Belajar Dari Komik

Preteen & Teenager

W_Putri・24 Nov 2014

detail-thumb

Kalau ada yang nanya, “Menurut kamu, Put, surga itu kayak apa?” Bukan yang langit berpelangi, pohon menghijau, umat manusia hidup damai berdampingan, atau tempat yang banyak cowok cakepnya. Emang bagus sih semuanya. Tapi ya, saya selalu kepikiran bahwa yang namanya surga itu adalah perpustakaan. Makin panjang rak bukunya, makin bagus.

Library_1400_800*Gambar dari sini

Namanya kutu buku sih, ya surganya isinya buku.

Tapi saya nggak selalu kutu buku, lho. Aslinya, saya ini penggemar berat komik. Yah, sekarang nggak berat-berat amat, sih. Soalnya udah jarang juga baca komik karena sibuk ngurus anak, rumah sama suami. Tapi waktu masih sekolah dulu, saya gudangnya komik.

Saya tumbuh bersama buku. Ayah saya dosen. Adik-adik ayah yang ikut tinggal di rumah kami juga kebetulan suka membaca. Jadi saya udah biasa ngeliat orang dewasa baca buku. Buku bukan sesuatu yang mengintimidasi. Tapi kecintaan saya yang pertama pada buku, berawal dari komik.

Waktu saya TK, ayah saya sering menyewa video aneka kartun Jepang (anime) untuk hiburan saya dan adik. Saya kecil udah lebih lancar nyebut nama anggota Voltes V daripada baca. Dan ketika akhirnya saya udah bisa baca, otomatis saya beralih ke medium dengan cerita yang serupa, komik.

Sampai saya remaja, saya juga masih suka komik. Kebetulan, saya tumbuh jadi remaja yang cupu. Ya, namanya juga anak perempuan yang kerjaannya Cuma nonton kartun sama baca komik, nggak heran kan kalo saya masuk jurusan cupu. Mungkin karena emang bawaan lahir, atau emang pada dasarnya saya ini orangnya ogahan. “Main basket, yuk!” Ogah, ada komik baru keluar belon gue baca. “Ke mal aja!” Ogah, ntar sore ada episode baru anime Casshern. “Nonton konser?” Mmpph ..., mending tidur. Kalau konser ini emang bukan kegiatan kesukaan, sih. Lagian, kalo keluar malem, saya suka sakit pilek. Cupu parah, deh.

Lalu ngapain aja sama selama remaja ini? Baca komik aja?

Hehe, lihat di halaman selanjutnya ya.

comic*Gambar dari sini

Selain baca buku pelajaran? Iya. Ya, keluar rumah sesekali juga, sih. Buat bergaul sama mas-mas yang jaga rental komik. Biar kalo ada komik baru, kita boleh pinjem duluan. Anak-anak rental komik pasti tau, ini kasta tertingginya penyewa komik: bisa pinjem komik yang belum disampul plastik sama rentalnya. Buat saya waktu itu, rental komik adalah ‘surga’.

Kalau diingat-ingat, sebenernya Ayah dan ibu saya nggak pernah ngelarang saya baca komik. Mereka nggak pernah ngelarang baca apa pun, sih. Pergi ke toko buku, rasanya lebih seru daripada pergi ke toko mainan. Soalnya, kalo di toko mainan suka banyak nggak bolehnya. Mau rumah-rumahan, nanti kamu bisa beresinnya? Mau boneka barbie, mahal. Balok-balok? Kan udah punya banyak. Nah, kalo ke toko buku, banyakan bolehnya. Buku tentang luar angkasa? Boleh. Majalah anak? Boleh. Komik? Boleh.

Mungkin orangtua saya emang lagi ngajarin anaknya suka buku. Atau mereka males aja kalo kudu ikut beresin mainan saya.

Balik soal beli buku tadi, hampir nggak ada batasan soal beli buku. Saya sih nggak ingat harga jadi persoalan buat orangtua saya, tapi bisa saja saya salah ingat. Intinya, mereka membikin, seolah, asalkan itu buku, kamu boleh punya sebanyak mungkin. Dan saya boleh pilih sendiri. Kebetulan aja saya banyakan milih komik.

Meskipun banyak yang bilang baca komik itu buang-buang waktu, saya pikir nggak begitu. Buat saya, nggak ada bedanya sih komik atau buku yang isinya teks melulu. Dua-duanya Cuma medium untuk menyampaikan informasi atau cerita. Dua-dua sama-sama bisa menarik pembacanya ke dunia di dalamnya, mengajarkan sesuatu kepada penikmatnya. Ada komik jelek? Ada buku yang jelek juga, kok. Tinggal kita aja pinter-pinter milihnya. Beruntung banget saya dikasih kesempatan belajar memilih sejak masih kecil, dengan buku yang saya sukai dan pilih sendiri.

Besides, comics literally saved my teenage years. Masa remaja saya mulus tanpa insiden karena saya lebih suka ngendon di rumah daripada main. Biar deh dibilang cupu, gedenya nggak cupu-cupu amat, kok. Dan meskipun saya bergaul cuma sama mas-mas tukang jaga rental komik, saya juga belajar banyak dari komik-komik yang saya baca. Saya jadi tahu soal revolusi Prancis dari Rose of Versailles sebelum diajari sejarah dunia di sekolah, soal daerah jajahan Romawi di Galia? Dari Asterix. Tentang apa aja yang terjadi di balik layar teater dari Topeng Kaca, gimana susah senangnya bisa masak dari Yakitate Japan! Arti pertemanan (tsah) dari Bleach. Dan yang baru aja tamat, pantang menyerah dari Naruto.

Yang saya tahu dari komik ini mendorong saya untuk cari tahu lebih banyak. Dan dari sini, saya ‘melebarkan sayap’ ke buku-buku lain. Bener ya ada yang namanya Ocar Francois des Jaryajes di Prancis jaman tahun segitu? Enggak ada sih, tapi saya jadi baca buku sejarah dunia tentang Revolusi Prancis. Beneran emang ada desa ini di tepi pantai Armorik? Kalo Yeti, itu ada beneran nggak di Himalaya? Ninja, ninja ... itu beneran bisa ngilang?

If there’s one important thing comics do to me, they evoked my curiosity. Komik adalah batu pertama saya ketika belajar membaca, dan, kemudian, batu saya sebelum saya mulai mencintai buku. Saya ingat duduk di lantai sebuah perpustakaan dan menatap ke rak-raknya yang penuh buku dan berpikir, “I have everything I need to know in here.And I learn that from the simple, most underestimated, comic books.

Wicahyaning Putri adalah editor di 24hourparenting.com. 24hourparenting.com adalah adalah situs parenting yang memuat how-to-parenting, singkat dan to the point, juga membahas tentang menjadi orangtua, dan ide kegiatan ortu-anak. Dilengkapi visual yang semoga asik. Diasuh oleh psikolog dan orangtua.