Mengapa Alergi Pada Anak Meningkat?

Health & Nutrition

Mommies Daily・26 Nov 2015

detail-thumb

Ditulis oleh: Nayu Novita

Selain faktor turunan, ternyata jarangnya anak-anak bermain di luar rumah dicurigai sebagai salah satu faktor pemicu meningkatnya alergi. Kok bisa?

Lewat obrolan dengan teman-teman sesama mommies, saya jadi ngeh kalau belakangan ini kasus alergi di kalangan anak-anak semakin sering terjadi. Mulai dari alergi susu sapi (yang dulu pernah dialami si kakak ketika masih bayi), alergi makanan laut, alergi debu, alergi pada udara dingin, dan masih banyak lagi jenisnya. Untungnya sih, di antara sekian banyak kasus alergi yang singgah ke telinga, reaksinya masih terbilang ringan—yaitu gatal-gatal, pilek, juga perut kembung atau diare ringan.

Soalnya, menurut sebuah artikel yang pernah saya baca, reaksi alergi yang parah bisa sampai membuat seorang anak mengalami bengkak hebat pada saluran pernapasannya. Kalau penapasan sampai terganggu seperti ini, yaa.. jelas-jelas akibatnya bisa fatal kalau sampai tidak mendapat penanganan yang tepat! Berhubung heran dengan bertambah banyaknya jumlah kasus alergi di kalangan anak-anak, saya bertanya tentang hal ini pada dr. Kartikaningsih, Sp.A dari RSIA Carolus, Summarecon Serpong.

Alergi meningkat pada anak

*Gambar dari sini

Meningkat selama 20 tahun terakhir

Meski belum ada data pasti tentang jumlah kasus alergi pada anak-anak di Indonesia, tetapi jumlah pasien anak yang datang karena keluhan alergi kian bertambah dari waktu ke waktu. Kalau sedang antre di ruang praktik dokter anak, coba deh ngobrol dengan sesama orangtua di sana. Kemungkinan ada salah satu di antara anak mereka yang punya riwayat alergi. Bukan cuma di Indonesia, peningkatan kasus alergi ini ternyata juga dialami oleh anak-anak di seluruh dunia selama kurun waktu 20 tahun belakangan.

Sayangnya, sampai saat ini belum jelas apa yang menyebabkan jumlah anak penderita alergi meningkat. Satu hal yang pasti sih, risiko alergi bisa diturunkan dari orangtua ke anak. Jika salah satu dari orangtuanya mengidap alergi, maka risiko anaknya terkena alergi adalah 25%. Tetapi jika kedua orangtuanya mengidap alergi, maka risiko “warisan” alergi pada anak bisa meningkat sampai 50%.

Pengaruh gaya hidup dan lingkungan

Selain karena faktor genetik, para pakar kesehatan di dunia juga curiga bahwa perubahan gaya hidup dan kondisi lingkungan ikut mempengaruhi peningkatan jumlah kasus alergi. Salah satunya adalah menurunnya jumlah anak-anak yang bermain di luar rumah. Kok bisa?

Penjelasannya sederhana saja. Anak-anak yang terlalu sering berada di dalam ruangan akan kurang mendapatkan paparan vitamin D dari sinar matahari. Padahal, asupan vitamin D yang cukup amat mempengaruhi kerja sistem imunitas tubuh—yang juga turut menentukan reaksi tubuh terhadap zat-zat yang biasanya memicu alergi. Yuk, lebih sering mengajak si kecil main di luar rumah.

Bukan cuma itu, jarangnya bermain di luar ruangan juga mengakibatkan anak kurang sering bersentuhan dengan tanah, debu, dan kotoran lain yang secara alami bisa ditemukan di alam. Akibatnya, sistem kekebalan tubuh menjadi terlalu sensitif jika sekali waktu mendeteksi keberadaan tanah dan debu, sehingga mengakibatkan reaksi alergi.

Mau tahu cara mendeteksi dan pengobatannya?

ASI eksklusif & makanan bergizi

Faktor lain yang juga diduga ikut memicu peningkatan kasus alergi adalah polusi dan jenis makanan yang sekarang ini kian beragam jenisnya. Dulu, variasi jenis makanan yang beredar di pasaran tidak sebanyak sekarang, sehingga paparan anak terhadap zat yang menyebabkan alergi juga lebih sedikit.

alergi meningkat pada anak

*Gambar dari sini

Makanya, untuk mencegah munculnya serangan alergi, para ahli amat menganjurkan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan. Selain mengandung berbagai nutrisi yang diperlukan bayi, partikel-partikel ASI juga lebih bersahabat pada sistem pencernaan si kecil yang masih belum terbentuk secara sempurna.

Bukan cuma itu, sejak anak masih di dalam kandungan, ibu hamil juga disarankan menyantap makanan bergizi seimbang. Terutama, membatasi konsumsi karbohidrat dan lemak. Soalnya, konsumsi karbohidrat dan lemak berlebihan bisa memicu munculnya peradangan di dalam tubuh. Peradangan ini bisa memicu reaksi sistem imunitas tubuh yang lebih “heboh” dari biasanya, salah satunya reaksi alergi.

Cara mendeteksi & pengobatannya

Untuk menghindari reaksi alergi, cara yang paling mudah (meskipun dalam praktiknya seringkali jauh dari mudah) adalah tentu saja menjauhi faktor-faktor yang menimbulkan reaksi alergi. Supaya tahu pasti apa saja yang menjadi penyebab alergi, perhatikan tanda-tanda alergi yang mungkin timbul dan ada beberapa jenis tes yang bisa dilakukan, yaitu:

  • Skin prick test. Tes ini dilakukan dengan menusukkan jarum untuk memasukkan setetes larutan yang mengandung alergen pada kulit.
  • Intradermal test. Dalam tes ini, sejumlah kecil alergen disuntikkan ke dalam kulit. Tes intradermal lebih sensitif dibandingkan skin prick test.
  • Skin patch test. Untuk jenis tes ini, alergen ditempatkan pada sejenis plester yang ditempelkan ke kulit selama 24-72 jam.
  • Blood test. Tes ini dilakukan dengan cara mengambil sampel darah untuk kemudian dideteksi keberadaan antibodi di dalamnya. Di antara berbagai jenis tes yang ada, tes darah memberikan hasil yang paling akurat.
  • Kalau sudah berhasil dideteksi, lantas bagaimana cara mengobatinya? Untuk saat ini, belum ada satu jenis terapi pun yang dianggap sukses 100% menghapuskan reaksi alergi. Tapi, banyak reaksi alergi akan menghilang dengan sendirinya seiring waktu—meski tak sedikit pula dia ntaranya yang menetap hingga usia dewasa.

    Sekarang ini, para pakar kesehatan sedang mengembangkan imunoterapi, yaitu terapi imunitas terhadap penderita alergi. Mirip dengan pemberian vaksin, imunoterapi dilakukan dengan cara memberikan zat pemicu alergi dalam dosis tertentu melalui suntikan atau diletakkan di bawah lidah. Dengan cara ini, tubuh anak dilatih untuk terbiasa menghadapi zat pemicu alergi. Tapi dengan catatan, terapi ini tidak bisa dilakukan secara sembarangan, melainkan harus di bawah pengawasan dokter. Dengan kata lain, jangan coba melakukannya sendiri di rumah, ya mommies...