Sorry, we couldn't find any article matching ''
Ada Sekolah Ibu, Harusnya Juga Ada Sekolah Bapak!
Supaya adil, idealnya Sekolah Bapak juga harus ada. Karena orangtua terdiri dari, Ibu dan Bapak.
Image: by Derek Thomson on Unsplash
Pengadaan Sekolah Ibu yang diutarakan Hengky Kurniawan, Wakil Bupati Bandung Barat, di akun Instagramnya @hengkykurniawan, 27 Desember lalu terus mengundang polemik. Ini dia postingan Hengky, yang memancing netizen bereaksi keras:
“Dari 5 - 30 November 2018, Kasus perceraian di KBB sebanyak 244 Kasus. Kalo di rata2 berarti setiap harinya ada 9 - 10 orang yang mendaftarkan perceraian. Ini menjadi masalah yang serius bagi kami Pemerintah Kabupaten Bandung Barat. InshaaAllah di tahun 2019 kami meluncurkun Program “ Sekolah Ibu “. Tujuan didirikanya sekolah ibu untuk memberikan pemahaman tentang berumah tangga, bagaimana menghadapi suami, bagaimana berkomunikasi dengan anak - anak kita yang beranjak dewasa, dan banyak materi lainya yang nanti akan diajarkan di sekolah ibu. InshaaAllah “ Sekolah ibu “ tidak akan membosankan. Ibu - ibu makin sayang suami, kompak dengan anak, dan tentunya keluarga akan lebih bahagia. InshaaAllah…. @aa.umbara @ridwankamil @humas_kbb@bimaaryasugiarto”.
Lalu ditambahkan catatan berikut ini, persis setelah penyebutan akun Bima Arya Sugiorto. Setelah postingannya menuai ribuan komentar:
“( note : tidak ada yang menyalahkan ibu dalam kasus perceraian. Program sekolah ibu berhasil menekan angka perceraian di kota Bogor. Seperti yang Kang Bima sampaikan ke saya waktu study banding. Ibu2 yg tadinya menuntut cerai suaminya akhirnya menarik gugatan cerainya setelah mengikuti sekolah ibu. Tentu ini program baik yang bisa kita contoh. Pematerinya dari kalangan profesional, psikolog, dosen, profesor, polwan, wanita karier yg sukses. Dan program ini mendapatkan apresiasi dari Bapak Gubernur. Bila ada yg salah dalam pemahaman atau kurang berkenan, mohon dimaafkan ) Haturnuhun...”
Mungkin niat Wakil Bupati Bandung Barat baik, TAPI SALAH SASARAN! Karena pengadaan Sekolah Ibu, menurut kami para perempuan, sama saja membebankan proses menciptakan rumah tangga yang bahagia hanya di pundak perempuan. Sementara anggota keluarga inti, isinya masih Ibu, Bapak dan Anak, kan? Semua elemen tadi idealnya harus kerja sama dong, kalau mau keluarganya sejahtera, bahagia, dan apapun itu labelnya yang ujung-ujungnya berdampak baik dengan tumbuh kembang anak.
Anda menulis seperti ini: “Tujuan didirikanya sekolah ibu untuk memberikan pemahaman tentang berumah tangga, bagaimana menghadapi suami, bagaimana berkomunikasi dengan anak - anak kita yang beranjak dewasa, dan banyak materi lainya yang nanti akan diajarkan di sekolah ibu”. Jadi suami nggak butuh ilmu untuk menghadapi kami para istri? Ngak butuh kiat gimana komunikasi dengan anak-anak? dan nggak butuh tuh tahu pengertian komprehensif apa itu berumah tangga? Coba berikan penjelasan tentang kalimat-kalimat anda ini, yang saya pikir tidak didahului dengan penelitian yang valid!
Sementara data konkret berbicara:
-Komnas Perempuan Indonesia mengungkapkan terdapat 259.150 kasus kekerasan atas perempuan, selama 2016. 245.548 berakhir dengan perceraian. (Sumber: BBC.com)
Lalu seorang netizen atas akun @husnamarh juga membeberkan data di kolom comment Hengky (sebelum ia tutup fitur ini), di antaranya:
-Tahun 2017, dari total kasus perceraian 71% diajukan oleh pihak perempuan karena kasus poligami (1596).
-Tahun 2014, tercatat 9 juta perempuan berperan sebagai kepala keluarga karena suami melepaskan tanggung jawabnya.
Dari data-data di atas, solusi dari kami: Selain Sekolah Ibu, sebaiknya juga ada Sekolah Ayah, karena rumah tangga layaknya tim. Semua wajib punya ilmu yang setara. Kalau timpang, hanya ibu saja yang padat ilmu, lalu ayah ketinggalan sekian level di belakang. Yang terjadi, ya data-data di atas, bisa jadi terus meningkat setiap tahun.
Contohnya, hal ini pernah terjadi di lingkungan pertemanan saya – hanya istri yang pandai komunikasi, terus suami DIAM. Padahal istri sedang ngajak ngobrol baik-baik. Yang ada suami dengan entengnya pergi dari rumah, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Ya, roda rumah tangga tidak akan berjalan harmoni.
Belum lagi perkara poligami yang bikin banyak perempuan meringis. Bilangnya akan adil, tapi izin saja tidak. Malah nekat meninggalkan si istri pertama, berserta keluarganya, tak peduli urusan nafkah yang masih melekat jadi kewajiban para ayah. Silakan tinjau ulang dengan riset yang mendalam, “Apakah efektif pengadaan Sekolah Ibu ini?”. Jika masih banyak kasus seperti demikian.
Solusi selanjutnya: Menggalakkan Sekolah/Pendidikan Pranikah. Menurut Anna Surti Ariani, S.Psi, M.Si, Psi, Pendidikan Pra Nikah merupakan sebuah usaha untuk menyadarkan para calon mempelai bahwa ada banyak konsekuensi setelah menikah yang akan dihadapi. Banyak tanggung jawab yang dimiliki.
Apa konsekuensi dari sebuah pernikahan? Bahwa banyak yang akan kita ‘korban’ kan, mulai dari berkorban waktu, berkorban secara finansial hingga berkorban energi. Pada akhirnya kita akan memiliki pasangan, memiliki keluarga besar dan memiliki anak, yang kalau kita merasa tidak cocok atau nyaman dengan semua konsekuensi itu, kita tidak bisa mundur begitu saja dengan mudahnya. Nah, pendidikan Pra Nikah akan mengajak kita untuk siap secara mental dengan semua konsekuensi tersebut.
Ada tiga konsep dasar pengenalan dari pendidikan pranikah: pengenalan diri sendiri, pengenalan pasangan dan pengenalan tentang interaksi antara suami dan istri. Nah, kan, pakarnya saja gamblang memaparkan, pasangan suami istri itu wajib berinteraksi. Ada dua arah komunikasi. Jadi secara logika sederhana, dua-duanya butuh belajar berkomunikasi dengan baik.
Parenting not a one-person job. It takes two to tango!
Share Article
POPULAR ARTICLE
COMMENTS