Pengurangan Jam Kerja Untuk Ibu; Yay or Nay?

#MommiesWorkingIt

nenglita・28 Nov 2014

detail-thumb

Mommies ada yang sudah mendengar kabar mengenai Wakil Presiden Jusuf Kalla yang melontarkan ide pengurangan jam kerja untuk pekerja perempuan terutama yang sudah menjadi ibu?

woman_clock

Saya yakin banyak Mommies yang bersorak gembira atas wacana ini, bukan begitu? Buat ibu bekerja seperti saya ini, setiap hari penginnya pulang lebih cepat. Seperti beberapa kali saya ungkapkan, sejak Langit duduk di bangku SD, saya selalu berusaha jam 5.30 teng pulang dari kantor. Hal ini tak lain untuk mengejar waktu yang terasa semakin panjang untuk dihabiskan di perjalanan.

Kebayang nggak kalau wacana ini diwujudkan? Wuih, jam 3.30 saya sudah di perjalanan pulang! Sebelum matahari terbenam, saya sudah bisa bergabung dengan anak saya. Pasti banyak hal yang bisa kami lakukan bersama. Bisa masak makan malam bareng, bisa membantunya belajar lebih lama nggak keburu-buru karena Langit ngantuk, bisa olahraga sore, ah rasanya banyak deh, rencana-rencana yang bisa diwujudkan kalau jam kerja berkurang.

Tapi sebenarnya apa sih yang diinginkan ibu bekerja? Apakah pengurangan jam kerja menjadi hal yang mereka utamakan? Apakah ini yang saya inginkan? Kita bahas yuk si halaman selanjutnya!

Coba cek infographic di bawah ini:

MOMS-AT-WORK-570

Ternyata yang paling banyak diinginkan oleh ibu adalah jam kerja yang fleksibel. Bukan pengurangan jam kerja.

Dengan jam kerja yang fleksibel, ibu bekerja bisa memerah ASI 2 jam sekali di kantor. Saya ingat cerita seorang teman yang terpaksa menyerah pada kondisi, karena di kantornya ia tak diperbolehkan ke mana-mana 2 jam sekali, termasuk memerah ASI. Saat anaknya berusia 5 bulan, stok ASI-nya menipis, perah hari ini untuk besok, sampai akhirnya habis sama sekali.

Jika kondisi bekerjanya fleksibel, saya rasa teman saya ini bisa memenuhi hak anaknya untuk disusui secara eksklusif selama 6 bulan. Ya nggak?

Dengan jam kerja yang fleksibel, seorang ibu tak harus mengambil hak cutinya jika anaknya sakit atau mengambil rapor anak.

Lagipula, di era digital seperti saat ini, ada banyak hal yang bisa diselesaikan lewat internet *walaupun tak menutup mata, banyak juga hal yang masih harus dikerjakan secara tatap muka*.

Balik lagi ke wacana pengurangan jam kerja. Sesaat setelah membaca berita tersebut, saya gembira.

Sedetik kemudian saya malah kesal. Kenapa? Lihat di halaman berikutnya, ya.

Tugas menjadi orangtua itu 2 orang. Ayah dan ibu. It’s parenting, not mommything.

family*Gambar dari sini

Ayah juga merasa kekurangan waktu dengan keluarga lho. Saya pernah menulis di artikel Para Ayah; Dulu dan Sekarang.  Setuju kan, Mommies, bahwa ayah juga memiliki porsi yang sama dalam keluarga? Mengutip pernyataan @Babanyakayril dari artikel ini, “Yang tidak bisa dilakukan ayah paling hanya menyusui, kan?”, lainnya bisa.

Kalau memang wacana ini diberlakukan, saya sih, senang-senang saja. Hal ini nggak lain karena keberuntungan saya karena suami saya jam kerjanya bebas :D

Tapi buat Mommies yang tak seberuntung saya, saya rasa setuju ya kalau masalah jam kerja ini bukan hanya urusan ibu-ibu saja. Para ayah juga perlu kan, mendapat privillege yang sama?

Di banyak negara Eropa, ayah mendapat kesempatan hampir mirip dengan ibu saat setelah melahirkan. Contoh nih, di Finlandia. Ibu mendapat 105 cuti melahirkan plus 158 hari cuti melahirkan di mana 158 harinya bisa bergantian dengan sang ayah. Di luar 158 hari yang bergantian dengan ibu, ayah juga mendapat paternity leave selama 18 hari. Ingat nggak saya pernah menulis artikel tentang pendidikan di Finlandia? Iri berat nih sama sistem di sana!

Itu yang pertama.

Yang kedua, menurut saya masih banyak hal yang bisa diperhatikan oleh pemerintah seputar peran ibu bekerja dalam keluarga. Contoh kecil, sarana laktasi di kantor-kantor. Please dong pemerintah, terbitkan dan galakkan ke setiap perusahaan untuk memiliki sarana laktasi minimal 1 buah di setiap perusahaan.

Bagi Mommies  yang nasibnya mirip saya di mana dulu memerah ASI selalu di toilet (dan terkadang di studio editing), ruangan yang diminta pasti nggak neko-neko, kok. Cukup ruangan yang bersih, terang, nyaman plus kulkas untuk menyimpan ASIP sementara. Itu saja sudah bikin bahagia, ya nggak, sih?

Beberapa tahun lalu saya pernah nge-tweet dari akun pribadi yang bilang, kota yang ramah anak itu syaratnya cuma satu: nggak macet. Hemat saya, jika perjalanan pulang dan pergi ibu bekerja nggak harus lebih dari 2 jam, ibu juga bisa cepat ketemu sama anaknya, kok. Berkantor di sini, yang notabene mommies friendly saja, saya tetap harus ‘membuang’ waktu lebih dari 3 jam per hari untuk di jalan saja. Padahal kalau Jakarta lagi nggak macet, durasi perjalanan dari rumah di pinggiran Jakarta (baca: Bekasi) ke kantor di Kemang nggak lebih dari 45 menit, lho!

Belum lagi kalau muncul pemikiran dari pihak pemberi kerja, "Ah ribet nih hire pekerja perempuan. Mending laki-laki saja". Nah lho, rugi dong kita? Kesempatan perempuan bekerja semakin kecil saja, kan?

Mommies ada yang mau menambahkan opini saya ini? Silakan keluarkan uneg-uneg di comment box ya!