Sorry, we couldn't find any article matching ''
Jangan Asal Komentar
Mommies yang baru kembali bekerja lagi setelah cuti melahirkan biasanya perasaannya rada sensi. Jadi, pastikan Anda jangan mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti berikut ini kepada mereka.
Kemarin ada salah satu sahabat saya yang misuh-misuh di whatsapp grup. Rupanya, dia merasa jengkel lantaran ada rekan kerjanya yang melemparkan komentar yang bikin kupingnya panas.
"Nyebelin banget, deh, kemarin ada temen yang tanya, “Di rumah anak loe sama siapa? Nggak takut dia lebih dekat sama pengasuhnya? Gue, sih, kalau jadi elo lebih baik resign aja, dari pada anak gue jadi anaknya si mbak di rumah.”
Curhatan sahabat saya ini jelas mengundang komentar seisi grup. Reaksinya pun sangat beragam. Ada yang ikutan nyolot, tapi tidak sedikit juga yang menanggapinya dengan kepala dingin lewat kalimat-kalimat yang positif.
Mengingat kita hidup di lingkungan sosial dengan berbagai latar belakang karakter, wajar rasanya kalau kita menjumpai segelintir orang yang bisa membuat kita nggak nyaman. Orang-orang seperti ini memang bisa muncul kapan saja, di mana pun dan bisa menebarkan aura negatif yang melemahkan. Mau dihindari? Ya, nggak mungkin, ya... kita kan memang tidak bisa mengontrol kalimat yang akan diucapkan seseorang.
Ya, mungkin orang dengan tipe seperti ini nggak sadar kalau perempuan yang kembali bekerja setelah cuti hamil tentunya tidak menjalani proses yang mudah. Dan sebenarnya punya harapan kalau lingkungan sekitar akan memberikan susana yang kondusif.
Curhatan sahabat saya ini bikin saya me-rewind peristiwa 5 tahun lalu, di mana saya pun sempat dibanjiri pertanyaan yang kurang mengenakkan. Meskipun dongkol mendengar pertanyaan seperti itu, saya tetap berusaha menjawab dengan kepala dingin.
Memang, sih, kondisi perempuan yang baru melahirkan sangat sensitif, tapi percaya, deh, untuk urusan yang satu ini kita nggak perlu terbawa suasana. Walau pun kesal, komentar mereka nggak perlu kita tanggapi secara serius. Bukannya menemukan kesamaan pola pikir, percakapan jutsru bisa berputar-putar.
Berhubung saya tipe orang yang blak-blakan, saya akhirnya memilih untuk mengatakan perasaan saya. Bahwa saya tidak nyaman dengan komentar yang seperti itu. Kuncinya, bicarakan perlihal ini secara langsung, dengan bertatap muka. Biar bagaimana pun, saya sangat percaya bahwa komunikasi dengan body language jauh lebih baik.
Ternyata hampir semua teman-teman saya punya pengalaman yang serupa. Setelah menyusun beberapa langkah untuk bisa kembali berkerja dengan nyaman, gangguan yang paling besar ternyata justru datang dari faktor eksternal. Yaitu, mendengar komentar yang bikin kita nggak nyaman (Kalau nggak mau dibilang nyinyir).
Lewat obrolam bersama beberapa teman dekat, saya bisa menyimpulkan bahwa ada beberapa hal yang sangat sensitif dan tidak patut untuk ditanyakan pada ibu baru yang akhirnya kembali bekerja. Apa saja?
Komentar soal ASI VS Susu Formula
“Anaknya ASI atau Sufor?”
“Kenapa pakai sufor, ASI nggak keluar, ya. Udah usaha belum supaya ASI keluar?”
Saya yakin 99%, kalau semua mommies pasti sudah sadar dan paham kalau ASI adalah nutrisi terbaik untuk anak-anaknya. Lah wong, ASI itu paling murah, nggak butuh modal untuk membelinya. Sangat ringkes karena nggak perlu bawa botol ke mana-mana, nggak perlu proses steril ataupun cuci botol. Tapi, percaya, deh, jika ada orangtua terpaksa memberikan penggantinya, pasti ada alasan di balik semua itu. Yang pasti persoalan ini sangat sensitif dan rasanya nggak akan habis-habisnya untuk diulas. Never ending stories-lah.
Komentar soal pengasuh
“Yakin, tuh, ninggalin anak sama suster seharian?”
“Nggak takut, anak lebih nempel sama suster karena bukan ibunya yang asuh setiap hari?”
Selain soal ASI, komentar yang satu ini juga sangat sensitif. Namanya juga seorang ibu, pasti akan berat meninggalkan buah hatinya di rumah. Jika memang akhirnya harus meminta bantuan orang lain seprti suster, kenapa tidak? Sah-sah saja, kok. Toh, bonding bisa diciptakan meskipun seorang Ibu bekerja kantoran. Percuma juga kalau ada di rumah setiap saat tapi mata selalu tertuju pada smartphone. Jadi, masih mau komentar soal ini?
Komentar soal penghasilan
“Ya, ampun... masih kerja juga? Memang belum cukup ya gaji suami bikin dapur ngebul?.”
“Kita kan perempuan, ada suami. Apa salahnya kita kembali ke kodrat sebagai ibu. mengasuh dan mendidik langsung anak kita sendiri.
Wah, kesal nggak, sih, kalau mendengar komentar di atas? Komentar miring ini sempat mampir ke telinga dua teman saya. Padahal kalau ngomongin soal penghasilan, ini kan benar-benar privacy, ya? Bukan ranah yang perlu diketahui publik. Lagi pula, saya sendiri menganut paham bahwa dengan bekerja kita bisa merasakan banyak manfaat. Penelitian juga menunjukkan, anak-anak dari ibu yang bekerja lebih baik dalam mengelola sesuatu, lebih mandiri, dan memiliki kemampuan untuk menyelesaikan tugas dengan baik.
Komentar soal berat badan
“Ya... ampun kok sekarang badannya besar sekali?”
“Sudah turun berapa kilogram setelah melahirkan?”
“Nggak ada rencana diet untuk turunin berat badan?”
Jangankan perempuan yang baru saja melahirkan, komentar seperti ini pasti juga sangat sensitif buat perempuan di mana pun. Masalah nurunin berat badan pasca melahirkan tentu nggak akan mudah. Sekalipun kalimat seperti ini diajukan sebagai bahan candaan, tapi pecaya, deh, lebih baik JANGAN singgung masalah ini.
Komentar soal performa kerja
"Saya harap, komitmen kamu dalam bekerja tidak menurun setelah memiliki seorang bayi".
Percaya nggak percaya, ternyata salah satu teman saya pernah mendapat komentar seperti ini di hari pertama ia kembali bekerja. Miris, nggak, sih, mendengarnya? Padahal, ibu bekerja itu kan butuh dukungan dari lingkungan kantor. Apalagi bagi busui yang perlu rutin pumping ASI.
Jadi, mari tahan sedikit komentar usil menjurus ke nyinyir yang mungkin selama ini sering kita ucapkan.
Umh, ada yang mau menambahkan nggak, hal apa lagi yang sebaiknya tidak perlu diucapkan pada ibu baru yang kembali bekerja?
Share Article
POPULAR ARTICLE
COMMENTS