Gagal SBMPTN, Tak Perlu Paksa Anak Kuliah

Preteen & Teenager

annisast・05 Jul 2018

detail-thumb

Beberapa hari ini timeline media sosial dipenuhi kegalauan calon mahasiswa yang tak lolos SBMPTN. Jika anak mommies bernasib serupa, mungkin saatnya untuk memikirkan gap year?

gap-year

Gap year atau menunda kuliah hingga tahun ajaran berikutnya memang belum populer di Indonesia. Padahal selama satu tahun itu, anak bisa mendapat banyak pengalaman yang jadi “modal” untuk ia menentukan jurusan kuliah kelak.

Di Amerika, gap year mulai jadi tren setelah anak Presiden Obama, Malia menunda satu tahun masuk Harvard. Selama satu tahun itu, Malia magang dan mencari pengalaman sebanyak mungkin.

Awalnya Malia magang di kantor kedutaan besar Amerika di Spanyol karena ia fasih berbahasa Spanyol dan ingin melihat kondisi politik Amerika dari sana. Ia kemudian menghabiskan 3 bulan di Bolivia dan Peru untuk trekking dan camping yang berfokus pada isu konservasi lingkungan.

Setelah itu ia magang beberapa bulan lagi di rumah produksi Weinstein Company. Dari politik, isu lingkungan, sampai dunia hiburan di lingkup profesional dalam satu tahun. Menarik sekali kan?

Ya tentu pengalaman yang dicari tak perlu sefantastis Malia yang anak presiden ya. Mommies bisa memulai dari minat anak dan menentukan kantor mana yang kira-kira bisa menerimanya sebagai anak magang.

Contoh, anak senang dunia broadcasting dan ingin jadi jurnalis TV. Kemudian sebetulnya bingung apakah harus mengambil jurusan Jurnalistik atau justru jurusan Televisi dan Film? Meski mirip, keduanya punya mata kuliah yang jauh berbeda lho.

Jangan lupa buat jadwal, dalam satu tahun kira-kira akan magang di mana, variasikan industrinya sesuai minat anak. Bisa di kantor TV, di kantor media online, atau justru ambil bagian dalam produksi film. Banyak  kantor yang mau menerima karyawan magang yang belum punya pengalaman sama sekali.

Seperti kantor saya dulu, banyak anak magang yang sedang mengambil gap year. Rata-rata karena saya kerja di kantor media, mereka berniat untuk kuliah jurnalistik namun ragu karena belum tahu bagaimana sih sebetulnya kerja menjadi jurnalis? Apa yakin seumur hidup akan jadi jurnalis?

Terjun langsung ke lapangan dan merasakan sendiri liputan jadi patokan untuk meyakinkan diri. Jika tak suka, ya jangan kuliah jurnalistik, jadi tak akan terbuang biaya dan waktu kuliah. Buat juga perjanjian dengan anak, gap year ini harus jadi tahun belajar yang produktif dan bukannya hanya leyeh-leyeh di rumah.

Karena saya merasakan sendiri banyak teman-teman yang kuliah asal masuk saja. Asal memilih jurusan (karena yang penting kuliah), tidak peduli apakah jurusan kuliah itu memang passionnya atau bukan. Kuliah dilewati berdarah-darah karena tak suka pada mata kuliahnya, lulus kuliah semakin bingung karena mau kerja apa? Kerja sesuai jurusan kuliah kok ya nggak suka? Ujung-ujungnya kerja di bank. :)

Sounds familiar?

Internship, jadi volunteer kegiatan sosial, sambil belajar saat gap year kembali bisa mendewasakan anak dan memperluas networking-nya.

Suka tidak suka, tempat kuliah itu menentukan tempat kerja lho. Meski secara teori banyak kantor yang mengaku hanya melihat kompetensi orang, masih banyak pula yang mencantumkan “graduate from reputable university” sebagai salah satu syarat penerimaan karyawan.

Jadi jika anak mommies belum lolos SBMPTN, jangan kecil hati atau terburu-buru dan memaksa anak kuliah di kampus swasta atau masuk jalur mandiri. Mungkin ini saatnya untuk memikirkan ulang passion anak dan mencemplungkannya dulu di dunia profesional.