan alat peraga berupa boneka bayi—meski begitu, instruktur mewajibkan peserta untuk memperlakukan boneka layaknya bayi sungguhan. Suami saya sempat ‘diomeli’, karena saat hendak mempraktikkan cara memandikan, suami mengangkat ‘si bayi’ dengan menyeret kakinya duluan, hahaha.
Terlepas dari kesalahan-kesalahan lucu saat latihan, kursus ini lumayan mencerahkan dan terasa gunanya saat Rakata lahir.
Sebagai ibu baru—yang kelelahan setelah menjalani 9 bulan kehamilan dan sedang pemulihan setelah operasi caesar—saya merasa sangat terbantu saat suami berinisiatif 'mengambil alih' Rakata sebelum dan sepulang dia ngantor, agar saya bisa beristirahat.
Bahkan saat akhir minggu, suami sering memberi 'me time' dengan membebaskan saya dari segala tugas mengurus Rakata. Seandainya suami bisa menyusui, mungkin saja tugas menyusui juga akan diambil alih :P
Selain menguntungkan bagi ibu, setahu saya peran aktif ayah dalam merawat bayi juga berdampak positif—baik fisik maupun psikologis—bagi si bayi. Salah satunya, terjalin ikatan batin antara keduanya. Bagi ayah, masa-masa emas ini tentu jadi pengalaman berharga, karena nggak akan terulang jika anaknya sudah besar.
Suami saya mengakui, bahwa ikut kursus membuatnya jadi lebih pede dalam memegang Rakata. Di sisi lain, suami merasa bangga dan berguna karena ikut merawat langsung (bahkan sedikit sok karena menurutnya dia lebih jago dari saya dalam mengurus Rakata, hahaha).
Mommies tentu setuju dong, bahwa hari gini, tugas merawat bayi sudah bukan lagi menjadi kewajiban para ibu semata. Enak saja 'bikinnya' bareng, tapi cuma kita yang repot :D.