Sebelum menikah, saya pernah bekerjasama dengan ibu Elly Risman sebagai Board of Consultant untuk program televisi anak-anak pada channel tv kami. Saat pertama bertemu beliau, saya yang sedang hamil kerap dibuat berkaca-kaca mendengar omongan beliau tentang anak-anak (ehm, selain hormon, emang juga cengeng :D
Setelah melahirkan dan Langit mulai beranjak besar, banyak sekali omongan-omongan ibu Elly yang saya ingat. Contoh kecil, “Sudahkah kamu memeluk anakmu hari ini?” atau, “Namakan hal yang sedang dirasakan anak, seperti senang, sedih, kesal, dan seterusnya”. Dan Alhamdulillah,saya praktikkan hingga saat ini.
Sabtu 26 Februari lalu, supermoms-id menyelenggarakan sesi 1 dari rangkaian acara Seminar pengasuhan Anak bersama ibu Elly Risman. Materinya saat itu adalah Komunikasi Pengasuhan Anak. Mungkin banyak yang mikir ya, “ah masa masalah komunikasi dibikin seminar sendiri. Masih kecil gitu loh, anak gue..” atau "masa ngomong aja mesti diatur sih?". Tapi begitu dijembreng sama ibu Elly masalah komunikasi dengan anak ini, langsung banyak mommies (dan para ayah) peserta seminar yang ‘tertampar’. Apa saja sih, ini kita catat poin-poinnya:
Berbicara dengan terburu-buru, bahkan melakukan segala sesuatu dengan terburu-buru. Banyak mommies (dan ayah) yang berangkat kerja terburu-buru sehingga kalaupun berkomunikasi dengan anak pasti hanya menyuruh dan menyuruh. Kalau yang saya pelajari di ilmu komunikasi sih, yang namanya komunikasi itu dua arah bukan? *plak, tertampar sendiri*
Tidak mengenal diri sendiri. Saya mencoba menjabarkan tentang diri saya sendiri, ternyata lebih mudah untuk mencari kekurangan ya daripada kelebihan (apa karena nggak punya kelebihan, hihihi). Ini karena sedari kecil kita dibiasakan melihat atau mendengar yang jelek-jelek, misalnya “Kamu nakal sekali”, “Aduh, bawel banget”, “Anak perempuan kok males”, dst dsb dkk.. Dengan mengenali diri sendiri maka rasa percaya diri akan meningkat, jangan lupa kenali anak dan pasangan juga, dari situlah komunikasi akan terbuka.
Setiap pribadi itu unik dan berbeda. Ini penting banget, kita kalau dibandingkan sama teman kantor atau ipar pasti sebel kan? Nah, begitu juga anak loh! Jangka panjangnya, anak akan menjadi krisis identitas (atau malah over kompetitif) karena dibanding-bandingkan terus yang membuatnya tidak bisa mengenali dirinya sendiri sejak kecil.
Bedakan antara keinginan dan kebutuhan. Yah, yang ini mirip-mirip sama kalau mommies naksir tas atau sepatu kali ya, hihihi… Ini mah kasus saya sendiri deh, setiap malam itu pasti kaya orang berantem kalau nidurin Langit. Saya ingin Langit untuk tidur cepat karena besoknya ada acara keluarga, sementara Langit ya butuh main-main dan main karena memang anak-anak butuh main.
Baca bahasa tubuh anak. Kalau anak lagi lari-lari terus jatuh, yang umum sih suka kelepasan ya ngomong “tuh kan, ibu bilang apa? Makanya jangan lari-larian!” Padahal bahasa tubuh anak sudah menunjukkan bahwa ia kesakitan, butuh dipeluk ditenangkan ya, bukan dimarahi :) Bahasa tubuh seseorang (bahkan kita juga) nggak akan bisa bohong. Karena bahasa tubuh itu terbentuk dari perasaan seseorang terhadap sesuatu. Kata ibu Elly, baca bahasa tubuh anak dulu, maka kamu bisa memahami/mendengarkan perasaannya.
Ada 12 gaya bahasa popular turun temurun yang kerap dilontarkan orangtua pada anaknya, baik sengaja maupun tidak sengaja. Dibawah ini ceritanya situasi anak lagi lari-larian terus jatuh. Nah, yuk kita contreng mana saja yang mommies lakukan ya, hehehe…
Memerintah, “Jangan lari-larian dong!”
Menyalahkan, “Tuh kan jatuh, lagian nggak bisa diem banget sih”
Meremehkan, “Masa gitu saja nangis?”
Membandingkan, “Tuh lihat si A nggak nangis loh!”
Mencap/ memberikan label, “Kamu nakal sih”
Mengancam, “Nangisnya sudah dong, nanti ibu panggilin dokter nih biar disuntik”
Menasehati, “Makanya omongan orangtua itu didengerin”
Membohongi, “Sipakein obat ini nggak sakit kok”
Menghibur, “Nggak apa-apa kok, besok juga sembuh lukanya”
Mengkritik, “Kamu pake sendalnya yang itu sih, kan licin pantesan saja jatuh”
Menyindir, “Ini akibatnya kalo nggak dengerin orangtua, kualat kan”
Menganalisa, “Gimana nanti kalo udah gede coba, pasti susah dibilangin”
Bedakan masalah siapa. Misalnya, anak menelpon kerumah karena PR-nya ketinggalan. Apakah mommies mengantarkan PR atau tidak? Pahami ini masalah siapa, kenapa anak bisa ketinggalan buku PR-nya? Jika kita mengantarkan bukunya, sama saja kita tidak mengajarkan tanggungjawab karena PR kan berarti tanggungjawab anak, bukan kita. Bukan berarti jahat loh moms, tapi anak harus belajar mandiri dan bisa mengambil keputusan sendiri, karena kita tidak akan hidup selamanya untuk mendampingi anak.
Sampaikan pesan SAYA, bukan KAMU. Misalnya anak nggak mau makan, biasanya yang akan terucap adalah, “kamu makan dong, nanti sakit, laper, blablabla…” kita ubah jadi gini saja moms, “Ibu sedih/kesal/sebel deh, kalau kamu nggak makan”. Dengan perubahan susunan kalimat ini, anak tidak merasa disalahkan atas kelakuannya, tapi akan tau bahwa tindakan nggak mau makannya ini membuat si ibu sedih/kesal/sebal.
Dengarkan anak secara aktif. Ingat tulisan Hanzky tentang have you been listening with your eyes? Beruntung saya punya ibu yang mau mendengarkan saya, makanya ibu bagi saya juga sekaligus seorang teman curhat. Mudah-mudahan saya bisa seperti itu sampai nanti Langit dewasa.
Nah kan, siapa bilang ngomong itu gampang? Yuk kita ubah pelan-pelan demi kebaikan si kecil. Bagi saya pribadi, catatan ini pengennya sih, nggak hanya saya terapkan untuk anak, semoga bisa diterapkan untuk sehari-hari. Sampai jumpa di Seminar Pengasuhan Anak sesi berikutnya dengan tema Mendidik Anak Dengan Cinta dan Logika ya, moms!
a